Menjaga
Vitalitas Politik Arif Susanto ; Analis Politik Exposit Strategic;
Pegiat Lingkaran Jakarta |
KOMPAS,
25 Februari
2021
Impitan pandemi Covid-19 dan bencana alam
beruntun tidak menyurutkan polemik sebagai modus politik pengambinghitaman.
Bukan saling tuding, yang dibutuhkan adalah kontestasi alternatif gagasan
ataupun kebijakan yang meluaskan imajinasi dan menggerakkan tindakan politik. Agar kapabilitas negara tidak meredup,
vitalitas politik perlu dijaga lewat dinamisme dialektikal antara politik
gagasan para politikus dan imajinasi aspirasional warga negara. Minim
gagasan Politik, pada galibnya, digerakkan oleh
suatu upaya untuk mengoperasikan gagasan menjadi tindakan. Soliditas politik
tidak mungkin bertumpu pada hanya satu di antara keduanya. Tanpa tindakan, politik tidak lebih
daripada tumpukan pemikiran; sedangkan tanpa gagasan, politik dipenuhi
keyakinan intuitif. Dalam politik, keduanya semestinya saling mengandaikan. Soekarno menulis dalam Fikiran Ra’jat pada
1933: bukan ’jangan banyak bicara, bekerjalah!’, tetapi ’banyak bicara,
banyak bekerja!’. Menggugah kesadaran rakyat, lewat bicara dan bekerja, patut
menjadi pusat aksi dalam perjuangan politik. Bersama pergerakan-pergerakan
lain, lanjut Soekarno, pergerakan politik menjadi penggerak aksi massa yang
hebat dan radikal. Dengan itu, Soekarno tidak lantas
membentangkan jurang yang memisahkan gagasan dari tindakan politik. Tidak
pula Soekarno mengisolasi politik dari bentuk-bentuk lain pergerakan. Dalam suatu cara pikir yang komprehensif,
gagasan itu menggerakkan tindakan dan tindakan itu memicu kelahiran gagasan
baru. Soekarno menyelami keduanya tanpa saling menegasikan. Kendati disampaikan dalam kerangka
perjuangan kemerdekaan, pandangan tersebut kontekstual dengan kondisi politik
nasional masa kini. Dalam deraan berbagai kesulitan, politik nasional tidak
sepi polemik. Sayangnya, polemik tersebut lebih banyak menghasilkan kegaduhan
karena minimnya gagasan yang dapat menggerakkan kesadaran dan tindakan. Ketika muncul masalah, seperti pandemi
Covid-19 atau bencana alam, banyak politikus terjebak modus
pengambinghitaman. Tujuannya sekadar menuding lawan sebagai yang
dipersalahkan demi menangguk dukungan. Karena mereka tidak memperdebatkan
gagasan, publik pun tidak memperoleh gambaran memadai tentang kebijakan
berikut alternatifnya. Selain menegaskan kegagalan mekanisme
politik untuk mempertaruhkan pilihan-pilihan gagasan maupun kebijakan,
polemik serupa juga kontra-produktif. Dalam gulita akibat ketidaktahuan,
warga justru dapat termakan agitasi yang membelah mereka. Di sini, politik
tidak datang memberi terang jawaban, tetapi justru semakin memperkeruh
persoalan. Kita layak khawatir bahwa minimnya gagasan
berkemungkinan menjadikan politik nasional kehilangan vitalitasnya. Padahal,
pertarungan gagasanlah yang dibutuhkan untuk menjaga daya hidup dan daya
tumbuh politik. Dengan vitalitas yang terus berkembang, proses politik
kiranya mampu menemukan penawar atas penyakit yang menggerogoti daya sintas
negara. Meluaskan
imajinasi Krisis demokrasi hari ini adalah, sebut
Nicole Curato (2018), krisis imajinasi. Gelombang naik iliberalisme,
populisme, dan disinformasi memunculkan tantangan pelik bagi demokrasi. Institusi demokrasi, tantang Curato,
dituntut untuk mampu membentangkan cakrawala aspirasional warga agar mereka
memiliki kemampuan untuk mengarungi gelanggang politik. Demokrasi kontemporer di banyak tempat
mengalami defisit gagasan. Selain menghadapi kesulitan teknokratik untuk
menyelesaikan masalah-masalah terkini, tatanan politik yang ada juga
tergoyahkan oleh melemahnya kepercayaan silang antarwarga. Celakanya, hasutan
para demagog kadang diterima sebagai alternatif kebenaran oleh sebagian
publik pemilih. Defisit gagasan tersebut disumbang bukan
hanya oleh kompleksitas masalah pembangunan dan keadilan sosial, tetapi juga
oleh proses pembekuan politik. Politik membeku karena direduksi sebagian
politikus menjadi tidak lebih daripada kontestasi elektoral. Ini membuat
hampir setiap persoalan dikerangkeng dalam konstruksi relasi politik menang
atau kalah. Pemerintah, tentu saja, dapat dikritik
karena berbagai kekurangan dalam penanganan pandemi Covid-19 atau berbagai
bencana alam. Namun, selain membidik kelemahan kebijakan, kritik konstruktif
sepatutnya membicarakan pula alternatif kebijakan yang mungkin untuk
ditimbang. Serangan pun tidak lantas mengarah pada hal-hal personal. Politik gagasan semacam itu memiliki
sedikitnya tiga hal positif. Pertama, gelanggang politik menjadi pertarungan
intelektual yang mengunggulkan gagasan lebih baik. Kedua, proses politik yang sama dapat
berkontribusi mencerdaskan publik. Ketiga, para pelaku politik tetap
berkompetisi untuk memperebutkan dukungan dan saling kritik tanpa bertindak
destruktif. Berpeluang untuk memperluas ruang-ruang
nalar, politik gagasan hidup dari saling timbang pilihan-pilihan kebijakan
yang tidak selalu mudah untuk ditetapkan dan diterapkan. Proses pembiasaan
politik tersebut juga mendorong publik untuk mengakses sebanyak mungkin
informasi yang membantu keterlibatan kritis mereka dalam diskursus sosial
berkelanjutan. Meluasnya imajinasi aspirasional warga
turut memberi suntikan yang akan menambah daya kompetitif partai-partai dan
para politikus di dalamnya. Demokrasi, sebagaimana seharusnya, hidup dari
kemampuan kontrol dan korektif terhadap kekuasaan. Tanpa itu, demokrasi akan
kehilangan vitalitasnya karena tergerogoti oleh politik manipulatif yang
memecah-belah. Politik yang gaduh oleh hiruk-pikuk polemik
berkepanjangan minim gagasan bukanlah pertanda politik yang hidup. Vitalitas
politik, sekali lagi, digerakkan oleh dinamisme dialektikal antara politik
gagasan para politikus dan perluasan imajinasi aspirasional warga. Menjaga
vitalitas politik menjadi kebutuhan agar kapabilitas negara tidak meredup. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar