PERUBAHAN IKLIM
Seperempat Abad Perundingan Perubahan
Iklim
Oleh : DODDY S SUKADRI
KOMPAS, 12 Desember 2019
Konferensi
Perubahan Iklim Sedunia ke-25 pada 2 Desember 2019 lalu dibuka dalam keadaan
luar biasa. Empat minggu sebelum dimulai konperensi, Cile, tuan rumah
pertemuan, mengumumkan akan menunda konferensi karena kerusuhan sosial yang
sedang berlangsung di negara itu. Kemudian Spanyol menawarkan jadi tuan rumah,
dan Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC)
menerima tawaran itu.
Salah satu
pasal penting UNFCCC adalah kewajiban negara maju untuk bertanggung jawab dan
membantu negara-negara berkembang menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan
menyelesaikan masalah-masalah lain terkait mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim.
Dalam
sejarah negosiasi perubahan iklim selama 25 tahun ini, sesungguhnya hanya
dicapai dua kesepakatan penting (milestones) saja. Yang pertama tahun 1997 di
Kyoto, Jepang, menghasilkan Kyoto Protokol (KP), yang menegaskan kembali
kewajiban negara maju untuk bertanggung jawab terhadap pemanasan global. Yang
kedua, tahun 2015 di Paris, hasilnya Paris Agreement (PA). Terdapat perbedaan
mendasar KP dan PA. Menurut KP, hanya
negara maju wajib menurunkan emisi GRK-nya (mandatory), sementara negara berkembang
dapat melakukan secara sukarela (voluntary). Namun menurut PA, semua negara
berkewajiban menurunkan emisi GRK-nya.
Perbedaan
itu adalah berdasarkan hasil kajian ilmiah karena perubahan iklim sarat
argumentasi ilmiah. Lebih dari 2.500 peneliti di seluruh dunia berembug membuat
berbagai analisa dan skenario risiko yang akan terjadi di masa depan. Mereka
tergabung dalam Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC).
Dari
Indonesia, sekitar 13 orang telah diangkat dan bergabung di IPCC. Menurut
mereka, jika manusia tetap tak mau mengubah gaya hidupnya yang konsumtif dan
boros energi, serta tak peduli terhadap lingkungan, maka dalam jangka panjang
dampaknya akan sangat luar biasa.
Kenaikan
suhu global akan melampaui batas ambang kenaikan 2 derajat Celsius dibanding
suhu rata-rata sebelum Revolusi Industri abad 18, karena akan berakibat
rusaknya sistem kehidupan di Bumi.
Di Paris,
batas ambang kenaikan suhu ini malah diturunkan dari 2 menjadi 1,50 C. Artinya
kenaikan suhu global harus diupayakan maksimal 1,50 C dibandingkan suhu rata
sebelum revolusi industri. Hal ini kemudian memicu negara-negara di seluruh
dunia untuk lebih serius lagi menangani perubahan iklim.
Harapan dan tantangan
Indonesia
telah meratifikasi PA melalui UU No 16/2016. Artinya kita telah menyatakan
komitmen turut berkontribusi pada masalah perubahan iklim dunia. Komitmen para
negara ini dituangkan di Nationally Determined Contribution (NDC). Menurut NDC
Indonesia, dengan upaya sendiri, emisi GRK Indonesia akan diturunkan 29 persen
di 2030, dibandingkan emisi 2010, bila tak melakukan upaya apa-apa (business as
usual). Target ini lebih besar lagi, sampai 41 persen, bila dilakukan dengan
bantuan internasional.
Namun, di
Madrid akan diumumkan target penurunan emisi global yang baru karena target
yang ada saat ini dianggap kurang memadai untuk menurunkan suhu global dalam jangka panjang. Banyak
pihak juga berharap akan dilanjutkannya hasil KTT Iklim PBB yang dicapai di New
York September 2019, termasuk komitmen bantuan finansial jelang dimulainya
pelaksanaan Perjanjian Paris 2020 melalui Global Environment Fund (GEF) dan
Green Climate Fund (GCF).
Selain itu,
salah satu hasil utama yang diharapkan di Madrid adalah aturan Pasal 6
Perjanjian Paris. Pasal ini mencakup hasil mitigasi yang dapat ditransfer
secara internasional, mekanisme pasar, dan pendekatan non-pasar. Para Pihak
diharapkan juga dapat menyelesaikan masalah “loss and damage’ yang diakibatkan
oleh dampak perubahan iklim.
Di dalam
negeri, Bappenas telah merancang konsep Low Carbon Development (LCD) yang
dituangkan dalam Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK). PPRK akan jadi
bagian yang terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2020-2024, dan untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang berkelanjutan
(SDGs).
Tujuan PPRK
pada hakikatnya menjaga pertumbuhan ekonomi tetap layak, dan diupayakan naik
dan stabil, namun dengan emisi GRK rendah, bahkan terus menurun, mencapai nol
(dekarbonisasi) pada 2045, saat ulang tahun kemerdekaan RI ke-100.
Tak hanya
Bappenas, kementerian/lembaga lain juga melakukan upaya sama untuk mengejar
target NDC. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang jadi Focal Point
UNFCCC, misalnya, telah melakukan banyak hal terkait upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim, mobilisasi pendanaan dan teknologi, pencegahan
kebakaran hutan dan lahan, dan pengelolaan
pengukuran, laporan, dan verifikasi aksi-aksi mitigasi, manajemen risiko
bencana serta adaptasi perubahan iklim.
Kementerian
Keuangan aktif dalam pengembangan sistem fiskal dan budget tagging untuk mendukung target NDC.
Kementerian ESDM disibukkan dengan upaya pengembangan energi terbarukan,
konservasi energi dan efisiensi energi. Demikian pula Kementerian
Perindustrian, Perhubungan, dan K/L lain, semuanya sepakat untuk menurunkan
emisi GRK.
JIRE
Pemerintah
tentu tak bisa melaksanakan sendiri tanpa kerja sama dan bantuan masyarakat. Di
UNFCCC dikenal istilah state and non-state actors. Non-state actors adalah para
pelaku usaha, LSM, akademisi, praktisi dan kelompok masyarakat lain. Kerja sama
seperti ini sangat didorong untuk mencapai target penurunan emisi GRK yang
ambisius dan menghindari kenaikan suhu rata-rata maksimum 1,50 C. Sebuah
inisiatif yang dimunculkan Yayasan Mitra Hijau, LSM bidang perubahan iklim dan
pembangunan rendah karbon, adalah dengan mendirikan Jejaring Indonesia Rendah Emisi (JIRE).
JIRE yang
kini memiliki lebih dari 120 anggota, sepertiganya pelaku usaha, ini
diluncurkan Februari 2019 oleh Menteri PPN/Ketua Bappenas. Melalui JIRE,
kesenjangan komunikasi para pihak dengan pemerintah diharapkan dapat
diperkecil. Akses informasi, pendanaan
dan teknologi baik nasional maupun internasional juga lebih terbuka. Saling
berbagi pengalaman dan pengetahuan dapat dikembangkan lewat JIRE, baik tingkat
nasional, regional, atau internasional.
Yang perlu
dipahami, perlunya kondisi pemungkin untuk berkembangnya JIRE ke depan, yaitu
kepemimpinan dan kemauan politik kuat
dari pemerintah untuk saling terbuka dan berbagi dengan semua pihak yang
berkepentingan dalam menghadapi isu pemanasan global, perubahan iklim, dan
pembangunan rendah karbon di Indonesia. Semoga!
Doddy S Sukadri, Direktur Eksekutif
Yayasan Mitra Hijau, Mantan negosiator perubahan iklim dalam bidang Alih Guna
Lahan dan Kehutanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar