Jalan
Gersang Ekonomi Syariah Jokowi Noval Adib ; Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya |
DETIKNEWS,
19 Februari
2021
Beberapa waktu terakhir ini Presiden Jokowi
beserta jajarannya (Wapres Maruf Amin, Menkeu Sri Mulyani, dan Meneg BUMN
Erick Thohir) rajin mempromosikan ekonomi syariah. Sri Mulyani sudah beberapa
waktu yang lalu diangkat sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI).
Erick Thohir baru beberapa hari yang lalu dipercaya untuk menjadi Ketua Umum
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Sedangkan Wapres Maruf Amin sendiri sudah
cukup lama dikenal sebagai pegiat ekonomi syariah; bertahun-tahun menjabat
sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di beberapa bank syariah di Indonesia. Dengan dikelilingi orang-orang kepercayaan
yang aktif dalam ekonomi syariah itu, baik yang sudah lama aktif atau yang
mendadak aktif, Jokowi tampak percaya diri untuk memaksimalkan potensi umat
Islam yang diwadahi oleh lembaga-lembaga keuangan syariah yang dibentuk oleh
pemerintahannya. Terakhir pemerintah membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI)
yang dimaksudkan untuk menampung dana wakaf dari umat Islam. Dana wakaf yang terkumpul nantinya tidak
hanya akan digunakan untuk membangun sarana ibadah umat Islam, tapi juga akan
digunakan untuk membangun infrastruktur atau fasilitas umum sebagaimana yang
disampaikan oleh Sri Mulyani. Dan yang tidak kalah bikin mengernyitkan dahi
adalah susunan kepengurusan MES yang dipimpin oleh Erick Thohir. Tidak saja diisi oleh orang-orang yang
sebelumnya tidak begitu akrab bahkan bisa dikatakan awam dengan ekonomi
syariah seperti Mahfud MD, Puan Maharani, Bambang Soesatyo, Retno Marsudi,
dan lain-lain atau orang yang selama ini selalu kritis terhadap penerapan
syariat Islam dan 'arabisasi' seperti Yaqut Qoumas, tapi juga diisi oleh
non-Muslim seperti Martin Hartono yang merupakan anak dari bos Djarum Robert
Hartono. Itu semua menimbulkan pertanyaan yang lebih
mencerminkan kebingungan seperti seberapa sukses BWI nanti menarik minat umat
Islam untuk menyetorkan sekaligus mengelola dana wakaf tersebut? Ke mana arah
pengembangan MES dengan kepengurusan yang terlalu gado-gado seperti itu? Atau
pertanyaan lebih umum: mau dibawa ke mana ekonomi syariah oleh Presiden
Jokowi? Untuk menjawabnya perlu dilihat dulu posisi
ideal ekonomi Islam/syariah dalam masyarakat Muslim menurut beberapa
cendekiawan Muslim kontemporer. Umer Chapra (2003), seorang intelektual asal
Pakistan yang telah lama bermukim di Arab Saudi menempatkan ekonomi Islam
pada fase ke-5 dalam fase perkembangan ilmu ekonomi modern. Tahap pertama adalah bentuk awal ilmu
ekonomi ketika Adam Smith menerbitkan bukunya The Wealth of Nations. Pada
tahap ini tidak ada peran lembaga apapun kecuali pasar dalam mendistribusikan
dan mengalokasikan sumber daya. Istilah laissez faire (bebas dari intervensi
apapun) diterapkan pada tahap ini. Oleh karena itu, peran keluarga,
masyarakat, negara, dan nilai moral diabaikan sama sekali. Tahap kedua adalah ekonomi dengan peran
agresif yang dimainkan oleh negara. Alasan yang mendasari peran aktif
pemerintah adalah karena banyak negara pasca Perang Dunia II menghadapi
kesulitan dalam mempercepat pembangunan kalau hanya melalui kekuatan pasar.
Oleh karena itu negara mengambil inisiatif untuk ikut berperan penting dalam
perekonomian. Namun karena negara pada umumnya tidak memiliki sumber daya yang
memadai untuk menjalankan peran tersebut, terjadi defisit anggaran yang
besar. Ini dibiayai melalui ekspansi moneter dan selanjutnya menyebabkan
inflasi dan beban pembayaran hutang yang berat. Meskipun peran negara dalam
pembangunan mulai diakui pada tahap ini, peran keluarga, masyarakat, dan
nilai-nilai masih tetap terabaikan. Tahap ketiga adalah ekonomi yang berfokus
kembali pada liberalisme dan kekuatan pasar. Hal ini disebabkan oleh
stagflasi pada tahun 1970-an, yang menurunkan kepercayaan terhadap kemampuan
pemerintah untuk memainkan peran ekonominya. Namun demikian, meski pada tahap
ini muncul kebangkitan kembali anti intervensi dan pro pasar bebas dalam
kegiatan ekonomi, namun tidak berhasil menghidupkan kembali konsep laissez
faire seperti pada tahap pertama. Keyakinan akan peran penting pemerintah
dalam pembangunan melalui 'tata pemerintahan yang baik' tidak hanya bertahan,
tetapi juga semakin menonjol. Perubahan penting lainnya pada tahap ketiga ini
adalah munculnya pengakuan atas pentingnya peran keadilan dalam pembangunan. Berikutnya, berdasarkan pengalaman tahapan
sebelumnya dan berkembangnya wawasan intelektual di kalangan ekonom, tahapan
keempat muncul dengan kesadaran bahwa pasar dan negara tidak sepenuhnya
mengakomodir peran institusi social dalam bidang bisnis dan ekonomi. Oleh
karena itu, peran faktor-faktor sosial, kelembagaan, politik, dan sejarah
perlu dipertimbangkan dan untuk memanfaatkan potensi kontribusi dari semua
itu untuk mempercepat pembangunan. Istilah 'modal sosial' diperkenalkan pada
tahap ini. OECD mendefinisikan modal sosial sebagai
jaringan bersama dengan norma, nilai, dan pemahaman bersama yang
memfasilitasi kerja sama di dalam atau di antara kelompok. Atau lebih jelas
lagi modal sosial didefinisikan sebagai "perekat yang menyatukan
masyarakat" yang diperlukan untuk menjalankan tatanan sosial,
bersama-sama dengan budaya dan norma perilaku bersama, sebagaimana
disampaikan oleh Serageldin dan Grootaert (2000). Kohesivitas internal ini
membantu mendefinisikan modal sosial. Tanpa modal sosial, masyarakat akan
runtuh, dan tidak akan ada pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, atau
kesejahteraan manusia, seperti yang terjadi di Somalia, Rwanda, dan
Yugoslavia. Chapra (2003) mengemukakan bahwa tahap
keempat bukanlah tahap final atau tahap terbaik, sehingga ia menempatkan
ekonomi Islam sebagai tahap kelima. Meskipun Chapra menyambut baik tahap
keempat, namun ia merasa rasa saling percaya tidak bisa secara efektif ditanamkan
di masyarakat hanya dengan adanya nilai dan jejaring sosial. Nilai-nilai ini
perlu diterima oleh semua anggota masyarakat sebagai nilai absolut yang tidak
perlu diperdebatkan lagi, yang diyakini mampu meningkatkan keadilan dan
harmoni sosial serta meminimalkan kejahatan dan ketegangan dalam masyarakat
(Chapra, 2003). Nah, pada posisi inilah ekonomi dan bisnis
Islam bisa mengambil peran penting mengingat ajaran Islam hampir semua
nilai-nilai dasarnya masih dipatuhi dengan baik oleh para pemeluknya. Untuk
isu yang lebih sempit, Sadr, seorang intelektual Iran, menyatakan diperlukan
masyarakat yang menerima dan mengamalkan nilai-nilai Islam sepenuhnya (kafah)
supaya lembaga keuangan Islam dapat beroperasi dengan baik. Sedangkan dalam
masyarakat yang sekuler, lembaga keuangan Islam akan menghadapi kesulitan
karena akan beroperasi melawan arus utama yang ada (Mallat, 2003). Apa yang disampaikan oleh Sadr tersebut
tampaknya terbukti di Indonesia di mana pangsa pasar bank syariah di
Indonesia hanya sekitar 9%, meski Indonesia adalah negara dengan jumlah
populasi Muslim terbesar di dunia. Lalu, bagaimana dengan prospek ekonomi
syariah yang dipromosikan Jokowi? Kalau melihat beberapa kondisi yang
diperlukan untuk mengimplementasikan ekonomi syariah secara efektif
sebagaimana disampaikan oleh dua cendekiawan di atas, sepertinya memang berat
bagi Jokowi cs untuk mempromosikan ekonomi syariah di tengah-tengah
masyarakat yang kohesivitasnya makin retak atau modal sosialnya makin
terkikis. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa hubungan Jokowi dan umat Islam
secara umum adalah tidak begitu akrab karena faktor politik. Saat ini muncul persepsi yang sangat kuat
di masyarakat bahwa umat Islam terbelah antara pendukung Presiden Jokowi dan
yang oposisi terhadapnya. Keterbelahan ini makin menguat disebabkan sikap
Presiden Jokowi yang dianggap membiarkan hal ini berlangsung yang ditandai
dengan berlakunya tebang pilih untuk beberapa kasus hukum yang dilakukan oleh
kedua belah pihak. Di samping itu jargon-jargon yang mengesankan 'anti
arab/arabisasi' dan melabeli segala sesuatu yang berbau Arab dengan istilah
pejoratif 'kadrun' (kadal gurun) secara masif dilakukan oleh para pendukung
Jokowi dan terkesan dibiarkan saja oleh Jokowi. Dalam masyarakat yang kohesivitas sosialnya
makin rapuh seperti ini, khususnya kohesivitas antara umat Islam dan
pemerintah, tiba-tiba Presiden Jokowi dan jajarannya meluncurkan beberapa
kebijakan yang intinya ingin memaksimalkan potensi umat Islam di bidang
ekonomi dalam bingkai ekonomi syariah. Kebijakan pertama adalah melebur (merger)
beberapa bank syariah milik pemerintah menjadi satu bank syariah yang
berakibat pada asetnya yang menjadi lebih besar. Untuk kebijakan ini tidak
begitu menimbulkan reaksi signifikan dari masyarakat kecuali untuk beberapa
kalangan terbatas karena institusi perbankan syariah sudah mapan di usianya
yang ke tiga puluh tahun beroperasi di Indonesia. Adapun yang merupakan prakarsa asli
pemerintahan Jokowi adalah pembentukan BWI. Inti dari fungsi BWI ini adalah
menghimpun wakaf tunai dari masyarakat yang nantinya akan digunakan untuk
infrastruktur atau fasilitas umum yang manfaatnya akan kembali ke masyarakat.
Sudah tentu tujuan BWI ini baik, karena sifat dasar dari wakaf memang sesuatu
yang baik, terlepas dari adanya perdebatan fikih apakah diperbolehkan wakaf
dalam bentuk uang tunai karena menurut sunnah yang dipahami selama ini ibadah
wakaf adalah penyerahan harta tidak bergerak baik berupa tanah atau bangunan
untuk kepentingan umat. Adapun kalau berupa uang ada istilah fikihnya sendiri
yaitu zakat, infak, atau sedekah. Untuk prakarsa pendirian BWI inilah
pemerintahan Jokowi mendapat respons negatif yang sangat besar. Dipasangnya
nama besar tokoh ekonomi syariah sekelas KH Maruf Amin tidak mampu memancing
respons positif dari publik. Kalau dibandingkan dengan pendirian bank syariah
pertama di Indonesia di era Presiden Soeharto tiga puluh tahun yang lalu, hal
ini sangat kontras sekali. Pak Harto mendapat sambutan gegap gempita dari
umat Islam ketika mensponsori berdirinya bank syariah pertama di Indonesia. Ecip dkk (2002) mendeskripsikan dengan
detail bagaimana proses pendirian bank syariah pertama di Indonesia tersebut
sejak mulai ide dari beberapa tokoh dan aktivis Muslim, lalu mempromosikan
ide tersebut ke institusi-institusi terkait seperti Majelis Ulama Indonesia,
mengadakan seminar-seminar, sampai kemudian mendekati pemerintah dimulai dari
menteri-menteri yang dianggap relevan sampai akhirnya berhasil menghadap
presiden Soeharto langsung. Namun yang tidak kalah pentingnya dari
proses tersebut adalah terjadinya 'bulan madu' antara Presiden Soeharto
dengan umat Islam sejak beberapa tahun sebelumnya. Rezim Soeharto mulai
kembali mesra dengan umat Islam --setelah sebelumnya mengalami hubungan yang
tegang selama bertahun-tahun-- sejak 1989 yang ditandai dengan lahirnya UU
Peradilan Agama dan diperbolehkannya jilbab dipakai di sekolah-sekolah,
pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990, dan lalu
pendirian bank syariah pada 1991. Kemesraan itu terus berlanjut sehingga pada
1993 ketika Presiden Soeharto memilih Ketua Umum ICMI BJ Habibie sebagai
sebagai wakil presiden, serta menempatkan banyak tokoh Muslim dalam jajaran
kabinetnya. Jadi kondisi masyarakat Islam yang
harmonis, baik harmonis antarmasyarakat sendiri maupun antara masyarakat
dengan pemerintah sudah terbentuk lebih dulu sebelum bank syariah pertama
didirikan pada zaman Pak Harto. Dengan kata lain, lahan sudah subur ketika
bibit bank syariah mulai disemai. Ini sesuai dengan prasyarat yang diperlukan
ketika ekonomi memasuki tahap 4 (perlunya modal sosial) dan tahap 5 (perlunya
nilai-nilai yang diyakini bersama tanpa perlu diperdebatkan) sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Chapra di atas. Bank syariah pertama di Indonesia didirikan
di atas basis modal sosial yang kuat atau dalam kondisi ukhuwah umat Islam
Indonesia yang kokoh sehingga tidak heran jika pendiriannya berjalan dengan
mulus dan mendapat respon sangat positif dari umat Islam. Pada era Jokowi
justru sebaliknya. Inisiatif untuk mendirikan BWI justru diawali dengan
'membelah' umat Islam, entah hal itu disengaja atau tidak. Lalu dalam kondisi
umat Islam yang terbelah ini diluncurkanlah prakarsa mendirikan BWI. Tentu hal ini bertentangan dengan
kondisi/syarat ideal yang diperlukan seperti yang telah dijelaskan oleh
Chapra. Alih-alih mendapat dukungan, pendirian BWI justru membuahkan
"bullying" terhadap pemerintah sebagai pemrakarsa. Banyak meme di
medsos yang isinya berupa ejekan, misalnya gambar Sri Mulyani dengan tulisan
"Mohon wakaf', atau tulisan "Katanya anti Arab? Kok pakai istilah
Arab? Gunakan saja istilah asli Nusantara "saweran", dan masih
banyak lagi meme yang lain. Ibaratnya, lahannya dibikin tandus dan
gersang terlebih dahulu sebelum dilakukan penanaman. Lalu, bagaimana bisa
diharapkan tanaman dapat tumbuh dengan baik jika lahannya sengaja dibikin
tandus dan tidak subur terlebih dahulu? Hal yang sama dengan MES yang banyak
dimotori oleh orang-orang yang awam atau bahkan asing akan ekonomi syariah
menimbulkan pertanyaan, sebenarnya ke arah mana ekonomi syariah akan
dikembangkan? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar