Prof
Hikmahanto Juwana: Jangan
Sampai Ada Dendam Politik Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS,
24 Februari
2021
Satu jam berbincang dengan Prof Dr
Hikmahanto Juwana SH LLM (56) seakan seribu pesan disampaikan. Prof Hik –
demikian ia dipanggil – menggapai gelar guru besar di Universitas Indonesia
pada usia 36 tahun. Profesor termuda di Universitas Indonesia pada tahun
2001. Rekor itu kemudian dipecahkan Prof Firmansyah yang menggapai gelar guru
besar pada usia 33 tahun. Prof Firmansyah telah berpulang beberapa waktu
lalu. Pernah bercita-cita sebagai diplomat, putra
dari diplomat senior Juwana itu,
meniti karier sebagai dosen dan kini ditunjuk sebagai Rektor
Universitas Achmad Yani di Cimahi Jawa Barat. “Saya diminta Pak KSAD Jenderal
Andika untuk menjadi rektor,” ujar Hik dalam obrolan di Menara Kompas, akhir
pekan lalu. KSAD Jenderal Andika Perkasa adalah teman SMA di Jakarta. Target
yang diberikan adalah menjadikan Unjani ke panggung akademis lebih tinggi. Hik termasuk unik. Selain hobi makan
makanan nusantara saat berkeliling Indonesia, dia sangat hobi olahraga.
Akvititas luar ruangnya dipamerkan melalui tiktok, instagram atau media
sosial lainnya. Dalam talkshow back-to-bdm, saya menyebutnya profesor tiktok.
“Saya ingin sisi informal saya diketahui publik,” ujar pemain pantomin. Hik
pernah belajar breakdance dan penggemar olahraga angkat berat. Berbincang banyak hal dengan Hikmahanto.
Soal plagiarisme, jual beli gelar doctor, dan kelemahan bangsa Indonesia.
Budaya jalan pintas dan hilangnya kejujuran, jadi salah satu masalah di dunia
akademis di Indonesia. Dia mengutip seniornya Prof Komar Kantaatmadja yang
menyebut fenomena orang menggelar doctor tanpa membuat penelitian apa pun
sebagai “Doktor batu nisan.” Saat meninggal, dalam pusara disebut, “
Doktor….” Profesor kelahiran 23 November 1965 itu,
mengenyam pendidikan dasar dan menengah di Singapura dan Kamboja, SMA dan
mahasiswa di Jakarta, meraih master di Jepang dan doktor di Inggris dan
professor di Universitas Indonesia. Berikut penggalan percakapan di tengah
hujan lebat yang mengguyur Jakarta, akhir pekan lalu. Bagaimana
menanggapi rilis The Economist Intelligence Unit dan Freedom House yang
menyebut demokrasi Indonesia cacat dan terpuruk dalam kurun waktu 14 tahun? Menurut saya, approach otoritas penegak
hukum terlalu berpihak kepada pemerintah ketika menangani isu kebebasan
berpendapat. Aparat penegak hukum memang harus bertindak, ketika kebebasan
berpendapat menimbulkan kekerasan atau mengarah pada diskriminasi. Akan tetapi
tidak boleh terlalu “berpihak” kepada pemerintah. Kesan keberpihakan itu
tampak. Ada kecenderungan saat Orde Baru, senjata
digunakan (untuk meredam kebebasan berpendapat). Di Singapura juga gak ada
demokrasi. Siapa yang mengkritik diselesaikan lewat pengadilan. Ini jangan
sampai terjadi di Indonesia. Beri kesempatan rakyat berbicara. Kalau
berbicara mengandung kritik, ya jawab dengan pendapat dengan data. Saya tidak
ingin ada dendam politik. Hari ini dia ditangkap, saat pemerintah berkuasa.
Besok giliran saya, ketika kekuasaan berganti. Di Indonesia pendulum cepat berubah.
Pemimpin baru selalu menafikan pemimpin pendahulunya. Yang lama dianggap
nggak ada. Saat merdeka, semua bekas penjajahan, kolonial jelek dan
ditinggalkan,. Saat Orde Baru, semua karya Orde Lama dihapuskan. Saat
Reformasi, yang Orde Baru dihapuskan. Apa betul tidak ada yang positif yang bisa
diteruskan. Apa tak bisa yang jelek kemudian dikoreksi. Tidak ada
kesinambungan pembangunan di negeri ini. Presiden kan berkuasa lima atau
sepuluh tahun. Tapi kalau semua diubah, bagaimana ada kesinambungan pembangunan
bangsa. Dari
sekian banyak masalah di Indonesia, apa masalah paling urgen di Indonesia? Menurut saya, bagaimana generasi kita bisa
mengaspresiasi karya generasi sebelumnya. Kalau tidak bisa, pendulum akan
bolak-balik. Saat saya berkuasa, yang dahulu dianggap jelek. Saat orang lain
berkuasa, yang sekarang dianggap jelek. Kalau siklus seperti ini terus
terjadi, kapan akan selesai urusan republik. Temukan yang positif dan teruskan,
koreksi kalau ada kekurangan. Kesinambungan pembangunan sebuah bangsa
penting. Kalau
problemnya diskoneksi Anda optimistis dengan Indonesia 2025? Akan lebih besar
atau bagaimana? Kalau begini terus nggak akan lebih besar.
Tapi saya percaya pada generasi muda Indonesia. Yang akan membuat Indonesia
hebat adalah generasi muda, Saya justru mau investasi untuk generasi muda.
Saya berharap generasi muda bisa melihat kesalahan generasi sebelumnya dan
tidak mengulanginya. Saya senang dengan dunia pendidikan sebagai investasi
untuk generasi muda. Penegakan hukum di Indonesia memang
menyimpan masalah. Sebuah masalah kadang dibiarkan terlalu lama tak
terselesaikan dan dibiarkan menggantung, seperti kasus Bupati Sabu Raijua
Orient yang disebut punya kewarganegaran ganda? Bagaimana
jalan keluar soal kasus Bupati Sabu Raijua? Ini masalah kejujuran. Saya yakin bupati
terpilih asal indonesia. Pergi keluar negeri dan memilih jadi WN Amerika.
Seharusnya, beliau tahu, di Indonesia tak ada dwi kewarganegaraan. Ini mirip dengan kasus Arcandra Tahar,
ketika ketahuan, Pak Arcandra mengundurkan diri. Melepaskan WNA, kemudian
naturalisasi untuk menjadi WNI, dan diangkat sebagai Wamen oleh Presiden
Jokowi. Tapi karena konteksnya pilkada yang menunjuk kan rakyat. Berpulang
pada yang bersangkutan tidak meneruskan pencalonan dengan mengundurkan diri.
Ini masalah kejujuran. Bagaimana
Anda melihat dibawanya kasus penembakan enam orang di KM 50 tol Cikampek ke
International Criminal Court? Kalau ke ICC tidak akan berhasil. Pertama,
Indonesia bukan anggota ICC. Kedua, tidak ada mandat dari Dewan Keamanan PBB
kepada Mahkamah Kejahatan Internasional untuk membuka peristiwa ini. Apakah penembakan di KM 50 itu juga masuk
dalam kejahatan internasional yang mencakup kejahatan kemanusiaan, genosida
dan agresi. Itu harus dibuktikan. Saya lihat itu adalah pressure kepada
pemerintah untuk menyelesaikannya. Seharusnya memang diselesaikan di dalam
negeri saja. Siapa yang salah, ya salah. Tidak usah ditutupi. Sekarang di era
terbuka agak sudah menutupi. Berbeda dengan pada era Orde Baru. Kudeta
militer di Myanmar terjadi. Apa yang harus dilakukan Indonesia? Kita terikat Piagam ASEAN. Prinsip non
intervensi. Kita tidak bisa langsung masuk. Tapi saya usulkan back door
diplomacy. Pendekatannya tidak formal, tapi informal dengan menunjuk tokoh
yang punya pengaruh ke Myanmar untuk berbicara, implikasi dari kudeta militer
dan reaksi internasional. Jangan sampai menimbulkan generasi mudah alergi
terhadap tentara. Yang menderita rakyat Myanmar sendiri. Mungkinkah
terjadi di Indonesia? Tidak. Karena demokrasi Indonesia
berkembang relatif baik. Militer sudah tahu posisinya. TNI sekarang lebih
profesional. Anda
sudak berkeliling ke banyak negara? Dimana negara impian Anda? Jepang. Ada punctuality dan respect
terhadap senior dan pemerintah. Ini soal budaya. Kalau ada orang beroposisi
ya di parlemen. Di luar tetap bersahabat. Tapi kuncinya adalah disiplin dan
respek terhadap senior. Sosok
pemimpin idaman Anda? Terlepas dari masalah di negaranya, saya
lihat Lee Kuan Yew. Lepas dari opresi terhadap demokrasi, Lee adalah pemimpin
yang tahu masalah yang dihadapi, dan tahu bagaimana menyelesaikannya. Ketika
Singapura kumuh dan bagaimana membuat bersih, dia menggunakan instrumen
hukum. Mungkin karena Lee berlatar belakang sarjana hukum. Dia membuat
aturan, dia memperkuat aparat hukum untuk menjadikan Singapura bersih. Kalau
tokoh di Indonesia yang Anda kagumi? Agak sulit. Banyak tokoh tapi salah satunya
adalah Mochtar Kusumaatmadja. Pak Mochtar seorang ilmuwan mumpuni, pernah di
birokrrasi dan mempunyai kemampuan komunikasi yang baik. Setiap pertanyaan
sulit dijawabnya dengan mudah tapi kena. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar