Mengapa
Tak Pulih Lebih Cepat A Prasetyantoko ; Rektor Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya |
KOMPAS,
22 Februari
2021
Kita sering menghadapi situasi serba
nanggung (mediocrity). Kemungkinan karena kita takut mengambil sikap tegas
atau sebaliknya bersikap terlalu berpuas diri sehingga enggan melakukan aksi.
Keduanya berujung pada situasi serupa, termangu pada situasi tak menentu. Begitu Kierkegaard, filsuf Denmark,
menjelaskannya dalam tesis The Concept of Irony. Kita tak akan diskusi soal
filsafat. Kita hanya meminjamnya untuk meneropong gejala empiris yang
menggelayuti prospek pemulihan ekonomi kita tahun ini. Tulisan bernas M Chatib Basri di Kompas
(10/2/2021) berjudul ”Mengapa Harus Pulih Lebih Cepat” penting direnungkan.
Tulisan ini tak menyanggah, tetapi melengkapi dengan fakta yang tak
serta-merta menyenangkan. Harapan agar kita pulih lebih cepat menyusur fakta
rumit dan tak menjanjikan. Dana Moneter Internasional (IMF) dalam
laporan terbaru World Economic Outlook edisi Januari 2021 memperkirakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini 4,8 persen. Padahal, dalam laporan
Oktober 2020, proyeksinya jauh lebih tinggi atau 6,1 persen. Prospek
pemulihan ekonomi kita cenderung melemah seiring berjalannya waktu. Harus diakui, melakukan proyeksi di tengah
ketidakpastian seperti sekarang ini tidaklah mudah. Namun, poinnya, harapan
pulih lebih cepat bertemu fakta tak menjanjikan. Badan Pusat Statistik baru
saja merilis pertumbuhan 2020 sebesar minus 2,07 persen atau terburuk sejak
krisis 1998. Angka kontraksi tergolong moderat, tetapi pemulihan ekonomi juga
tak begitu menggairahkan. Tahun ini, pemerintah punya proyeksi
pertumbuhan antara 4,5 persen hingga 5,3 persen. Sebuah angka yang relatif
moderat dibandingkan dengan prospek negara lain. India, misalnya, tahun ini diproyeksikan
IMF tumbuh 11,5 persen atau lebih tinggi dari pertumbuhan China sebesar 8,1
persen. Pada 2020, perekonomian India terkontraksi sekitar 8 persen. Semakin
parah kontraksi, pemulihan ekonomi juga akan lebih tinggi karena pertumbuhan
ekonomi mengukur perbedaan output produksi nasional pada periode tertentu
dibandingkan periode sebelumnya. Terhadap jalur moderat pemulihan ekonomi
ini, apakah kita memang dengan sengaja memilihnya atau situasilah yang
memaksa kita berada di jalur itu? Mungkin jawabannya adalah keduanya. Situasi
membatasi Kebijakan ekonomi selalu berhadapan dengan
pilihan terbatas dengan dilema di setiap keputusannya. Memilih salah satu
mengakibatkan kehilangan peluang yang ada dalam pilihan lainnya. Menghadapi
Covid-19 tampaknya kita memilih jalur kebijakan moderat karena situasi memang
membatasi. Pertama, dari sisi fiskal kita terikat
Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur
batas atas defisit anggaran sebesar 3 persen. Padahal, kita tahu, situasi
luar biasa ini memerlukan dorongan fiskal sangat besar. Keterbatasan itu
telah dipecahkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 guna membuka hambatan regulasi,
terutama terkait batasan defisit fiskal. Kedua, meski batas atas defisit dibuka,
perppu juga sekaligus mengikat kita untuk kembali pada angka maksimum 3
persen pada 2023. Itulah sebabnya, meskipun telah dibuka batas atasnya,
stimulus tidak dilakukan secara progresif karena punya beban untuk kembali
dalam dua tahun dari sekarang. Resesi kali ini memang amat sulit
dikalkulasi; tak mudah melakukan prediksi. Janji kembali ke angka 3 persen
bisa jadi merupakan bagian kesulitan mengantisipasi situasi. Ketiga, meskipun pemerintah punya
kesempatan untuk menerbitkan perppu kembali yang memperpanjang defisit di
atas 3 persen pada periode berikutnya, tampaknya situasi politik tak
serta-merta mudah. Presiden Joko Widodo dan kabinetnya akan
berhenti pada 2024. Sebenarnya, dari sisi kesantunan politik, masuk akal jika
Presiden mengembalikan posisi keuangan negara yang pruden sebelum
menyelesaikan periodenya. Pandemi Covid-19 adalah musuh tidak
kelihatan yang hingga hari ini tak bisa diprediksi dengan baik kapan
berakhirnya. Bahkan lebih rumit lagi, para ahli epidemiologi sekalipun belum
berani menyimpulkan cara berakhirnya. Sangat mungkin Covid-19 tak akan
hilang, pandemi akan berubah menjadi endemi. Meski tak terjadi seluas
sekarang dan mungkin kurang mematikan, virus korona akan tetap bersama kita
dalam kurun waktu cukup lama. Dengan demikian, perekonomian tidak akan
kembali pada masa sebelum Covid-19. Bisa jadi akan ada sektor industri yang
tak lagi bisa bangkit, tetapi ada sektor yang justru memiliki peluang tumbuh
lebih besar. Masalahnya, jika sektor yang surut tersebut
menyerap tenaga kerja banyak, pemerintah tak bisa tinggal diam. Kebijakan
fiskal tetap harus mampu menyangga agar kesejahteraan sosial tetap terjaga.
Bantuan sosial, stimulus dunia usaha, bisa jadi tetap akan menjadi pos
anggaran yang harus disediakan pemerintah dalam kurun waktu cukup lama. Dalam satu tahun terakhir, pemerintah
sangat cermat menghitung pengeluaran sosial yang harus disediakan akibat
pandemi. Menteri Keuangan tentu punya kalkulasi, subsidi harus tetap
tersedia, tetapi bukan dalam jumlah yang tidak terbatas. Apalagi, defisit
fiskal harus kembali pada batas atas 3 persen pada 2023. Manuver kebijakan
berada dalam ruang yang cukup terbatas. Itulah sebabnya, kebijakan pengendalian
virus tak bisa dilakukan secara ekstrem. Banyak negara memilih kebijakan
lockdown ketat dalam kurun waktu cukup lama. Selandia Baru adalah contoh
negara kecil yang sangat ketat mengisolasi diri dari mobilitas global
sehingga negara itu bisa mendeklarasikan diri sebagai salah satu negara yang
bebas virus korona. Kebijakan lockdown ketat tak dipilih karena
biayanya sangat mahal. Pemerintah harus menyediakan belanja sosial sangat
tinggi. Akhirnya, yang terjadi adalah kompromi. Pembatasan tetap dilakukan,
tetapi dengan berhati-hati. Akibatnya, banyak pihak menangkapnya
sebagai sinyal yang ambigu, tak jelas maunya apa. Dilema dalam kebijakan
pengetatan memang rumit sehingga membuat kita berada dalam situasi yang serba
tanggung. Arah
pemulihan Vaksin merupakan game changer penanganan
pandemi. Kecepatan melakukan vaksinasi akan sangat menentukan pemulihan
ekonomi. Banyak negara memacu target vaksinasi nasional agar tercipta
kekebalan komunitas, seperti dilakukan Israel. Dengan demikian, harapannya
ekonomi segera bangkit. Faktor inilah yang membuat proyeksi pertumbuhan
negara maju lebih baik dibandingkan perhitungan sebelumnya. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat (AS) 2021 sebesar 5,1 persen. Di antara kelompok negara maju,
AS termasuk yang pulih cepat dengan angka yang relatif tinggi. Ada dua faktor yang membuat perekonomian AS
pulih di atas perkiraan banyak pihak. Pertama, kebijakan fiskal yang sangat
agresif sehingga bisa memompa dinamika ekonomi. Kedua, pelaksanaan vaksinasi
secara intensif. Kombinasi di antara keduanya merupakan resep yang untuk
sementara dianggap paling baik. Tampaknya pemerintah Joe Biden tak akan
kesulitan mendapatkan persetujuan Senat tambahan anggaran 1,9 triliun dollar
AS guna membiayai penyelamatan ekonomi akibat pandemi. Padahal, sebelumnya,
Presiden Donald Trump sudah mendapatkan injeksi lebih dari 4 triliun dollar
AS. Biaya yang dikeluarkan AS untuk memerangi pandemi hampir setara dengan
separuh perekonomian AS. Dampaknya, tingkat utang pemerintah melonjak menjadi
130 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Dalam hal vaksin, Biden terus memacu
vaksinasi dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Keduanya juga menjadi
rumus yang dinilai ampuh, vaksin tak bisa sendiri, hal itu juga harus
dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan tinggi. Data Fiscal Monitor Update Januari 2021
terbitan IMF menunjukkan AS akan mengalami defisit fiskal sebesar 11,8 persen
tahun ini, sedangkan China 11 persen dan India 9,7 persen. Indonesia memilih
jalur moderat dengan proyeksi defisit 2021 sebesar 6,1 persen. Pada 2020, realisasi defisit anggaran
sebesar 6,09 persen atau lebih rendah dari rencana seperti tertuang dalam
Peraturan Presiden No 72 Tahun 2020 sebesar 6,34 persen. Tentu saja sebuah
berita bagus karena jalan menuju defisit 3 persen pada 2023 semakin dekat.
Namun, di sisi lain, hal itu memunculkan dilema hilangnya momentum pemulihan
ekonomi. Dengan keterserapan anggaran pemulihan yang tak optimal, pemulihan
ekonomi juga terhambat. Jalur pemulihan ekonomi agak berbeda dengan
India, yang pada 2020 terkontraksi tajam, salah satunya akibat kebijakan
pengetatan ekonomi, biaya krisis yang besar, tetapi prospek pemulihan lebih
cepat. Salah satu faktor utamanya adalah mereka berhasil menurunkan angka
pasien terinfeksi secara tajam. Tak seluruhnya akibat kebijakan ekonomi.
Bisa jadi secara alamiah virus mulai melemah. Yang jelas, situasi ini belum
terjadi pada kita. Penambahan kasus masih relatif tinggi, belum ada
tanda-tanda virus korona mereda. Kenaikan siklus ekonomi bagaimanapun sangat
tergantung penurunan siklus penyakit. Vaksin menjadi perangkat mitigasi
penting saat ini, pertandingan antara kecepatan injeksi (vaksin) dan
peningkatan infeksi harus dimenangi dengan percepatan program vaksinasi. Meski demikian, ini juga bukan perkara
mudah ternyata karena kalaupun anggaran tersedia, tingkat produksi serta
distribusi tak serta-merta bisa dipenuhi. Belum lagi dengan tenaga medis yang
melakukan penyuntikan vaksin, yang jumlahnya selain terbatas juga tak merata. Pada akhirnya, memang tak ada jalan mudah
menghadapi masalah rumit ini. Namun, bisa jadi pemerintah harus sedikit
berani mengetatkan ekonomi, mengakselerasi vaksinasi dan memperlonggar
defisit fiskal. Tak ada formula tunggal dan bahkan rujukan
kesuksesan. Tiap negara punya formulanya sendiri. Pandemi bagaikan
laboratorium kebijakan publik yang pelik. Salah satu pertanyaan paling
penting dalam kebijakan publik ke depan adalah perlukah kita buru-buru
kembali ke defisit anggaran 3 persen pada 2023 nanti. Kalaupun kita tidak bisa pulih lebih cepat,
tentu kita harus punya pijakan kebijakan mengapa kita (memilih) jalur lambat.
Bisa jadi, pemulihan bertahap memungkinkan kita menaruh fondasi yang lebih
kuat dan terukur (pruden) sehingga kalaupun pertumbuhan ekonomi 2021 tak
setinggi banyak negara besar lain, harapannya lebih tahan gejolak dan
berkesinambungan. Tentu alasan ini harus dibuktikan dengan
argumen yang kokoh, bukan sekadar mengatur gaya saat terpelanting jatuh.
Terhadap fakta rumit yang brutal ini, mungkin kita perlu kembali pada rujukan
filosofis Kierkegaard. Situasi serba nanggung (mediocrity) hanya bisa
dipecahkan dengan tampilnya seorang atau sekelompok orang yang berani
mendobrak ketakutan dan absennya tindakan akibat sikap puas diri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar