Minggu, 07 Maret 2021

 

Akar Persoalan dan Potensi Skenario Akhir Kisruh Partai Demokrat

 Firman Noor ; Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

                                                        KOMPAS, 06 Maret 2021

 

 

                                                           

Dilihat dari kronologis dan motif yang menjadi biang persoalan terjadinya kisruh Partai Demokrat, dapat dilihat adanya elemen eksternal dan internal yang saling berkelindan. Pada awalnya tampak seolah persoalan eksternal lebih mendominasi.

 

Publik dikejutkan dengan keberadaan seorang tokoh dalam lingkar pemerintah yang kemudian memanaskan situasi internal. Maka, muncul anggapan bahwa Partai Demokrat tengah mendapat tekanan atau intervensi dari rezim, yang kemudian faktor eksternal ini menjadi variabel utamanya.

 

Namun, seiring perjalanan waktu, semakin terkuak kompleksitas yang ada dalam partai ini, yang juga memperlihatkan sisi internal sebagai akar kekisruhan. Bahkan, ada sementara kalangan yang meyakini bahwa faktor eksternal hanyalah dampak, yang memainkan peran pinggiran saja.

 

Terkait dengan situasi tersebut, hal yang menarik adalah mana sebenarnya yang merupakan faktor-faktor utama penyebabnya dan mana yang sebenarnya hanya sekadar dampak dari faktor-faktor tersebut.

 

Akar-akar persoalan

 

Setidaknya ada beberapa akar persoalan di balik kisruh partai ini. Pertama adalah kepemimpinan yang belum benar-benar dapat menjadi alat pemersatu seluruh kader. Padahal, persoalan kepemimpinan ini penting dalam menjaga keutuhan partai (Weinner 1957, Brass 1965).

 

Dalam momen ini dapat terlihat bahwa seorang SBY tidak juga mampu menjadi alat pemersatu yang benar-benar solid. SBY di satu sisi adalah alasan utama dari berdirinya Partai Demokrat. Sebagaimana dinyatakan oleh banyak kader, tidak dapat terbayangkan Partai Demokrat tanpa eksistensi SBY. Beliau adalah juga tokoh yang membuat banyak sekali kader berkumpul dan berkhidmat menjalankan roda partai.

 

Namun, di sisi lain, dalam perjalanannya, pada masa kepemimpinan SBY, Partai Demokrat memiliki faksi-faksi yang kerap saling bertikai. Selain itu, terdapat kader-kader, termasuk sebagian para pendiri dan senior, yang memendam kekecewaan terhadap dirinya. Kekecewaan ini juga pada akhirnya berkelindan dengan munculnya kepemimpinan baru yang justru dirasa semakin tidak memberikan peluang bagi kader-kader yang memendam kekecewaan itu untuk eksis.

 

Selain itu, kadang, demi kepentingan tokoh, suara mayoritas, dan efektifitas partai, kerap melakukan manuver yang kurang merangkul dan cenderung menafikan suara kritis sehingga berujung pada sebuah kekecewaan. Akumulasi dari kekecewaan (dan juga rasa terabaikan) inilah yang kemudian dalam kasus Partai Demokrat menjadi pemantik tuduhan dari adanya politik dinasti, yang terus menjadi ”duri dalam daging” dari partai ini.

 

Kedua, masih lemahnya ikatan ideologi dalam partai. Ikatan ideologi yang kuat dapat mendorong upaya mempersatukan kader atas dasar kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan partai dan upaya-upaya untuk menahan diri demi menjaga keutuhan partai (Singh 1975, Kumar 1990).

 

Namun, ikatan ini relatif tidak terjaga atau tidak cukup menghunjam dalam partai. Dalam konteks Partai Demokrat, faktor ketokohan dan kepentingan praktis dalam berkontestasi dalam kehidupan riil politik lebih dominan.

 

Sebagai dampak dari situasi ini adalah pengedepanan kepentingan tokoh atau faksi terjadi. Penjuru loyalitas pun tidak sistemik-pelembagaan, tetapi transaksi patron-client yang pragmatis dan sesaat. Selain itu, ketiadaan ikatan ideologis ini juga menyebabkan para kader teramat bebas bermanuver. Termasuk akhirnya tidak segan mengundang pihak-pihak di luar partai untuk menjadi solusi persoalan internal partai.

 

Ketiga adalah faktor eksternal. Dalam banyak kasus di Indonesia, faktor eksternal ini tidak dapat diabaikan (Kamarudin 2008, Subekti 2014 dan Noor 2016). Salah satu jawaban mengapa faktor eksternal tidak dapat diabaikan adalah karena perannya sebagai pemberi angin bagi salah satu faksi yang bertikai.

 

Pertemuan senior partai dengan salah seorang elite pemerintahan terbukti kemudian memicu dan memanaskan kisruh internal partai ini, serta memunculkan kongres luar biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang memilih Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. KLB di Deli Serdang tersebut mengundang reaksi keras dari Agus Harimurti Yudhoyono (Ketua Umum PD) serta SBY (Ketua Majelis Tinggi PD).

 

Faktor eksternal dalam sejarahnya dapat menjadi kekuatan tersendiri untuk mempertahankan atau mengambil alih kekuasaan sebuah partai. Fungsinya adalah sebagai sebuah katalisator yang memperuncing faksionalisasi.

 

Kalangan yang memiliki dukungan eksternal akan mendapatkan sebuah semangat dan kepercayaan diri untuk terus mempertahankan diri dengan cara apa pun dengan suatu keyakinan bahwa ke depannya faktor eksternal akan membantu memperkuat eksistensi mereka atau menjadi solusi bagi partai. Meski pada umumnya faktor eksternal pasif dan menunggu situasi, ada pula yang aktif untuk membantu memenangkan kontestasi internal demi mewujudkan kepentingannya.

 

Keempat, sebagai variabel antara dari kisruh ini, adalah kurang berjalannya komunikasi, terutama antarelite atau senior. Hal ini menyebabkan banyak dugaan atau prasangka negatif yang tidak terjembatani.

 

Dalam kasus Partai Demokrat, manuver elite memainkan peran utama. Mereka yang disoroti dan melakukan ”buka-bukaan” di depan publik adalah para tokoh partai yang posisinya bukan sembarangan, ada pendiri dan tokoh-tokoh yang telah berkiprah, baik dalam partai maupun ketika menjadi pejabat publik.

 

Jika kita lihat baik dari hal-hal yang disampaikan ataupun cara masing-masing elite yang bertikai menyampaikan pesannya, cukup mencerminkan kondisi terputusnya komunikasi di antara mereka cukup lama dan baru diketemukan kembali oleh media, yang sayangnya sudah dalam momen perpecahan.

 

Seandainya komunikasi entarelite ini dapat terpelihara dengan baik, tentu hal-hal tersebut dapat dicegah sejak dini atau setidaknya dapat mencegah sebuah akselerasi dan eskalasi konflik.

 

Pelajaran dari partai lain

 

Kisruh yang terjadi kemudian memicu pemecatan tujuh kader. Pemecatan ini tampaknya bukan merupakan akhir dari kekisruhan ini. Sebaliknya, ini berpotensi merupakan awalan dari episode baru yang bisa jadi akan berjalan cukup lama.

 

Belajar dari kasus-kasus perpecahan partai, pemecatan merupakan semacam ”momen pelegitimasian” kalangan yang dipecat untuk semakin eksis karena mendapatkan alasan penguat atas perjuangan mereka dan menjadi rasion d’etre untuk terus melakukan perlawanan.

 

Dari apa yang sudah pernah terjadi di partai-partai lain, terdapat beberapa skenario yang mungkin saja terjadi. Pertama, pascapemecatan, konflik akan semakin meluas dan tidak dapat lagi terjembatani. Muncul kemudian kepengurusan ganda yang masing-masing merasa paling sah dan representatif.

 

Bilamana terus berlanjut, pihak pengadillah yang akan memutuskan mana di antara kedua partai itu yang sah. Ini dapat berujung pada munculnya partai baru atau keluarnya kader partai yang bertikai. Ini pernah terjadi ketika terjadi konflik di tubuh PKB di dekade awal reformasi dan PPP pasca-Pemiu 2014.

 

Kedua, muncul saling dukung yang kemudian berujung pada keluarnya salah satu pihak yang bertikai untuk membentuk partai baru, sebagaimana yang terjadi belum lama ini di PAN.

 

Ketiga, pertikaian makin meluas, tetapi karena belakangan ada manuver yang positif dan atau karena kepentingan praktis menghadapi pemilu terjadi rekonsiliasai. Ini yang terjadi pada Partai Golkar.

 

Keempat, konflik menjadi menyurut karena ada salah satu pihak yang merasa tidak perlu melanjutkan pertikaian. Ini disebabkan oleh beberapa hal, termasuk secara riil kurangnya dukungan terhadap eksistensinya.

 

Apapun skenarionya tentu partai menjadi disibukkan dengan persoalan internal ketimbang berkiprah lebih luas kepada negara atau masyarakat. Lebih dari itu, kekisruhan yang berlarut-larut dan dampaknya tentu tidak sejalan dengan upaya membangun demokrasi. Untuk itu, ke depannya, partai hendaknya harus dapat menghindari berbagai faktor penyebab kekisruhan internal sebagai bagian dari solusi, baik bagi soliditas partai maupun pada akhirnya demokrasi kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar