Ruang
Publik IDI SUBANDY IBRAHIM ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
20 Februari
2021
Investigasi yang dilakukan Harian Kompas
mengenai jual beli lahan berstatus hak guna usaha perkebunan di kawasan
Puncak, Bogor, Jawa Barat (Kompas, 8 Februari 2021, hlm. 1) menambah catatan
merah bagi lingkungan hidup. Jika investigasi yang sama dilakukan di sejumlah
daerah, gambaran umum masa depan lingkungan hidup di Tanah Air akan terlihat kian
muram. Budaya merawat lingkungan hidup dan ruang
publik untuk kepentingan bersama belum banyak berubah sejak kita merdeka.
Ketidakpedulian akan akibat dari tindakan pragmatis dan kepentingan jangka
pendek seperti sudah membudaya dalam berbagai jenjang sosial. Proses mudah alih lahan hijau menjadi
”hutan beton” yang melibatkan sejumlah aparat dan masyarakat menjadi salah
satu penyebab utama bencana seperti longsor dan banjir yang terjadi di
sejumlah daerah. Pada awal abad ke-21 ini, komodifikasi ruang
publik telah mengubah lahan produktif menjadi permukiman bersamaan dengan
tekanan peningkatan jumlah penduduk dan urbanisasi. Jika tidak diantisipasi, dalam dua dekade
mendatang sejumlah daerah akan kehilangan lahan pertanian. Jika negeri ini
kini mengalami krisis petani, sesungguhnya krisis kehilangan lahan hijau akan
menjadi ancaman serius bagi ketersediaan air dan pangan serta keanekaragaman
hayati ke depan. Pembangunan yang serba bebas tidak hanya
mengubah ”kulit luar” ruang publik, tetapi juga memberi isi baru bagi ruang
yang dikonstruksi itu. Diubahnya ruang publik untuk kepentingan tertentu
menimbulkan keresahan eksistensial pada rakyat. Rakyat merasa semakin
terasing dari lingkungan hidupnya. Bahkan juga tercerabut dari budayanya. Hal ini mulai dialami oleh sejumlah suku
pedalaman di Kalimantan, ketika hutan mulai dikomodifikasi dan
dikomersialkan. Suara buldozer menggilas hutan, memusnahkan habitat,
mengganti kicauan burung dengan asap pabrik dan deru mesin kendaraan. Ketika alih lahan semata-mata demi
pertimbangan komersial menyerbu ruang hidup komunal, ruang-ruang publik terus
tergusur. Semakin sedikit ruang terbuka yang bisa diakses dengan sedikit
uang. Lebih dari tujuh puluh tahun setelah merdeka berbagai ironi mengemuka. Di daerah sendiri, anak-anak harus menyewa
lapangan hanya untuk bermain sepak bola. Di negeri bahari, untuk berenang
bebas, masyarakat harus membayar. Untuk melihat bukit hijau dan pemandangan
pantai, masyarakat juga harus mengeluarkan sejumlah uang. Arsitektur ruang
fisik yang sekian lama tak berorientasi publik membuat masyarakat seperti
bukan berada di negeri sendiri. Ruang
digital Ketika ruang-ruang publik dalam arti
lingkungan fisik menipis untuk diakses rakyat, pers dan media sosial menjadi
representasi ruang publik. Setidaknya suara rakyat masih memiliki akses di
dalamnya. Sayangnya komodifikasi dan manipulasi ruang publik digital seperti
akhir-akhir ini telah membawa persoalannya sendiri. Kalau komodifikasi ruang fisik berakibat
pada merosotnya kualitas lingkungan hidup, manipulasi ruang nonfisik
berdampak pada merosotnya kualitas budaya demokrasi. Jika tidak ada aturan
main yang terencana, rupanya kemajuan teknologi media dan budaya digital
tidak dengan sendirinya memanusiawikan ruang publik dan mendewasakan
demokrasi kita. Simaklah, televisi sebagai penutur kisah
elektronik dalam ruang keluarga lebih memikat pemirsa untuk jadi insan
konsumtif ketimbang insan produktif. Untuk jadi penyuka mistis ketimbang
pemirsa kritis. Sementara media sosial sebagai media pergaulan virtual
menjadi ruang aneka ujaran kebencian, kekerasan, dan pornografi ketimbang
pemerkaya pandangan dunia inklusif dan toleransi. Tawuran pelajar di jalan mulai digantikan
tawuran kata-kata kasar di media sosial. Bahkan ’tawuran virtual’ dilakukan
oleh semua lapisan usia. Memang tidak ada jalan tunggal untuk
memanusiawikan ruang publik. Jika kemerdekaan merupakan pembebasan ruang
publik dari kolonialisme, dalam alam kemerdekaan yang diperjuangkan adalah
ruang publik untuk menyampaikan ekspresi dan aspirasi, untuk hidup secara
adil dan beradab, bebas dari ketakutan dan kecurigaan. Ruang publik tempat
warga bisa dengan bebas menyampaikan aspirasi dan saling mengkritik tanpa
kebencian. Cara-cara melumpuhkan budaya kritis dan
perbedaan pendapat adalah ancaman serius bagi ruang publik. Sebab, ia akan
melumpuhkan daya hidup orang kebanyakan. Matinya daya hidup, demikian WS
Rendra pernah mengatakan, mencerminkan lumpuhnya kreativitas budaya sebuah
bangsa. Karena itu, sudah jauh-jauh hari
cendekiawan Soedjatmoko (1983) mengingatkan, ”Apabila kita berniat mengurangi
adanya penindasan yang lebih besar pada abad ke-21, masyarakat harus belajar
untuk mengembangkan saluran-saluran yang tidak diracuni dan kurang bersifat
manipulatif bagi informasi, partisipasi, dan aksi politik.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar