Cendekiawan
dan Keterlibatan Sosial Krispinus Ibu ; Alumnus STFK Ledalero, Maumere Tinggal di Ledalero |
KOMPAS,
27 Maret
2021
Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, dalam opininya di Kompas.id
bertanggal 15 Maret 2021 memberikan
alarm dengan mengingatkan mereka yang tergolong intektualis
(cendekiawan), atau yang mengecap diri sebagai intelektuali. Airlangga menegaskan bahwa narasi peran
sosial intelektual pasca-otoritarianisme adalah narasi tragedi. Hal ini
ditandai dengan dua hal. Pertama, cendekiawan kita cenderung lebih tertarik
menyelami karier birokratik dan membantu memperkuat kuasa negara dengan
mencemplungkan diri di dalam lingkaran politik. Kedua, fenomena kecenderungan
terintegrasinya kosmopolitanisme pendidikan global. Pada akhirnya, ketika cendekiawan kita
mencemplungkan diri dalam fenomena pilu ini, cendekiawan kita lupa akan
advokasi pengetahuan kepada masyarakat publik. Dengan menyitir orasi tajam Benedict
Anderson di Manila, Airlangga menegaskan bahwa kaum intelektual (cendekiawan)
kita kehilangan sumbangsihnya bagi masyarakat sipil demi perkembangan budaya
kritis yang bisa berujung pada pengontrolan kekuasaan. Dengan itu, tidak
heran apabila laporan Freedom House menempatkan demokrasi di Indonesia pada
titik mengambang karena lemahnya kuasa pengetahuan masyarakat sipil kita. Tulisan ini merupakan sebuah tanggapan atau
yang lebih tepatnya sebuah bentuk partisipasi atas opini Airlangga Pribadi.
Tujuannya jelas, demi perkembangan budaya advokasi masyarakat kita ke depan. Perihal
intelektual Intelektual atau cendekiawan adalah
orang-orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan
kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Tidak
hanya sampai di situ, cendekiawan hendaknya melihat realitas, merasakannya,
dan merefleksikan realitas dalam hidupnya sehari-hari. Itu artinya, ketika realitas berbicara
ketidakadilan, ketimpangan, dan penindasan oleh kekuasaan (kaum miskin
ditindas oleh yang kuat dan berkuasa), cendekiawan tidak boleh diam dan
bungkam. Cendekiawan mesti meninggalkan ”menara gading” kemapanan dirinya
entah di universitas atau kamar-kamarnya, sembari membuka jendela, melihat
realitas itu, dan terlibat mengontrol kebijakan publik yang sejatinya membawa
bonum commune. Jika tidak, cendekiawan dan pengetahuannya hanyalah proyeksi
dari masyarakat yang menyembunyikan ketidakadilan sosial. Teladan
budaya kritis Cendekiawan adalah filsuf sejati. Filsuf
sejati bukanlah orang yang menjual pengetahuannya untuk keuntungan pribadi.
Filsuf sejati, seperti dicontohkan Sokrates di Yunani, adalah mereka yang
berani ”pasang badan” mengobrak-abrik realitas sosial yang tidak adil, membongkar
kemapanan kekuasaan yang cenderung menindas, meski itu harus dilalui dengan
pengorbanan dirinya. Ciri khas filsuf sejati adalah dia yang
memberi teladan dan etika publik. Ia tidak hanya memperhatikan ritus dan
dogma keilmuan yang terkurung dalam lorong-lorong sunyi. Ia sepatutnya
menghasilkan buah refleksi kritis demi karya pelayanan praktis kepada mereka
yang menderita. Cendekiawan mesti berpihak pada orang-orang
yang menderita dan yang tertindas (voice of the voiceless). Cendekiawan
sejatinya adalah dia yang rela mengosongkan diri (kenosis) dan menjadi
”miskin” demi kekayaan pengetahuan publik. Dengan itu, cendekiawan menjadi
kaya akan pengetahuan sosialnya. Ia menjadi kaya berkat keterlibatannya di
tengah masyarakat. Akhirnya, pemberian diri cendekiawan adalah bukti bahwa
”yang miskin dan papa” adalah orang-orang yang diprioritaskan dalam
pelayanannya. Keterlibatan
sosial Perhatian dan keberpihakan cendekiawan
merupakan suatu kepedulian universal bagi kaum terbelakang (miskin) dan
terbuang. Ia harus menaruh perhatian khusus kepada orang miskin dan tertindas
dalam tugas sehari-hari. cendekiawan mesti memproklamasikan dalam dirinya
manifesto pelayanan ini: membalikkan nasib orang miskin. Cendekiawan tidak hanya berkhotbah di
mimbar-mimbar kuliah, serentak terkurung dalam ide-ide kreatifnya. Ia mesti
”turun dari atas gunung Tabor” untuk melihat dan mengalami realitas
masyarakat secara langsung. Cendekiawan mesti masuk ke dalam dunia dan
sejarah sebagai sumber inspirasi dan daya ubah bagi dunia. Cendekiawan yang
menawarkan diri demi kemaslahatan publik adalah dia yang melibatkan diri
dalam nasib dan sejarah manusia. Artinya, ia terarah dan peduli pada kebaikan
publik dengan kompleksitas hidup dan dinamika di dalamnya. Kondisi demokrasi saat ini, seperti
dilaporkan Freedom House di atas, sangat mencemaskan. Cendekiawan ditantang
untuk terbuka; membuka diri terhadap realitas dunia. Cendekiawan
pasca-otoritarianisme yang cenderung menonjolkan keegoisan, eksklusivitas dan
konservatisme, harus dibarui. Cendekiawan harus membuka ”pintu dan jendela”
bagi perubahan dunia. Ia tidak boleh hidup dengan dirinya sendiri. Ia mesti
meleburkan diri dalam problem publik. Perjuangan
demi keadilan Keprihatinan sosial cendekiawan sejatinya
berpihak pada orang-orang yang sedang ”terkungkung” dalam situasi
ketidakadilan. Situasi ketidakadilan ini membutuhkan sebuah pembebasan
absolut. Mengapa? Orasi-orasi ilmiah dan sejenisnya tidak bisa diterima oleh
masyarakat sipil apabila mereka sedang diterpa penyakit karena dampak tambang
batubara, merajalelanya korupsi yang memiskinkan banyak orang, kelaparan
karena pembabatan liar dari penguasa atas lahan dan ladang tempat mereka
mencari nafkah, menderita sakit karena air yang tercemar oleh limbah pabrik,
dan masih banyak lagi. Tidak hanya sampai pada tahap keprihatinan.
Cendekiawan mestinya mewujudkan misi mulia ini dalam tindakan konkret, yakni
perjuangan memperjuangkan keadilan atau perjuangan demi tegaknya keadilan. Banyak orang miskin merupakan korban dari
struktur sosial yang tidak adil. Kelompok yang kuat berkuasa, yang lemah dan
miskin disingkirkan. Di sini, cendekiawan dituntut untuk membela orang miskin Dalam kuliah hak asasi manusia pada hari
Rabu, 1 Maret 2017 di STFK Ledalero, Otto Gusti memberikan dua alasan mengapa
calon-calon cendekiawan harus membela orang miskin. Pertama, alasan etis.
Orang miskin merupakan orang-orang yang menderita. Kemiskinan ini secara
tidak langsung mengisyaratkan ketidakadilan. Dalam situasi inilah sebagai
imam dan pelayan pastoral harus membela mereka. Kedua, alasan epistemologis. Orang miskin
yang berada dalam kondisi kemiskinan mengalami kekurangan akan akses
informasi. Orang miskin berada dalam situasi ”gaptek” (gagap teknologi) di
tengah arus globalisasi. Atas dorongan ini, imam dan pelayan pastoral
hendaknya membantu mereka dengan cara memberikan informasi yang berguna bagi
mereka dan meyakinkan mereka bahwa di tengah dunia kapitalisme dan
konsumerisme ini, mereka (orang miskin) adalah korban dari struktur yang
tidak adil. Pelayanan dan karya cendekiawan tidak boleh
hanya selesai dalam ruang kelas, tetapi juga ”turun” dan mengalami realitas
penderitaan masyarakat. Cendekiawan harus turun dari istana megah dan menara
gadingnya dan merasakan kehidupan kaum terpinggirkan. Bukan melarikan diri,
atau lebih pilu lagi berselingkuh dengan kekuasaan, sementara masyarakat
sedang berada dalam kesulitan hidup. Jika demikian, quo vadis demokrasi? Inspirasi
cendekiawan Pada dasarnya, situasi penderitaan mendesak
cendekiawan mengambil sikap yang jelas dengan berpihak kepada mereka yang
miskin dan lemah. Sebagai inspirasi bagi kaum cendekiawan,
saya mengutip pernyataan Edward Schillebeeckx dalam bukunya I am a Happy
Theologian: ”I don’t write for eternity, but for the
men and women of today who are in a particular historical situation. I try to
respond to their questions. So my theology has a date; it is contextual, but
at the same time I want to go beyond the situation as such. That is a
universal aim of my works because I try to take into account the questions of
all men and women. Otherwise it wouldn’t be good theology.” (London: SCM
Press Ltd, 1994, hlm. 80). Jika kita aktualisasikan pernyataan Edward
Schillebeeckx untuk menjadi seorang cendekiawan yang baik, ia mesti
mengaktualisasikan pengetahuannya dengan terlibat dalam hidup sosial.
Cendekiawan sepatutnya sadar akan konteks ketidakadilan dan penderitaan, lalu
mengambil sikap untuk membimbing dan mengadvokasi publik demi kewarasan
publik. Atau seperti penegasan Jhon Prior,
cendekiawan sejatinya ”berakar dalam masa lampau, prihatin dengan masa kini
dan terarah pada masa depan”. (Jurnal Ledalero: Desember 2010, hlm. 150). Riset Airlangga Pribadi atas kaum
cendekiawan pasca-otoritarianisme merupakan alarm yang mengingatkan
cendekiawan kita untuk terlibat dalam hidup sosial kemasyarakatan.
Cendekiawan mesti sadar konteks. Jika tidak demikian, bukan sebuah hal baru
apabila demokrasi kita berada pada taraf mengambang. Padahal, seyogianya,
sebuah ortodoksi selalu berkaitan erat dengan orthopraksis. Jika cendekiawan kita memegang teguh pada
beberapa bentuk keprihatinan di atas, insya Allah, indeks demokrasi kita
menjadi semakin membaik. Maka ini saatnya cendekiawan ”turun dari mimbar ke
pasar untuk kemudian dari pasar ke mimbar”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar