Kritik
dan Retrogresi Demokrasi Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political
Literacy Institute; Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta |
KOMPAS,
19 Februari
2021
Harian Kompas (15/2/2021) mengangkat berita
menarik dengan judul ”Pertahankan Ekosistem Demokrasi”. Berita ini relevan
memantik kesadaran kita tentang perlunya perlindungan atas kebebasan
berpendapat sebagai salah satu hak asasi di negara demokrasi. Saat ini muncul dan menguat gejala
retrogresi demokrasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), retrogresi
dimaknai sebagai kemunduran, pemburukan, penurunan. Secara terminologis,
retrogresi demokrasi mengacu pada kemunduran kualitas demokrasi yang
diakibatkan oleh hilangnya kepekaan dan komitmen untuk menghormati hukum dan
keadaban. Kualitas diskursus publik di berbagai kanal
warga menampakkan wajah paradoks. Banyak elite politik dan para pendukungnya
yang tidak siap dengan kritik memarginalkan dialektika dan mengedepankan
kedangkalan nalar kekelompokan. Ekosistem
demokrasi Keberlimpahan informasi memunculkan sisi
gelap perang opini di berbagai lini masa media sosial. Sayangnya,
perbincangan warganet banyak yang tak mengacu ke rasio emansipatoris dan
kepentingan publik, tetapi lebih ke sentimen pribadi dan kekelompokan yang
kerap berujung pada saling lapor ke polisi atas nama pelanggaran
undang-undang (UU), seperti UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Perundungan siber, persekusi, doxing, dan
pembunuhan karakter yang melibatkan para pendengung (buzzer) semakin
menjadi-jadi. Padahal, perbedaan pandangan dan kritik sangatlah diperlukan
untuk membangun ekosistem demokrasi yang sehat. Presiden Jokowi beberapa kali menyampaikan
pentingnya fungsi kritik. Saat pidato di puncak Peringatan Hari Pers Nasional
Tahun 2021 di Istana Negara, 9 Februari lalu, Presiden meminta pers turut
memberikan kritik dan saran kepada pemerintah. Pun demikian saat memberikan
sambutan pada acara Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, 8 Februari 2021,
Presiden juga meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik atas potensi
malaadministrasi dari para penyelenggara pelayanan publik. Di waktu lain, saat berpidato di hadapan
Sidang Bersama DPR dan DPD di Gedung Nusantara, 16 Agustus 2018, Presiden
Jokowi menekankan pentingnya ekosistem demokrasi yang kondusif dan stabilitas
keamanan. Ibarat alam, ekosistem itu merupakan sistem
ekologi yang terbentuk secara timbal balik antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Pun demikian ekosistem demokrasi, banyak faktor yang harus
dijaga agar kondusif, sehat, dan berkelanjutan. Misalnya proses pemilu dan
pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya
politik, serta tentunya kebebasan sipil. Laporan The Economist Intelligence Unit
(EIU) tentang indeks demokrasi 2020 seharusnya menjadi lecutan untuk Indonesia.
Indeks demokrasi kita merosot dari 6,48 ke 6,3 dan Indonesia menempati
peringkat ke-64 dari 167 negara di dunia. Ini merupakan angka terendah yang
diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan
demokrasi cacat. EIU mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori
rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter. Yang menarik kita cermati sebagai bahan
evaluasi, EIU memberikan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme.
Sementara itu, fungsi dan kinerja pemerintah dengan skor 7,50, partisipasi
politik 6,11, budaya politik 4,38, dan kebebasan sipil dengan skor 5,59.
Dengan melihat skor tersebut, yang mencolok tentu saja budaya politik dan
kebebasan sipil yang masih rendah. Upaya menguatkan dan mengokohkan kebebasan
sipil menjadi hal fundamental. Pemerintah ataupun masyarakat harus menjadikan
ini sebagai agenda kerja bersama bukan sekadar menjadi pemanis retorika
belaka. Harus ada perlindungan yang jelas atas
kebebasan berpendapat dalam arti sesungguhnya. Konstitusi kita, terutama
Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945, jelas dan eksplisit menyatakan bahwa ”setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat”. Paradoks
kebebasan Ada sejumlah data dan catatan penting dari
berbagai lembaga yang menarik dicermati secara serius. Catatan dari Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), hingga Oktober
2020, ada sepuluh peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik
Presiden Jokowi. Selain itu, ada 14 peristiwa, dengan 25
orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan empat peristiwa dengan empat
orang diproses karena mengkritik pemda. Mereka diproses dengan penggunaan
surat telegram Polri ataupun UU ITE. Freedom House (FH) merilis hasil penelitian
yang menunjukkan kualitas kebebasan berinternet di Indonesia memburuk.
Dilansir dari freedomhouse.org, kebebasan internet Indonesia pada 2019
mencapai nilai 51 dari skala 0-100, sementara di 2020 nilainya memburuk
menjadi 49. Dari sejumlah faktor yang menurunkan ini,
antara lain karena adanya intimidasi dan doxing terhadap aktivis serta
jurnalis. Peretasan terhadap akun media sosial aktivis prodemokrasi hingga
pengkritik kebijakan pemerintah di tengah pandemi Covid-19 yang semakin marak
pada 2020. Kriminalisasi terhadap jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil
lainnya yang mengkritik kebijakan pemerintah lokal. Hasil survei Indikator Politik Indonesia
yang dilakukan pada 24-30 September 2020 mengonfirmasi persepsi yang muncul
di publik. Jajak pendapat yang melibatkan 1.200 responden dengan tingkat
kepercayaan 95 persen itu mendapati, 21,9 persen warga sangat takut untuk
berpendapat dan 47,7 persen berpendapat agak takut untuk berpendapat. Kasus mutakhir yang perlu diberi catatan,
misalnya pelaporan Din Syamsuddin oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR)
Institut Teknologi Bandung (ITB) ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan
Badan Kepegawaian Negara (BKN). Terbayang, jika semua dosen di perguruan
tinggi negeri (PTN) dalam tulisan dan perbincangan publiknya melakukan kritik
kepada pemerintah, apakah dianggap melanggar karena posisinya sebagai ASN? Intelektual berhak memiliki nalar kritis
yang mencerminkan sikap akademisnya, selama basisnya nalar rasional yang bisa
diuji dan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika dia melampaui batas, misalnya
memprovokasi melakukan makar, menyebarkan kebencian (hatespeech) atas nama
suku, agama, ras, golongan, orientasi seksual, dan kelompok disabilitas bisa
diproses di ranah hukum sebagai pertanggungjawaban. Untuk kasus Din Syamsuddin, Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD telah menegaskan,
pemerintah tak akan menindaklanjuti proses hukum terhadap Din. Ini merupakan
sikap terang benderang yang dikomunikasikan kepada publik dan layak
diapresiasi, jika tidak tentu secara langsung atau tidak akan muncul
prasangka negatif kepada pemerintah. Catatan
perbaikan Paling tidak ada dua hal yang perlu
diperbaiki. Pertama, sifatnya struktural, yakni menyangkut aparat dan produk
undang-undang. Aparat penegak hukum, seperti polisi, harus bersikap
imparsial. Jangan ada tendensi mengarah pada ketidakadilan dalam penegakan hukum,
terlebih jika dibaca publik membedakan perlakuan antara kepada mereka yang
prokekuasaan dan yang kontrakekuasaan. Selain itu, perlu evaluasi dan kontrol
terkait dengan beragam pasal karet yang bisa menjerat orang dengan kelenturan
tafsir yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah Pasal 27 Ayat 3 UU No
19 Tahun 2016. Pasal tersebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal seperti ini bisa jadi
pintu masuk mudah bagi orang atau kelompok tertentu untuk menjerat orang lain
atas nama penghinaan dan pencemaran nama baik. Kedua, peran yang harus diambil oleh mereka
yang menjadi gatekeeper sekaligus jangkar komunikasi warga. Misalnya, orang
atau lembaga yang berada di balik bekerjanya para pendengung. Tanggung jawab
politik dan sosial harus ditradisikan. Narasi ataupun kontranarasi basisnya
argumen dan data, bukan dengan cara kill the messenger! Menghantam dengan
segala cara yang mengarah pada pembunuhan karakter akan membuat tradisi
kritik dan berdebat di ruang publik sirna. Mark Poster dalam tulisannya,
Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere (1995), memberi optimisme
bahwa media daring bisa menjelma menjadi harapan ketersediaan ruang publik
baru yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Namun, harapan tersebut bisa menjadi utopia
dan tak akan pernah mewujud jika pengkritik diserbu habis-habisan oleh
pasukan pendengung tanpa mengindahkan etika dan hukum dengan modus
bersembunyi di ruang gelap jagat maya. Terlebih kalau mereka mendapatkan
perlakuan istimewa dari aparat. Biarlah narasi dilawan narasi, data dengan
data, argumen bekerja di ruang dialektika. Ekosistem demokrasi perlu dirawat
secara bersama-sama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar