Meredam
Konflik Bersenjata di Papua Hipolitus Wangge ; Peneliti di Australian National
University dan Anggota Tim Kemanusian Nduga |
KOMPAS,
26 Februari
2021
Awal 2021, di tengah pandemi Covid-19 yang
belum mereda, konflik bersenjata di bumi Cendrawasih Papua terus berkobar dan
tidak kunjung berakhir. Konflik yang melibatkan TNI/Polri dan
anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) terjadi di tiga
daerah Pegunungan Tengah, yakni Nduga, Intan Jaya, dan Puncak. Sejauh ini, eskalasi konflik terus
meningkat sejak pertengahan tahun lalu, khususnya di Intan Jaya. Amnesty
International melaporkan 53 kasus pembunuhan di luar hukum dengan total 103
orang meninggal sepanjang 2018-2020. Februari ini, ada tiga warga sipil dan tiga
anggota TNI yang menjadi korban konflik di Intan Jaya dan Puncak. Ribuan
warga Intan Jaya mengungsi, termasuk ke kabupaten tetangga seperti Nabire,
Timika dan Puncak. Mengingat kuatnya pendekatan keamanan dan
tawaran dialog yang belum mendapat respons dari pemerintah pusat, satu
pertanyaan kunci tersisa, bagaimana mengurangi eskalasi konflik di Intan
Jaya? Operasi kontra-pemberontakan
(counterinsurgency operation) masih menjadi pilihan utama dalam penanganan
konflik di Indonesia. Sejak terbentuknya Komando Gabungan Wilayah Pertahanan
(Kogabwilhan) III yang sementara bermarkas di Biak, operasi
kontra-pemberontakan menitikberatkan pada respons cepat (quick strike) dan terintegrasi
antar ketiga matra TNI (integrated command) melalui pengerahan sejumlah
pasukan tempur dan peralatan mumpuni. Sejumlah satuan tugas untuk pengamanan
daerah rawan, pengamanan perbatasan, dan teritorial diterjunkan secara
bergantian di sejumlah daerah Pegunungan Tengah. Sekalipun demikian, ada
kelemahan utama pendekatan ini, yaitu kurang memahami kondisi sosial dan
budaya masyarakat setempat. Padahal, efektivitas operasi
kontra-pemberontakan sangat tergantung pada kemampuannya untuk memenangkan
hati dan pikiran masyarakat lokal. Hal ini terlihat dari sikap aparat keamanan
yang mengintimidasi dan melakukan kekerasan pada penduduk lokal yang dianggap
sebagai anggota TPNPB hanya berdasarkan tampilan fisik (racial profiling)
tanpa didasari bukti kuat. Di sisi lain, pihak masyarakat sipil di
Papua terus menyerukan dialog sebagai solusi penyelesaian konflik.
Slogan-slogan yang muncul seperti “Dialog Tidak Membunuh Siapa Pun”, “Papua
Tanah Damai”, ataupun “Papua Bukan Tanah Kosong” terus digemakan dengan
harapan pihak-pihak yang berkonflik bisa duduk bersama untuk mencari
penyelesaian konflik secara bermartabat. Sejumlah tokoh gereja, organisasi
non-pemerintah dan organisasi pemuda dan mahasiswa di Papua terus
mengampanyekan jalan damai penyelesaian konflik. Walaupun gagasan dan
mekanisme dialog sudah disampaikan sejak awal 2000-an, hal tersebut belum
mendapat tanggapan positif dari pihak-pihak yang berkonflik. Beberapa
langkah Mengingat sulitnya mencapai jalan tengah di
antara dua pendekatan di atas, ada beberapa langkah yang perlu
dipertimbangkan untuk mengurangi dampak konflik, khususnya bagi daerah dan
masyarakat setempat. Pertama, status konflik harus diperjelas, apakah darurat
sipil, darurat militer atau zona tempur. Berkaca dari konflik bersenjata di Nduga,
ketidakjelasan status konflik membuat kinerja pemerintahan dan pelayanan
publik di Intan Jaya menjadi tidak maksimal. Beberapa distrik seperti Sugapa dan
Hitadipta, menjadi zona pertempuran pihak aparat militer dan gerilyawan
TPNPB. Akibatnya, mayoritas masyarakat mengungsi dari dua distrik tersebut.
Sejumlah sekolah dan fasilitas kesehatan juga dilaporkan menjadi pos sementara
aparat keamanan. Ketidakjelasan status konflik bersenjata
juga membuat tindakan-tindakan dari pihak aparat dan TPNPB menjadi tidak
terukur. Masing-masing pihak cenderung mengklaim masyarakat sipil sebagai
bagian atau simpatisan dari salah satu pihak dan menjadikan mereka kombatan
yang perlu ditindak. Adanya status konflik yang jelas akan
memberikan gambaran utuh tentang rantai tanggung jawab, koordinasi kebijakan
dan hukum perang di antara para pihak terlibat. Kedua, dibutuhkan koordinasi yang baik
antara pihak pemerintah daerah dengan elemen masyarakat sipil di wilayah
pegunungan tengah. Selain itu, kelompok relawan lokal juga diperlukan untuk
menangani pengungsi di sejumlah titik di Intan Jaya. Berdasarkan pengalaman penanganan pengungsi
internal Nduga, para korban membutuhkan bantuan makanan, kesehatan, pemulihan
trauma, dan tempat tinggal layak, khususnya bagi anak-anak dan kaum
perempuan. Sejauh ini, pihak gereja masih menjadi tulang punggung utama
walaupun dengan ketersediaan logistik yang sangat terbatas. Kepercayaan pengungsi terhadap pihak gereja
bisa dijadikan pintu gerbang untuk menyalurkan bantuan di tahap awal
penanganan pengungsi. Kerja kemanusiaan bersama yang transparan dan
terkoordinasi akan sangat membantu para pengungsi yang terpaksa hidup dalam
kondisi yang memprihatinkan akibat konflik. Revisi
UU Otonomi Khusus Ketiga, revisi UU Otonomi Khusus harus
menjangkau penyelesaian konflik bersenjata di Papua. Sejauh ini, fokus revisi
terbatas otonomi khusus, yang diinisiasi pemerintah pusat dan mendapat
penolakan sejumlah pihak di Papua, cenderung hanya menitikberatkan pada
pemekaran daerah otonomi baru dan penambahan dana otonomi khusus ke dua
provinsi di Papua. Kerangka otonomi khusus yang ada belum
mengatur hal-hal terkait penanganan konflik bersenjata di Papua, baik selama
maupun setelah terjadinya konflik. Mekanisme dialog, koordinasi antar lembaga
pemerintah pusat dan daerah, dan prosedur pencegahan dan pemulihan daerah
serta masyarakat hendaknya diatur di revisi terbatas otonomi khusus. Proses inklusif dan agenda substantif
dengan sejumlah pihak terkait di Papua, khususnya kelompok pro-kemerdekaan,
akan menjadi langkah progresif untuk penyelesaian konflik. Penelitian terbaru kami (Barter &
Wangge, 2021), menunjukkan bahwa desain institusional otonomi, seperti
penambahan daerah baru dan tambahan dana, tidak akan berdampak positif jika
pembahasan otonomi khusus hanya melibatkan pihak-pihak yang sejalan
(like-minded party) dan agenda pembahasan tidak menyentuh persoalan utama
(superficial agenda) yang menjadi titik perbedaan para pihak yang berkonflik. Konflik bersenjata di wilayah pegunungan
tengah di Papua sudah berlangsung puluhan tahun dan kembali meningkat dalam
tiga tahun terakhir. Jika penyelesaian menyeluruh sulit terwujud, paling
tidak, langkah-langkah untuk mengurangi eskalasi konflik bersenjata dapat
dilakukan dengan semangat bersama untuk kemanusiaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar