Urgensi
Pembaruan MoU Indonesia-Malaysia tentang Perlindungan PRT Migran Wahyu Susilo ; Direktur Eksekutif Migrant CARE |
KOMPAS,
22 Februari
2021
Angin segar dari beranda Istana Merdeka itu
berembus. Saat menerima kunjungan perdana Kepala Pemerintahan Malaysia
Muhyiddin pada pekan pertama Februari 2021, Presiden Joko Widodo kembali
menyerukan agar segera dilakukan langkah memperbarui Memorandum of Understanding mengenai Penempatan dan
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Migran dari Indonesia ke Malaysia yang
sudah lewat masa berlakunya sejak tahun 2016. Pernyataan ini juga dibarengi dengan
permintaan Presiden Joko Widodo kepada Perdana Menteri Malaysia tersebut agar
ada jaminan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia di Malaysia yang
jumlahnya lebih dari 2,5 juta orang. Agar embusan angin segar tersebut tidak
segera menjadi angin lalu, harus segera ada langkah-langkah konkret
menindaklanjuti seruan dan permintaan Presiden Joko Widodo kepada PM Malaysia
mengenai langkah memperbarui MoU Perlindungan PRT Migran dan jaminan
perlindungan terhadap seluruh pekerja migran Indonesia di Malaysia. Seruan dan desakan tersebut tidak ada
artinya jika tidak dibarengi dengan perundingan pembahasan draf revisi MoU
pada level diplomasi kedua negara. Sejatinya, dengan belum terjadinya
langkah-langkah konkret memperbarui MoU yang masa berlakunya sampai tahun
2016 memperlihatkan belum adanya kesungguhan politik kedua negara mengenai
perlindungan pekerja rumah tangga migran Indonesia di Malaysia. Dalam durasi waktu tersebut telah terjadi
serentetan kasus kekerasan yang dialami PRT migran Indonesia, seperti kasus
penganiayaan keji yang dialami Suyantik (akhir tahun 2016) dan Adelina Sao
sampai meninggal (2018), praktik perdagangan manusia yang dialami oleh para
PRT migran yang dipekerjakan iClean Sdn Bhd (2019), dan kasus penyekapan dan
kekerasan yang dialami Mei Heriyanti (2020). Kasus-kasus tersebut hanya merupakan puncak
gunung es dari banyaknya kasus yang dialami oleh PRT migran Indonesia di
Malaysia. Karena berada dalam kondisi terkurung di rumah majikan, mereka
tidak mendapat akses komunikasi sehingga tidak bisa melaporkan apa yang
dialaminya. Penanganan kasus tersebut menjadi sulit
diselesaikan karena tidak ada landasan hukum untuk menuntut tanggung jawab
pelakunya. Bahkan, dalam proses peradilan, sebagian besar pelaku penganiayaan
PRT migran menikmati impunitas dan bebas dari penahanan. Bagi kedua negara, pekerja migran telah
menjadi variabel yang penting untuk pembangunan ekonomi. Di negara asal, arus
migrasi pekerja yang deras juga makin meningkatkan volume remitansi. Dalam dua
dekade terakhir ini (kecuali di masa pandemi), remitansi sudah memberikan
kontribusi signifikan untuk PDB, bahkan jumlahnya telah menggeser bantuan
asing (ODA) dan investasi asing (FDI). Menurut data Bank Indonesia, remitansi
dari pekerja migran Indonesia yang mengalir dari Malaysia menempati peringkat
pertama. Di negara tujuan, pekerja migran juga telah
menjadi penggerak ekonomi dan mengisi sektor-sektor pekerjaan yang enggan
diisi oleh pekerja lokal karena sektor ini masuk pada kategori rentan/3Ds (dirty,
difficult and dangerous), tetapi berupah rendah. Di Malaysia, sektor ini,
antara lain, pekerja rumah tangga, industri manufaktur, konstruksi, dan
perkebunan. Kontribusi nyata pekerja migran baik di
negara asal (Indonesia) dan negara tujuan (Malaysia) ini harus menjadi
pendorong untuk segera dilakukan pembaruan MoU perlindungan PRT migran
Indonesia di Malaysia. Hal ini untuk memastikan kondisi kerja layak bagi PRT
migran Indonesia di Malaysia serta juga mengakhiri impunitas yang selama ini
dinikmati oleh para pelaku kekerasan PRT migran Indonesia di Malaysia. MoU mengenai Penempatan dan Perlindungan
PRT Migran Indonesia ditandatangani pada Mei 2011 dan masa berlakunya berakhir
tahun 2016 ini adalah hasil dari negoisasi pembaruan MoU tahun 2006
dikombinasikan dengan tekanan politik berupa moratorium penempatan PRT migran
sejak tahun 2009-2011. Kelemahan dasar yang terkandung dalam MoU
2006 adalah pasal-pasal tentang paspor yang dipegang majikan, ketiadaan hari
libur, dominasi agen, serta ketiadaan aturan mengenai struktur penggajian dan
mekanisme pembayarannya. MoU ini juga sama sekali tidak memberikan
jaminan perlindungan hak pekerja migran. MoU 2011 menyebutkan bahwa PRT
migran berhak memegang paspor, berhak atas hari libur dan majikan wajib
membayar upahnya melalui transfer bank. Dalam pelaksanaannya, MoU 2011 ini tidak
dijalankan secara konsisten. Walau telah memandatkan joint taskforce untuk
mengevaluasi secara reguler pelaksanaan MoU ini, ternyata hingga berakhir
tahun 2016 tidak ada langkah evaluatif yang berarti dari joint taskforce.
Catatan-catatan ini harus menjadi pedoman ke depan dalam memperbarui MoU
perlindungan PRT migran Indonesia di Malaysia. Sesuai dengan amanat UU No 18 Tahun 2017
bahwa syarat penempatan ke negara tujuan harus didasari pada perjanjian
bilateral, agenda pembaruan MoU ini mutlak dan wajib untuk segera dilakukan.
Selain itu, amanat penguatan peran atase ketenagakerjaan dan kebijakan
pembebasan biaya penempatan juga penting untuk didesakkan dalam substansi
MoU. Selain mempertegas jaminan dan pengakuan
hak PRT migran untuk memegang paspor sendiri, mendapatkan hari libur, hak
berkomunikasi, dan memperoleh upah dengan standar layak, MoU ini hendaknya
juga merujuk pada kesepakatan-kesepakatan regional terkait perlindungan
pekerja migran di ASEAN seperti ASEAN Consensus on the Promotion and
Protection of the Rights of Migrant Workers dan ASEAN Convention Against
Trafficking in Person and Children. Yang tidak kalah penting adalah mekanisme
dan tata kelola bilateral untuk memastikan MoU ini dilaksanakan secara
konsisten. Oleh karena itu, perlu dirumuskan adanya komite bersama dari
berbagai pemangku kepentingan untuk mengevaluasi secara reguler pelaksanaan
MoU ini. Agar memiliki kewenangan yang kuat, komite bersama ini harus
dikukuhkan oleh kepala pemerintahan masing-masing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar