Tantangan
Pertanian di Era Pandemi Covid-19 Ali Khomsan ; Guru Besar Pangan dan Gizi Fakultas
Ekologi Manusia IPB |
KOMPAS,
23 Februari
2021
Urbanisasi atau perpindahan orang dari desa
dan kota sering terjadi manakala kehidupan di kota lebih menjanjikan
kesejahteraan dibandingkan di desa. Jakarta adalah contoh kota metropolitan
yang selalu menghadapi problem urbanisasi. Dalam kaitannya dengan sektor pertanian,
fenomena urbanisasi akan mengurangi tenaga kerja pertanian di perdesaan dan
dampak selanjutnya adalah pertanian hanya akan ditekuni petani-petani tua
yang masih mau bertahan di perdesaan. Pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 di
Indonesia ternyata berdampak pada pergeseran tenaga kerja. Banyak orang
kembali ke desa karena hidup di kota semakin sulit akibat pemutusan hubungan
kerja dan kehidupan ekonomi pada sektor informal yang memburuk (sesungguhnya
dampak pandemi terhadap ekonomi bersifat luas dan global). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan
bahwa tenaga kerja pertanian pada Agustus 2019 tercatat 36,71 juta orang dan
meningkat menjadi 41,13 juta orang pada Agustus 2020. Ini indikasi terjadinya
migrasi orang-orang kota dengan ketrampilan terbatas yang semula bergelut di
sektor informal di kota dan kemudian kembali ke desa saat pandemi semakin
membuat ekonomi terpuruk. Dalam hal ini pertanian telah berperan
sebagai buffer untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat eks penduduk kota
yang kehilangan pekerjaan dan kemudian ditampung di sektor pertanian di desa. Bila bertambahnya tenaga kerja sektor
pertanian di desa tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas, maka problem
kemiskinan di perdesaan akan semakin berat. Hingga September 2020, 46,3
persen rumahtangga miskin bekerja di sektor pertanian. Jadi, di satu sisi pertanian telah
menyelamatkan kehidupan ekonomi orang kota yang kembali ke desa akibat
pandemi, namun di sisi lain pertanian juga menjadi penyumbang kemiskinan yang
signifikan. Problem tenaga kerja pertanian di Indonesia
adalah rendahnya pendidikan. Sejumlah 65,23 persen atau 24,93 juta tenaga
kerja pertanian hanya berpendidikan SD ke bawah dan lebih separonya berusia
di atas 45 tahun. Beban pertanian cukup berat karena jumlah penduduk
Indonesia yang telah mencapai 271 juta jiwa mengonsumsi produk-produk
pertanian yang belum sepenuhnya dapat dihasilkan secara cukup oleh sektor
pertanian dalam arti luas. Masih banyak komoditas pangan pertanian
yang harus diimpor. Produktivitas yang rendah dan tidak efisien di pertanian
kita menyebabkan pangan impor lebih diterima masyarakat, apalagi kalau
ternyata pangan impor harganya lebih murah. Pertanian memiliki arti yang strategis
dalam perekonomian nasional karena subsektor ini menyediakan kebutuhan paling
esensial bagi kehidupan, yaitu pangan. Namun, hingga kini sektor pertanian
belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani kita. Di mana salahnya? Banyak pihak menyadari tentang persoalan
”kegureman” petani kita sehingga sulit meraih kesejahteraan. Oleh karena itu,
reforma agraria menjadi hal penting dan mendesak untuk meningkatkan lahan
garapan petani. Penataan dan pemanfaatan lahan-lahan tidur hendaknya menjadi
fokus reforma agraria. Meski lahan-lahan tidur tersebut nantinya
tidak menjadi milik petani namun yang penting petani bisa bercocok tanam
dengan lahan garapan yang lebih luas dan bukan lagi hanya 0,3 ha. Indonesia memerlukan transformasi yang
mengubah pertanian dan perdesaan yang “bersifat tradisional”, menjadi
pertanian dan perdesaan yang “berbudaya industri”. Berbudaya industri antara lain dicirikan
oleh (1) produk yang berstandar dan berkualitas, (2) tepat waktu dalam
pasokan produk, (3) sedikit ketergantungan terhadap lingkungan dalam proses
produksi, (4) sistem permodalan yang kuat, dan (5) sistem manajemen yang
akuntabel. Produksi pertanian menghadapi beragam
tantangan. Sektor pertanian harus dapat menekan kehilangan (loss) pada saat
panen hingga pascapanen. Dalam suatu pertemuan Pokja Khusus di Wantanas
tanggal 3 Nopember 2020, Badan Ketahanan Pangan Kementan memaparkan loss yang
terjadi dalam produksi beras yaitu: 9,49 persen (panen), 4,81 persen
(pengumpulan), 2,98 persen (pengeringan), 2,17 persen (perontokan), dan 1,41
persen (penyimpanan). Total loss dalam produksi padi mencapai
20,86 persen. Kehilangan padi/beras saat panen dan pascapanen sejumlah angka
tersebut akan secara signifikan menurunkan ketersediaan pangan nasional.
Untuk produk kacang tanah total loss adalah 10,6 persen, kedelai 10 persen,
dan jagung 8,95 persen Mendorong agar sarjana-sarjana pertanian
mau bergelut memajukan pertanian Indonesia di perdesaan bukan persoalan mudah
dan sederhana. Saat ini perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Pertanian
jumlahnya sudah tak terhitung. Setiap tahun ribuan sarjana pertanian
dihasilkan di seluruh Indonesia. Mereka adalah tenaga-tenaga kerja yang siap
terjun ke dunia pertanian. Namun, para sarjana pertanian yang sudah bergelut
dengan teori dan praktek ilmu pertanian selama empat tahun di bangku
universitas akhirnya harus menekuni bidang pekerjaan yang tidak relevan
dengan apa yang dipelajarinya. Fenomena tenaga kerja yang seolah-olah
salah penempatan bukan hanya monopoli sarjana pertanian, tetapi banyak
sarjana dari bidang ilmu lain kini juga mengalami problem serupa. Sebagai pelipur lara, maka siapapun boleh
berdalih bahwa kuliah S1 di perguruan tinggi sebenarnya adalah untuk mengasah
nalar. Selama studi di perguruan tinggi mahasiswa berlatih untuk menganalisis
beragam masalah sesuai dengan bidang ilmunya, belajar berdiskusi, menulis
paper, sampai melakukan penelitian. Hasilnya adalah sarjana yang cepat
menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Apakah pekerjaannya sesuai atau
tidak sesuai dengan latar pendidikannya, ternyata tidak menjadi persoalan. Padahal dalam menempuh pendidikan tinggi di
PTN, negara telah turut andil memberikan subsidi puluhan juta rupiah kepada
setiap mahasiswa sampai menjadi sarjana. Namun toh akhirnya ilmu yang
dipelajarinya tidak secara optimal dapat dimanfaatkan karena lowongan kerja
yang tidak sesuai dengan ilmu yang telah dipelajarinya di universitas. Kalau mau jujur, semua tentu merasa rugi.
Negara, perguruan tinggi, dan mahasiswa semuanya telah mencurahkan biaya,
tenaga, dan pikirannya untuk menghasilkan sarjana yang ternyata tidak sesuai
dengan bidang kerja yang tersedia. Peran pertanian dalam mendukung
ketersediaan pangan tentu tidak diragukan lagi. Ada satu hal lagi yang
hendaknya diperhatikan oleh sektor pertanian, yaitu di mana kiprah pertanian
dalam pembangunan gizi? Di Amerika, USDA (United States Department
of Agriculture) berperan aktif dalam merumuskan pedoman gizi bagi masyarakat
(dietary guidelines). Bahkan USDA mencanangkan bantuan program susu untuk
anak sekolah di negara-negara sedang berkembang (termasuk di Indonesia)
beberapa tahun yang lalu. Kementrian Pertanian di Indonesia pernah
berperan aktif dalam UPGK (Upaya Perbaikan Gizi Keluarga). Empat dekade yang
lalu kita masih mengenal taman gizi, warung hidup, apotik hidup yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan UPGK. Kini setelah UPGK berganti wujud menjadi
posyandu, semakin berkuranglah peran Kementan dalam mendukung perbaikan gizi.
Masalah gizi adalah persoalan multisektor dan oleh sebab itu pemecahannya
bukan melulu tanggung jawab nutritionist atau tenaga kesehatan. Ketahanan
pangan dan gizi harus didukung sinergi seluruh pihak terkait untuk mewujudkan
SDM yang handal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar