Tamparan
Keras Perkawinan Anak Ninuk M Pambudy ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS,
19 Februari
2021
Perjuangan
penghapusan perkawinan anak sudah berlangsung lebih dari 100 tahun,
undang-undang sudah melarang, tetapi sampai hari ini masih ada yang
mempromosikan kawin anak yang membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat. Pekan lalu, media arus utama dan media
sosial diramaikan oleh promosi perkawinan anak di sebuah situs daring serta
selebaran fisik. Tidak tanggung-tanggung, anak didorong menikah pada usia 12-21
tahun dan orangtua pun dianjurkan menikahkan anaknya pada usia itu. Situs
Aisha Weddings tersebut juga mendorong poligami dan nikah siri. Faqihuddin Abdul Kodir dari Kongres Ulama
Perempuan Indonesia (KUPI) dan pendiri situs mubadalah.id, dalam webinar
pekan lalu, menanggapi promosi kawin anak tersebut sebagai tamparan bagi
semua, termasuk bagi pemerintah dan KUPI. Promosi tersebut secara terang-terangan
bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang sudah direvisi menjadi UU Nomor 16 tahun 2019 dan UU Nomor Tahun 2002
Perlindungan Anak yang diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 mengubah batas minimal usia melakukan perkawinan pada UU
Nomor 1 Tahun 1974 dari 16 tahun menjadi 19 tahun bagi perempuan. Undang-Undang Perlindungan Anak
menyebutkan, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Revisi UU Perlindungan Anak secara khusus
menambahkan pasal 15a yang berbunyi ”Kekerasan adalah setiap perbuatan
terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum”. Ketentuan UU di atas menyebabkan
Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, Komisi Perlidungan Anak
Indonesia, dan sejumlah lembaga nonpemerintah dan individu melaporkan situs
Aisha Weddings ke polisi dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain melaporkan
pelanggaran undang-undang, mereka meminta Kominfo menutup situs tersebut. Tamparan
keras Pernyataan Kiai Faqihuddin tidak
berlebihan. Indonesia sudah melalui perjalanan panjang untuk menghapus
perkawinan anak. Kartini (21 April 1879-17 September 1904) semasa hidupnya
menentang perkawinan anak, terutama anak perempuan, dan dia sendiri menjadi
korban perkawinan anak sehingga sekolahnya terputus. Pada Kongres Perempuan Indonesia pertama
tahun 1928 dan kongres kedua pada 1935 sudah muncul kesadaran dan tuntutan
untuk menghentikan perkawinan anak. Dalam catatan Direktur Eksekutif Rumah Kita
Bersama Lies Marcoes, Kongres Perempuan Indonesia tahun 1939 melahirkan Biro
Konsultasi Perkawinan yang membahas batas usia perkawinan. Setelah Indonesia
merdeka, perjuangan menghentikan kawin anak dan membatasi poligami terus
terjadi. Perjuangan melarang kawin anak secara hukum formal tercapai setelah
sejumlah organisasi nonpemerintah berkali-kali mengajukan revisi atas UU Perkawinan
1974. Sejak tahun 2019, UU Perkawinan mengatur batas usia menikah perempuan
dan laki-laki minimum 19 tahun. Banyak alasan orangtua memaksa anaknya
menikah pada usia anak. Budaya dan keyakinan agama menjadi salah satu
penyebab utama, meskipun banyak tafsir agama mendalilkan larangan memaksakan
perkawinan. Penyebab lain alasan ekonomi. Data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Anak-anak (Unicef) dengan mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) 2018 menyebut, pada 2018 sekitar 11 persen atau 1 dari 9 anak
perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun. Jumlahnya ada
1.220.900 anak perempuan. Dari jumlah itu 0,56 persen menikah pada usia di
bawah 15 tahun. Untuk anak laki-laki angkanya 1 persen saja. Anak perempuan dari rumah tangga dengan
pengeluaran terendah tiga kali lebih mungkin menikah pada usia anak
dibandingkan dengan anak perempuan dari keluarga berpenghasilan tertinggi.
Anak perempuan di perdesaan lebih rentan untuk kawin anak daripada anak di
perkotaan. Dari sisi pendidikan, perempuan usia 20-24
tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun berpeluang empat kali lebih rendah
menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas dibandingkan dengan perempuan
yang menikah di atas usia 18 tahun. Dari sisi sebaran, Sulawesi Barat
memiliki persentase jumlah perkawinan anak tertinggi, sementara secara
absolut jumlah kawin anak tertinggi ada di Jawa Barat. Pandemi Covid-19, yang meningkatkan jumlah
pengangguran terbuka dan jumlah orang miskin, diperkirakan juga meningkatkan
jumlah kawin anak apabila mengacu data Susenas 2018. Tali-temali Alasan orangtua menikahkan anaknya yang
belum memasuki usia dewasa bertali-temali antara alasan adat, keyakinan
agama, dan ekonomi. Wati (22) mengaku menikah pertama kali pada
usia 17 tahun. Dia menikah daripada menganggur karena putus sekolah. Lagi
pula, di kampungnya di Kebumen, Jawa Tengah, anak-anak seusianya menikah
dianggap lumrah. Setelah satu tahun menikah, Wati bercerai dari suaminya yang
berselisih usia lima tahun karena alasan ekonomi. ”Suami tidak bisa memberi nafkah saya dan
anak. Dia kemudian juga kena PHK dan sampai sekarang tidak kerja,” tutur
Wati. Sejak satu setengah tahun lalu, dia menikah lagi dengan orang
sekampungnya yang seusia. Wati tidak sendiri. Orangtua dan anak-anak
yang memilih menikah dini menganggap perkawinan sebagai jalan keluar
persoalan kesulitan hidup mereka. Wati, bungsu dari lima bersaudara, putus
sekolah saat semester dua sekolah kejuruan atas farmasi. ”Tidak ada biaya,”
kata Wati yang ayahnya sudah meninggal dunia. Dengan alasan daripada melakukan dosa, Ang
(25) menikah dengan teman satu kampungnya yang sama-sama tidak dapat
melanjutkan pendidikan setelah lulus sekolah menengah pertama karena alasan
biaya. Setelah menikah, Wati dan Ang mengurus hidup mereka dengan bekerja.
Mereka tidak melanjutkan pendidikan. Anak biasanya dititipkan ke orangtua,
sementara mereka bekerja di Jakarta. Lies Marcoes menyebut, promosi kawin anak
menjalin isu keyakinan, adat, dan masalah struktural ketika menyebutkan
perkawinan usia anak akan menyelamatkan dari kemiskinan. Menghentikan perkawinan anak harus sampai
ke akar persoalan, yaitu pemahaman tafsir agama, adat, dan masalah struktural
seperti kemiskinan. Pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi
menghentikan perkawinan anak, dimulai dari tingkat desa. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu meningkatkan kerja sama
dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
serta Kementerian Dalam Negeri untuk membangun kelembagaan desa mencegah
kawin anak. Lembaga yang sangat penting perannya
mencegah kawin anak adalah pengadilan agama. Meskipun ada pembatasan usia
minimal 19 tahun untuk menikah, dibuka ruang untuk orangtua mengajukan
dispensasi perkawinan. Di sini hakim harus benar-benar memeriksa alasan
pengajuan dispensasi, terutama karena UU Perlindungan Anak menjamin hak anak
untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi ekonomi dan seksual. Harus pula
diingat ada relasi kuasa tak imbang antara anak-anak dan orangtuanya, calon
mertua, dan calon suami yang boleh jadi laki-laki dewasa. Ruang
digital Di tengah perubahan zaman akibat pandemi
Covid-19 yang mempercepat penggunaan komunikasi dan informasi digital, kasus
promosi pekawinan anak atau isu lain yang kontroversial sangat mungkin
terulang kembali. Pendiri Drone Emprit, sistem yang memonitor
dan menganalisis percakapan di media sosial dan platform daring, Ismail
Fahmi, yang ikut menganilisis situs Aisha Weddings mengatakan, situs dan
spanduk penyelenggara acara pernikahan itu tidak dimaksudkan untuk promosi
bisnis penyelenggaraan acara perkawinan sesungguhnya. Dari isi konten situs,
terkesan yang lebih ditekankan adalah keyakinan pembuat situs yang
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, yaitu kawin anak, menikah siri, dan
poligami. Dalam percakapan melalui Whatsapp, Ismail
Fahmi menyebut, berdasarkan pengalaman lalu peristiwa sejenis dapat terulang
lagi. ”Masyarakat harus siap dengan model (lontaran di ranah digital) seperti
ini ke depan karena murah, meriah, dan mudah sekali menyulut kontroversi dan
emosi,” papar Ismail Fahmi. Kontroversi yang muncul dengan segera
menghasilkan viralnya isu tersebut di dunia maya. Dia mengingatkan untuk berhati-hati ketika
menemukan berita atau informasi dengan ciri-ciri topik menyangkut isu
sensitif, terutama agama; menggunakan selebaran elektronik, selebaran fisik,
spanduk, dan atau situs digital; dan isinya menimbulkan kontroversi, tidak
masuk akal. Terlepas dari cara promosi atau ajakan yang
digunakan, perkawinan anak masih akan menjadi ruang tarik-menarik dan
kontestasi pengaruh, termasuk tafsir keagamaan. Mereka dengan pengetahuan
yang tidak lengkap, menurut Faqihuddin, akan mudah diombang-ambingkan dan
dibelokkan oleh pembuat tafsir, seolah-oleh tampak benar walaupun sebetulnya
pijakannya tidak sahih. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar