SKB
Seragam Sekolah : Jilbab
dalam Keberagaman Kita Nur Sholikhin ; Magister interdisciplinary Islamic
studies, kosentrasi psikologi pendidikan Islam; fasilitator GUSDURian |
DETIKNEWS,
18 Februari
2021
Dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama
(SKB) 3 Menteri terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut di sekolah
negeri, saya rasa keputusan yang tepat untuk kondisi kultur di Indonesia.
Tapi tentu tidak semua orang sepakat dengan keputusan tersebut. Karena yang
dilakukan oleh pemerintah dengan adanya SKB 3 Menteri merespons peristiwa
yang tampak di permukaan, yaitu aturan wajib atau pelarangan memakai jilbab
di sekolah negeri. Sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama
Yaqut Cholil Qoumas saat pengumuman SKB 3 Menteri, peristiwa yang ada di
Padang terkait wajib penggunaan jilbab untuk semua kalangan merupakan puncak
gunung es. Tentu analisis tersebut berdasar, karena peristiwa serupa banyak
terjadi dan sudah menjadi pola. Semisal pada Januari 2020, siswi SMAN
Gemolong, Sragen diintimidasi oleh salah satu pengurus rohis karena tidak
berjilbab. Atau pada 2017 sebagaimana dilangsir dari
situs detikcom, seorang siswi berinisial NWA yang beragama non muslim
mengurungkan niatnya masuk ke SMPN 3 Genteng, Banyuwangi karena ada aturan
mewajibkan seluruh siswa menggunakan jilbab tanpa terkecuali. Kasus pelarangan memakai jilbab juga
terjadi di Denpasar Bali; salah satunya yang terekam media adalah SMAN 2
Denpasar pada 2014. Salah seorang siswi dari sekolah tersebut dilarang
menggunakan jilbab saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kalau
siswi tersebut menolak, maka akan diberikan pilihan untuk lepas jilbab atau
pindah sekolah. Menurut data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), pada 2014 SMA Negeri 1 Maumere Sikka NTT, siswi yang
berjilbab dilarang menggunakan rok yang panjang. Apabila melanggar ketentuan
tersebut, maka siswa dianggap pelanggaran. Kejadian mewajibkan atau melarang memakai
jilbab ini bukan tanpa sebab. Setelah dikeluarkannya SKB 3 Menteri pada 7
Februari 2021 sempat ramai dan menjadi perbincangan di Twitter. Dari
perbincangan tersebut, kita dapat melihat struktur penyebab, kenapa ada pihak
sekolah atau guru agama yang mewajibkan siswinya untuk berhijab. Bahkan
walaupun bukan siswi yang beragama muslim ditekankan juga untuk memakai
jilbab. Dari Twitter tersebut dapat kita lihat
beberapa narasi yang muncul. Pertama, dengan mewajibkan memakai jilbab
diharapkan siswi yang beriman dan bertakwa. Sehingga tidak heran apabila
narasi penolakan terhadap SKB 3 Menteri juga kenceng di media sosial.
Misalnya, "Ajari anak untuk menutup aurat sejak dini, apalagi saat
sekolah, bodo amat dengan SKB 3 Menteri, dosa anak kita yang nanggung bukan
Menteri." Narasi semacam itu sering bermunculan di
media sosial untuk merespons adanya SKB 3 Menteri. Narasi-narasi semacam itu
yang menunjukkan mental model orang-orang yang mewajibkan jilbab di sekolah
negeri. Bahkan, salah satu video dari Khilafah Channel yang dibagikan di
media sosial mendorong sekolah dan pemerintah untuk mewajibkan siswi
mengenakan jilbab agar terciptanya ketakwaan. Ia mendorong adanya campur
tangan sekolah dan pemerintah dalam urusan agama. Dua
Arus Adanya sekolah atau guru yang mewajibkan
atau melarang menggunakan jilbab terjadi karena ada dua arus paradigma dalam
beragama, menurut Prof Syafi'i Anwar. Pertama, praktik beragama yang
substantif-inklusif. Kedua, praktik beragama yang eksklusif-legal
formalistik. Paradigma pertama, praktik beragama bertumpu pada nilai-nilai
yang substantif, dan membuka ruang hidup bersama dalam ikatan kemanusiaan dan
kebangsaan. Pandangan ini mengutamakan konsep ukhwah (persaudaraan). Menurut pandangan KH Ahmad Shiddiq, ada
tiga macam konsep persaudaraan. Pertama, persaudaraan umat Islam, orang
merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memiliki satu
kesamaan yaitu memeluk agama Islam. Kedua, persaudaraan bangsa, orang merasa
saling bersaudara karena sama-sama bagian dari bangsa yang satu yaitu Indonesia.
Dengan adanya persaudaraan ini, tidak ada sekat yang memisahkan baik itu
agama, suku, Bahasa, ras dan lain sebagainya. Ketiga, persaudaraan antar umat
manusia, orang merasa saling bersaudara karena bagian dari umat manusia yang
memiliki rasa kemanusiaan yang sama. Dari paradigma pertama ini, maka pandangan
terkait sekolah atau pemerintah yang mewajibkan menggunakan jilbab tidak
perlu dilakukan. Sekolah negeri harus menjadi tempat yang nyaman bagi setiap
orang dan setiap kalangan, tidak memandang agama, suku, ras, dan bahasa.
Maka, mewajibkan jilbab bisa menimbulkan diskriminasi dan melukai
persaudaraan sebangsa dan antarmanusia. Dalam pandangan keindonesiaan yang
beragam, sekolah negeri harus mengayomi semua kalangan termasuk tidak
mewajibkan atau melarang untuk berjilbab, karena akan berpotensi untuk
mendiskriminasikan siswi berbeda agama. Keragaman Indonesia selalu menuai
tantangan, khususnya dari sikap keagamaan yang eksklusif. Apalagi ketika
sikap keagamaan seperti itu sudah tertanam dalam dunia pendidikan. Pendidikan
yang dikatakan sebagai pembentukan karakter, apabila disuguhkan dengan cara
pandang beragama yang eksklusif, maka akan berpotensi timbul diskriminasi
yang berkelanjutan. Bagi kelompok agama yang memiliki pandangan eksklusif,
mereka menganggap paham keagamaannya adalah kebenaran yang berlaku bagi semua
orang dan hanya pemahamannya bisa menyelamatkan manusia. Terjadinya fenomena sekolah yang mewajibkan
siswinya berjilbab walaupun berbeda agama menjadi pelajaran penting bagi
keberagaman kita. Mental model semacam itu muncul karena menganggap bahwa
pandangan agamanyalah yang paling benar, dan orang lain harus mengikuti
pandangannya. Sikap mayoritarianisme harus dikikis, agar diskriminasi di
ruang publik tidak terjadi. Sebagai warga negara yang memiliki semboyan
bhinneka tunggal ika harus bisa menempatkan relasi antara agama dan negara
agar tidak bertentangan dan menimbulkan gejolak yang ada di masyarakat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar