Membuka
Diri ALISSA WAHID ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan
Keagamaan |
KOMPAS,
21 Februari
2021
Dalam Udar Rasa berjudul ”Menghakimi”
(Kompas 31/1/2021), saya mengangkat teori Profesor Otto Scharmer tentang tiga
suara yang mewarnai bagaimana kita mencerna dan merespons segala hal yang
terjadi di sekitar kita: voice of judgement (suara menghakimi), voice of
cynicism (suara sinis), dan voice of fear (suara rasa takut). Walaupun
sifatnya personal, ternyata tiga suara ini sangat memengaruhi situasi
kemasyarakatan kita, seperti dalam kasus ujaran rasis terhadap Natalius Pigai
dan kasus jilbab di kota Padang. Tulisan tersebut direspons dan dikutip oleh
cukup banyak orang, barangkali karena penggerak Presencing Institute di MIT
Sloan School of Management ini membantu kita memahami fenomena sosial saat
ini. Permintaan pun mengalir untuk membahas lebih dalam tentang resep jitu
profesor Otto menghadapi ketiga suara yang menyesatkan tersebut. Sang profesor yang memiliki ribuan murid di
seluruh dunia itu menyatakan ada tiga jawaban atas tiga suara ini: open mind
(membuka pikiran), open heart (membuka hati), dan open will (membuka tekad). Catatan saya, ketiga sikap membuka diri ini
adalah prinsip instrumental. Oleh karena itu, perlu dilandaskan pada prinsip
yang esensial, seperti nilai keadilan, kemanusiaan, respek, kesetaraan, dan
seterusnya. Tanpa prinsip-prinsip fundamental tersebut, sikap membuka diri
bisa terjebak dalam kompromi belaka. Semisal, dalam video lansiran Kompas.com,
para pelajar putri beragama selain Islam di kasus Padang menyatakan mereka
tidak mempersoalkan harus berjilbab di sekolah karena sudah terbiasa dan
menghormati kelompok mayoritas. Sekilas, bisa disimpulkan bahwa tidak ada
masalah yang berarti karena toh pihak-pihak yang terlibat tidak
mempersoalkan. Namun, bila dikembalikan kepada prinsip keadilan bagi setiap
warga negara, praktik seperti ini tentu tidak dapat dilanjutkan. Dengan prinsip fundamental yang kuat,
ketiga sikap membuka diri akan mengurai berbagai persoalan yang bersumber
dari tiga Suara yang memperdayakan di atas. Membuka
pikiran Suara sang hakim biasanya terjadi karena
kita sibuk dengan pikiran kita sendiri sehingga kita cenderung terperangkap
klaim kebenaran. Sikap open mind membuat kita siap menunda kesimpulan sebelum
memperluas wawasan. Sikap ini ditandai dengan upaya untuk mengunduh lebih
banyak informasi dan data, mencoba memahami persoalan dengan lengkap secara
rasional, lalu menggunakannya untuk menarik kesimpulan. Sebagai contoh, orang Tionghoa di Indonesia
seringkali dihakimi hanya jago dalam perdagangan. Seandainya kita mau membuka
pikiran dengan membaca sejarah, maka kita akan mendapati bahwa selama lebih
dari 30 tahun kaum Tionghoa terdiskriminasi sehingga tidak dapat memasuki
ruang-ruang aktualisasi lain selain berdagang dan mengajar di institusi
pendidikan tertentu. Jangankan menjadi tentara, menjadi pegawai negeri sipil
pun hampir tidak mungkin. Membuka
hati Jebakan kedua, suara sinis, terjadi saat
kita dikuasai sentimen negatif terhadap pilihan dan pandangan kelompok atau
orang yang berbeda. Ini terjadi karena kita tidak mampu menempatkan diri kita
pada posisi orang lain. Sikap open heart membuat kita lebih berhati-hati,
mencoba menyelami sudut pandang liyan, sehingga kita mampu bersikap empatik
dan menghormati pilihan yang berbeda. Sekali lagi, ini perlu dilandasi
prinsip nilai yang tepat untuk membedakan open heart dengan sikap permisif. Banyak orang (dan secara spesifik:
birokrat) yang terjebak dalam suara sinis terkait masyarakat Papua. Suara
kritis dari Papua ditanggapi dengan pandangan bahwa negara sudah memberikan
alokasi dana yang luar biasa besar, karena itu warga Papua tidak layak
bersikap kritis. Dengan membuka hati, kita akan bisa
berempati terhadap perjuangan panjang atas keadilan sosial yang belum juga terwujud baik di sana.
Menyumbang perekonomian (produk domestik bruto) sangat besar, tetapi
kesejahteraan penduduk Provinsi Papua dan Papua Barat masih termasuk yang
terendah di negeri ini. Membuka
tekad Jebakan ketiga, suara takut, terjadi ketika
kita tak mampu membuka ruang hidup bersama, karena kita terlalu takut akan
kegagalan atau kekalahan oleh liyan. Suara takut sangat sering muncul dalam
pernyataan yang menunjukkan perasaan tidak aman (insecure). Contoh klasiknya
adalah penolakan terhadap kehadiran rumah ibadah kelompok minoritas agama di
lingkungan sekitar karena takut akan dilakukan blablabla-isasi. Suara takut dapat diatasi dengan open will,
membuka niatan atau tekad untuk berangkat dengan prinsip nilai luhur dalam
mengelola perbedaan dan tegangan sehingga dapat mencapai titik temu dan
melangkah maju. Dalam contoh rumah ibadah, sikap open will
akan membantu semua pihak untuk menerima kehadiran saudara sebangsa dengan
segenap haknya. Alih-alih merasa terancam, masyarakat dapat membuka peluang
untuk membangun prinsip hidup bersama yang lebih tepat tanpa menegasikan
kebutuhan setiap pihak. Suara takut seringkali didahului dua suara
sebelumnya. Sikap membuka tekad untuk mengalahkan rasa takut mensyaratkan
kita untuk siap membuka pikiran dan hati. Konsep tiga suara dan tiga sikap membuka
diri tampak sederhana, tetapi nyatanya tidak mudah diaplikasikan. Ketiga
suara membawa kita kepada berbagai persoalan yang rumit dalam kehidupan
berbangsa. Di sisi lain, membudayakan ketiga sikap
membuka diri juga perlu kerja keras karena tidak semudah membalik telapak
tangan. Masalahnya, bila kita tak kunjung mengubah diri, harga yang kita
bayar akan semakin besar. Jangan-jangan, inilah Revolusi Mental yang
sungguh kita perlukan sebagai bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar