Arah
Komitmen Pengembangan Energi Baru Terbarukan Irine Handika ; Dosen di Fakultas Hukum dan
Peneliti di Pusat Studi Energi (PSE) UGM) |
KOMPAS,
23 Maret
2021
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
dalam Siaran Pers Nomor 051.Pers/04/ SJI/2020 menargetkan porsi energi baru
terbarukan atau E(B)T sebesar 13,4 persen pada 2020 dan bertahap ditingkatkan
menjadi 14,5 persen pada tahun ini. Angka itu merupakan target yang masih
harus dikonfirmasi realisasinya. Namun, paling tidak, terlihat bahwa jalan
untuk mencapai target 23 persen porsi E(B)T dalam bauran energi primer (BEP)
masih panjang. Pada kondisi itu, apakah pemerintah benar-benar memiliki
komitmen? Pertanyaan itu penting karena jika ingin mencapai target 23 persen,
strategi akselerasi harus dipilih, dan ini hanya dapat dilakukan jika
pemerintah benar-benar punya komitmen. Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan
minimum 23 persen porsi E(B)T di 2025 dan minimum 31 persen di 2050. Ada
sejumlah catatan penulis tentang target itu, ditinjau dari perspektif hukum. Pertama, pendekatan yang mencampur energi
baru (EB) dan energi terbarukan (ET) sedari awal sudah membingungkan.
Ketelanjuran yang sepertinya berawal dari kebiasaan menggunakan istilah EBT
yang terbawa hingga penyusunan regulasi. Manakala ditetapkan sebagai target
nasional, berapakah persentase masing-masing? Jika pada realitasnya yang dikembangkan
adalah ET, dapatkah dikatakan target tercapai karena nyatanya EB tak menyumbang
porsi. Lebih lanjut, definisi EB merujuk pada kebaruan teknologi yang terikat
pada relativitas waktu. Artinya, ada kenisbian yang dinormatifkan
dalam KEN yang berlaku mengikat untuk jangka waktu panjang hingga 2050. KEN
di sisi lain menetapkan jenis-jenis EB, seperti nuklir dan coalbed methane
(CBM). Patut dipertanyakan apakah sumber energi
tersebut masih disebut EB jika sudah berhasil dikembangkan? Terlebih, jika
sumber energi itu sudah dikembangkan sejak dulu di negara-negara lain,
akankah kita tetap mempertahankannya sebagai sesuatu yang baru? Pada konteks
pertama ini, sulit untuk mencapai target jika desain pengaturan tidak dibuat
tuntas dan jelas. Kedua, apakah KEN sungguh-sungguh
dimaksudkan sebagai instrumen mencapai bauran energi? Pasal 9 KEN mendesain
target BEP: E(B)T lebih dari 23 persen (2025) dan lebih dari 31 persen
(2050), minyak lebih dari 25 persen (2025) dan lebih dari 20 persen (2050),
gas lebih dari 22 persen (2025) dan lebih dari 24 persen (2050), dan batubara
lebih dari 30 persen (2025) dan lebih dari 25 persen (2050). Target tersebut memiliki kekuatan mengikat
yang lemah, terlebih untuk E(B)T, yang akan dikembangkan sepanjang
keekonomiannya terpenuhi. Tuntutan yang sulit karena regulasi yang ada
sekarang memaksa harga E(B)T bersaing dengan harga energi fosil, terutama
batubara. E(B)T yang memiliki tantangan pengembangan
lebih, seperti eksplorasi-eksploitasi perut bumi, risiko kegagalan, kondisi
intermiten, dan lain-lain, dipaksa bersaing dengan sumber energi yang bisa
diambil dari permukaan bumi. Artinya, ada ketidakseimbangan level
playing field yang selalu akan menghambat keekonomian E(B)T. Masalahnya,
keekonomian dijadikan indikator pengembangan oleh KEN. Bagaimana jika E(B)T
dianggap tak ekonomis? Target tak perlu dikejar, dan inilah ”guna”
norma bersyarat di Pasal 9. Tidak terpenuhinya target E(B)T akankah
menimbulkan gap pasokan energi nasional? Tidak, karena Pasal 9 KEN mendesain
target yang fleksibel (norma minimum khusus) untuk batubara agar bisa mengisi
kekosongan itu. Atas nama kepentingan ketahanan energi,
fleksibilitas itu mudah dimanfaatkan, dan diafirmasi juga oleh Pasal 11 Ayat
(2) KEN yang menetapkan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional.
Elaborasi di atas mengarahkan pada pertanyaan: pengembangan sumber energi apa
yang sesungguhnya ditargetkan oleh KEN? Dominasi
batubara Ketiga, ruang dominasi batubara semakin
terbuka lebar berkat dukungan Undang-Undang Cipta Kerja di Pasal 128A Ayat
(1) dan (2) yang memberi insentif berupa tarif royalti nol persen.
Pemangkasan biaya di hulu dapat membuat harga di hilir semakin rendah. Harga batubara di sisi lain berpengaruh
terhadap keekonomian, terutama ET, karena Peraturan Menteri ESDM No 4 Tahun
2020 menetapkan harga ET maksimum sebesar 85 persen biaya pokok penyediaan
(BPP) pembangkitan setempat, yang di dalamnya dapat mencakup komponen harga
batubara. Semakin besar dominasi pemanfaatan batubara
di suatu wilayah, terlebih yang harganya kompetitif, akan semakin menekan
harga ET. Elaborasi tersebut menunjukkan bahwa regulasi eksisting, entah
disadari atau tidak, telah menciptakan kesenjangan level playing field yang
menyulitkan ET untuk bersaing. Diskusi di atas sedikit banyak
menggambarkan arah komitmen pemerintah dalam pengembangan E(B)T. Karena itu,
pertanyaan selanjutnya adalah quo vadis E(B)T Indonesia? Kegamangan kondisi ini tak boleh
menyurutkan optimisme. Dibutuhkan aksi konkret untuk mengakselerasi
pengembangan, antara lain dengan membuat norma transisi energi yang memiliki
kekuatan mengikat dan dituangkan dalam amendemen UU No 30 Tahun 2007 tentang
Energi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar