Etalase
Polri Itu Bernama Polantas Windoro Adi ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
24 Maret
2021
Dalam keseharian, penentu citra Polri ada
di jalan raya. Polantas menjadi etalase menarik bagi Polri di mata masyarakat
atau bisa terjadi sebaliknya. Setiap ketidakpuasan pengguna jalan yang
berurusan dengan Polantas yang sering kali diwarnai pertengkaran terbuka
ditonton publik.
Tak jarang peristiwa tersebut di unggah ke
media sosial dan menimbulkan kegaduhan. Citra Polri sebagai penegak hukum,
pelindung, dan pengayom masyarakat terganggu. Padahal, belum tentu Polantas
salah. Sebaliknya, belum tentu pengguna jalan salah.
Ada Polantas yang nakal, korup, dan cuma
mencari-cari kesalahan, dan ada pula pengguna jalan yang ngotot, tak santun,
bahkan berani menganiaya Polantas. Ada Polantas yang obyektif dan bekerja
sesuai prosedur standar operasi, ada pula pengguna jalan yang santun, cermat,
dan taat pada teguran Polantas. Warna-warni hiruk pikuk ini diunggah ke
medsos.
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo
ingin meniadakan bermacam kegaduhan di jalan raya ini dengan menghapus sistem
tilang di jalan dan mengedepankan mekanisme penegakan hukum berbasis
elektronik tilang (ETLE) yang bakal diterapkan secara bertahap. Prinsipnya,
mengurangi waktu polisi berhubungan langsung dengan pengguna jalan dalam
waktu lama. Dengan demikian, peluang bertengkar, berselisih paham di jalanan
atau di tempat terbuka bisa dihindari. Proses penegakan hukum pun bisa berlangsung
lebih cepat.
Sejumlah polda dan polres tanggap
merealisasikan harapan Kapolri. Polda Jawa Tengah, misalnya, memasang kamera
di helm petugas bersepeda motor atau bermobil patroli untuk merekam aksi
pengguna jalan yang melanggar. Usai merekam, petugas menghentikan pelanggar
dan kendaraannya.
Polantas lalu memberi tahu bahwa pengemudi
yang bersangkutan melanggar aturan lalu lintas. Kepada pelanggar, Polantas
menyampaikan, surat tilang akan dikirim lewat pos ke alamat rumah pengemudi
sesuai yang tertera di STNK. Selanjutnya, pelanggar membayar denda ke BRI.
Surat tilang akan menyebut jenis pelanggaran dan lampiran foto saat kendaraan
melanggar. Surat BPKB (bukti kepemilikan kendaraan bermotor) akan diblokir
bila pelanggar tidak mengindahkan surat tilang.
Sistem ini dinamai Sistem Kopek (kamera
portabel penindakan kendaraan bermotor). Kopek, kata Dirlantas Polda Jateng
Komisaris Besar Rudy Syarifudin, melengkapi CCTV yang dipasang di jalan raya
yang jumlahnya masih terbatas.
”Kopek terintegrasi dengan data Samsat
sehingga petugas tak perlu membawa surat tilang,” ujar Rudy. Kopek juga
merekam wajah pengemudi yang rekamannya terintegrasi dengan data SIM dan KTP
elektronik.
Pada tahap uji pantau Regional Traffic
Management Center (RTMC) Polda Jawa Tengah, pelanggaran terbanyak menyangkut
penggunaan sabuk keselamatan dan penggunaan telepon genggam saat orang
mengemudi sepeda motor.
Sementara itu, Polda Kalimantan Tengah
meluncurkan aplikasi TACS (traffic accident claim system). Lewat aplikasi
ini, korban atau keluarga korban bakal mendapat pelayanan cepat klaim
asuransi kecelakaan lalu lintas.
Semua penanganan korban kecelakaan lalu
lintas akan terintegrasi dengan instansi terkait, baik dengan Unit Laka
Lantas Polres, rumah sakit, maupun Asuransi Jasa Raharja, dan BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial). Di Jawa Timur, Polda Jatim meluncurkan
aplikasi TARC (traffic accident research center) dan sejumlah aplikasi lain.
Direktur Keamanan dan Keselamatan Korlantas
Polri Brigadir Jenderal (Pol) Chrysnanda Dwilaksana mengakui, setiap polres
dan polda bebas mengembangkan ETLE sesuai kebutuhan wilayahnya masing-masing
dengan catatan bertujuan mencapai amanat UU tentang Lalu Lintas Jalan, yaitu
memelihara kondisi lalu lintas yang aman, tertib, dan lancar; meningkatkan
keselamatan pengguna jalan; serta meningkatkan pelayanan masyarakat.
Tingkat keberhasilan pelaksanaan amanat UU
Lalu Lintas Jalan ini akan menjadi dasar sistem meritokrasi bagi anggota.
Ukurannya sederhana, yaitu tingkat keamanan, ketertiban, dan kelancaran jalan
yang ditandai dengan sedikitnya jumlah lakalantas dan kemacetan jalan.
Perampingan
tenaga kerja
Penerapan ETLE yang bakal disempurnakan
setahap demi setahap ini tentu bakal
dibarengi dengan langkah perampingan tenaga staf di setiap kantor pelayanan.
Dengan demikian, sasaran mengurangi hubungan langsung antara petugas dan
pengguna jalan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang petugas kian bisa
ditekan. Chrysnanda mengistilahkan langkah ini sebagai reformasi birokrasi.
Sebagai pengganti pengurangan tenaga kerja
staf, Polri layak menyiapkan tenaga terampil untuk menangani sistem ETLE,
antara lain tenaga perawat sistem ETLE, yang rawan diretas. Pendek kata,
jumlah tenaga yang berkurang harus dibarengi peningkatan kualitas sumber daya
manusianya.
Menurut Chrysnanda, kecepatan,
transparansi, dan akuntabilitas menjadi prioritas. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya Korlantas (Korps Lalu Lintas) secara berkala menyampaikan kepada
publik sejumlah kemajuan pelayanan menyangkut ketiga hal ini agar masyarakat
bisa ikut memonitor kinerja Polantas.
Hal yang dimonitor antara lain menyangkut
waktu dan kemudahan penyelesaian pelayanan SIM serta BPKB, penanganan laka
lantas, kemacetan, dan pelanggaran pengguna jalan. Sampai sekarang, untuk
mengurus hal tersebut, masyarakat masih direpotkan dengan banyaknya berkas
yang harus dibawa dan banyaknya proses penyelesaian yang mesti dilewati. Hal
ini sebenarnya tak perlu terjadi bila fasilitas sistem pendokumentasian
digital Korlantas dan instansi terkait modern dan lengkap.
Mereka yang membeli kendaraan bermotor baru
tak perlu lagi menunggu berhari-hari untuk mendapat nomor polisi dan BPKB.
Tak perlu menunggu berhari-hari mengurus balik nama BPKB, atau BPKB yang
hilang, atau membayar pajak kendaraan bermotor. Demikian pula saat mereka
mengurus SIM yang hilang atau kedaluwarsa.
Barangkali kemudahan dan kecepatan
pelayanan bisa dilakukan dengan kartu magnet berbasis data diiringi kerjasama
dengan kalangan perbankan yang memiliki pelayanan cepat dan mudah. Kemitraan
tersebut lebih baik dilakukan bersama sejumlah bank.
Dengan demikian, Korlantas bisa
membandingkan kinerja di antara bank-bank rekanan.
Saat ini, pelaksanaan ETLE baru pada
tingkat bebenah dan uji coba. Setidaknya, 100 hari sejak Jenderal (Pol) Listyo
menjadi Kapolri, seluruh sistem di seluruh daerah diharapkan bisa beroperasi
di bawah kendali dan monitoring Korlantas.
Persoalan
sosial di jalan
Yang masih menjadi pertanyaan adalah,
sanggupkah Polri atau Polantas membersihkan jalan dari persoalan sosial?
Persoalan sosial tersebut antara lain soal parkir liar, kehadiran pak ogah,
pasar tumpah, persimpangan jalan yang sering dijadikan pangkalan liar
kendaraan umum atau menjadi pangkalan warung yang memanfaatkan kendaraan
bermotor, serta pemanfaatan bahu jalan untuk pendirian tenda tenda hajatan,
atau lapak lapak usaha.
Sanggupkah Polri atau Polantas membebaskan
jalan dari kemacetan dan kesemrawutan akibat sejumlah persoalan sosial ini?
Polri tentu saja butuh bekerja sama dengan
instansi lain, seperti dinas lalu lintas jalan raya dan satuan polisi pamong
praja. Saat ini, kerja sama di antara Polantas atau Polri dengan instansi
terkait lain masih lemah dan cenderung membiarkan persoalan sosial ini terus
terjadi.
Tujuan memelihara kondisi lalu lintas yang
aman, tertib, dan lancar; meningkatkan keselamatan pengguna jalan; serta
meningkatkan pelayanan masyarakat seperti diamanatkan UU tentang Jalan Raya,
bakal menjauh dari harapan di tengah gencarnya Kapolri mengimplementasikan
ETLE.
Apa yang harus dilakukan? Tentu saja dengan
berbagi kemajuan dengan instansi terkait lainnya, selain membangun kerja sama
dan koordinasi yang efektif.
Memang, sebagian langkah sudah mulai
dilakukan dengan membuat sejumlah aplikasi yang terhubung dengan instansi
lain. Meski demikian, jaringan yang dibangun masih sepotong-sepotong dan
belum terintegrasi secara menyeluruh, terutama menyangkut eksekusi penertiban
bersama di lapangan.
Polri, khususnya Polantas, butuh dukungan
nyata pemerintah daerah agar penerapan ETLE berbuah kemajuan bagi pemerintah
daerah dan pusat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar