UJIAN NASIONAL
Pendidikan dan PISA
Oleh : M JUSUF KALLA
KOMPAS, 20 Desember 2019
”Sejak
berpartisipasi dalam PISA tahun 2000, pendidikan sains di Indonesia telah
mengalami transformasi yang luar biasa untuk mencapai kemakmuran dalam
pembangunan yang berkelanjutan,” demikian laporan hasil asesmen dari ”Country
Note Indonesia Result PISA 2015”.
Juga
dituliskan, ”Jika Indonesia senantiasa dapat menjaga upaya perbaikan ini, anak
yang lahir hari ini mempunyai kesempatan nyata untuk menyamai capaian sains
siswa-siswa sebayanya di negara-negara industri maju pada tahun 2030.”
Kesimpulan
yang diambil dari laporan PISA 2015 tentang Indonesia yang dapat dibaca di
internet, sungguh meyakinkan bahwa upaya keras dari dunia pendidikan mulai dari
kebijakan pemerintah, guru, dan murid termasuk ujian nasional (UN) yang
berjalan selama ini, sangat berhasil.
Akan tetapi,
mengapa hasil PISA 2018 tiba-tiba menurun? Sesuai dengan laporan hasil PISA,
skor kemampuan membaca pada 2003 adalah 371 dan pada 2015 naik menjadi 397,
tetapi pada 2018 turun menjadi 371. Matematika dari 360 menjadi 386 pada 2015,
lalu turun menjadi 379 pada 2018. Sains dari 393, menjadi 403 pada 2015, lalu
turun ke 396 pada 2018.
Ujian nasional
Kebijakan
apa yang berubah pada rentang waktu 2015-2018, padahal pada masa tersebut
justru banyak hal positif yang dilakukan pemerintah, seperti peningkatan
kesejahteraan guru, pendirian pusat-pusat pelatihan guru di banyak kota, dana
APBN yang besar, juga tersedia kartu pintar dan berbagai bantuan untuk siswa
yang kurang mampu.
Ternyata hal
penting yang berubah adalah kebijakan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
pada 2015 yang tak lagi menjadikan hasil UN sebagai bagian penentu kelulusan.
Perubahan ini saya percaya, menyebabkan semangat belajar para siswa menurun
dari sebelumnya. Pada waktu itu saya panggil dua menteri bersangkutan untuk
melakukan evaluasi ulang.
Ketika
menjabat sebagai Menko Kesra tahun 2002, untuk mengetahui mutu pendidikan, kita
membandingkan hasil ujian SD dan SMP di Indonesia dalam waktu 50 tahun, dari
1950 hingga 2000. Ternyata luar biasa sulit, soal berhitung SD atau Sekolah
Rakyat (SR) 50 tahun lalu dibandingkan dengan ujian tahun 2000 yang jawabannya
sudah tersedia dalam bentuk pilihan ganda.
Jadi,
akhirnya yang tamat SR tahun 1950-an dengan yang tamat tahun 2000-an jauh
berbeda hasilnya. Kita perbandingkan pula secara regional tiga negara ASEAN
yang menggunakan UN dengan bahasa Melayu dan Inggris, Singapura, Malaysia dan
Filipina.
Surveinya,
jauh lebih mengejutkan, soal ujian matematika SD di Singapura atau Malaysia
hampir sama tingkatnya dengan soal ujian SMP di Indonesia. Tidak usah bicara
soal bahasa Inggris-nya, yang jelas di atas Indonesia. Karena soal ujian
Malaysia dan Singapura memakai standar Cambridge atau Oxford.
Hanya
Filipina yang soal ujiannya hampir sama dengan Indonesia. Melihat data
pembanding itu, saya berkesimpulan, yang membuat mutu pendidikan mereka lebih
tinggi karena mereka memiliki standar kelulusan. Standar nilai lulus UN di
Malaysia atau Singapura adalah tujuh (7).
Karena itu
diadakan studi untuk memperbaiki mutu dengan UN. Setelah Kementerian Pendidikan
Nasional melakukan uji coba sistem UN selama enam bulan di berbagai sekolah,
diketahui bagaimana rendahnya mata pelajaran di sekolah-sekolah.
Karena itu,
pada 2003, pemerintah meminta Mendiknas mengadakan UN untuk mencapai standar
pendidikan yang sama di seluruh Indonesia, dengan cara siswa belajar lebih
tekun. Dengan tetap memberikan kesempatan sekolah di daerah untuk belajar mata
pelajaran dengan muatan lokal.
UN 2003 ini,
diawali dengan angka kelulusan terpaksa 3,5 dan hasilnya 18 persen siswa
seluruh Indonesia tidak lulus. Sangat memprihatinkan. Kenapa terpaksa 3,5
karena kalau angka kelulusan dipatok 5,5, maka 40 persen anak tak lulus.
Akan tetapi,
kemudian tiap tahun dinaikkan 0,5 sampai mencapai standar 5,5 seperti sekarang,
dengan penambahan 0,5 poin setiap tahun, persentase kelulusan tetap tinggi.
Artinya secara bertahap ada peningkatan mutu karena siswa terdorong belajar
lebih keras.
Di samping
itu, dengan UN, pemerintah memetakan dan membantu daerah dan sekolah yang
kurang. Itulah esensi dasar mencerdaskan kehidupan bangsa dalam NKRI, yang
sejalan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Seluruh gedung
sekolah negeri dan biayanya juga hampir sama, fasilitas laboratorium dan
buku-buku sama cetakannya. Guru hampir semua lulusan S-1. Sekolah swasta
dibantu dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
UN waktu itu
dibarengi dengan pertukaran kepala sekolah dari daerah yang kurang maju menjadi
wakil kepala sekolah di sekolah yang baik, yang umumnya di Jawa. Sementara
wakil kepala sekolah yang baik menjadi kepala sekolah di daerah yang kurang
maju. Tujuannya, agar terjadi transformasi pengetahuan dan kultur belajar.
Standar nasional ini upaya menghilangkan gap mutu pendidikan antar wilayah.
Mutu pendidikan
itu ibarat meletakkan mistar dalam lompatan tinggi. Di negara lain, untuk
meningkatkan prestasi ketinggian mistar secara bertahap ditambah. Sebaliknya di
Indonesia, karena mau semua murid lulus, atau melewati mistar, ketinggian
mistar yang diturunkan.
Karena itu
standar harus dijaga dan secara bertahap dinaikkan, termasuk upaya meningkatkan
kompetensi guru. Metode apa pun yang diterapkan, tanpa disiplin belajar dan
disiplin serta kompetensi guru, tujuan sulit tercapai. Ujian berbasis sekolah
telah dilaksanakan dengan Ebtanas dari tahun 1980 hingga tahun 2000. Dalam
praktiknya, ujian sekolah, guru menguji apa yang telah diajarkan. Sementara UN
menguji apa yang seharusnya diketahui sesuai dengan kurikulum.
Kritik terhadap UN
Aneh kalau
selalu dikatakan UN itu pemborosan. Sejatinya, tak ada upaya kemajuan
pendidikan tanpa biaya. Sebagian besar biaya justru untuk kesejahteraan guru,
pembuatan soal, pengawasan, penyelenggaraan dan lain-lain semua oleh guru.
Setelah UN memakai sistem komputer, akhirnya menghemat biaya percetakan dan
distribusi logistik, anggaran dari Rp 500 miliar turun menjadi Rp 210 miliar
pada 2019 atau turun 60 persen.
Kritik lain
yang kerap muncul, mengenai kebocoran bahan ujian, tetapi setelah Kemdikbud
membuat bahan ujian berbeda-beda dalam satu kelas serta adanya komputerisasi,
masalah ini dapat diatasi. Stigma lain yang biasa menyertai UN adalah UN seolah
hanya melahirkan generasi penghafal.
Generasi
muda atau milenial yang sekarang menjadi harapan bangsa sebagian besar adalah
generasi UN, khususnya yang berumur 33 tahun ke bawah dan bersekolah di dalam
negeri. Faktanya, mereka bukan sekadar pintar menghafal saja, tetapi pintar
berpikir dan berinovasi. Karena memang menghafal adalah cara untuk membantu
berpikir dan matematika serta sains tidak bisa diselesaikan dengan hanya
menghafal.
Banyak pula
orangtua siswa dan juga guru mengeluh dan protes karena UN dianggap
memberatkan. Akan tetapi, jutaan orangtua dengan penuh perhatian mendorong
anak-anaknya belajar dengan tekun atau belajar bersama sambil berdoa. Umumnya
yang mengeluh karena tak siap menghadapi ujian. Adakah keberhasilan tanpa kerja
keras?
Ada juga
pandangan di daerah-daerah banyak yang lemah tingkat pendidikannya sehingga tak
perlu standar nasional. Justru daerah perlu kita tingkatkan agar masuk dalam
sistem nasional. Apabila merdeka untuk menentukan standar setiap sekolah dan
daerah, siswa sulit bersaing dalam dunia kerja atau masuk pendidikan yang lebih
tinggi, dan akan terjadi sistem negara federal.
Finlandia
sering menjadi acuan untuk mutu pendidikan dan sistem belajar-mengajarnya.
Negeri ini penduduknya hanya 5,5 juta jiwa, pendapatan per kapita 40.000 dollar
AS per tahun. Bandingkan dengan Indonesia, penduduk 265 juta, sedangkan
pendapatan per kapita 4.100 dollar AS per tahun. Tentu Finlandia yang hanya
setara Yogyakarta dalam hal penduduk, dapat berbuat banyak. Itu pun peringkat
kemampuan matematika Finlandia di PISA tahun 2018 adalah ke-16 dan AS ke- 27.
Indonesia
pun sekiranya yang dinilai PISA hanya DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, akan
berada di peringkat 40-an, karena kedua daerah itu poinnya di atas 400.
Peringkat tertinggi justru China, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Dengan
sesama negara Asia inilah kita harus mencontoh kedisiplinan dan ketatnya dalam
pemelajaran. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW: ”belajarlah sampai ke
negeri China”.
Tahun depan
Singapura tidak lagi menerapkan UN setelah dilaksanakan hampir 50 tahun, itu
karena mereka sudah mencapai ranking tertinggi dunia. Akan tetapi, bagi
Indonesia yang masih berada pada tingkat lebih rendah, dengan sistem yang benar
sebagaimana disimpulkan OECD lewat PISA, pasti akan mencapai kemajuan. Tentu
kurikulum juga selalu mengalami perbaikan, seperti Kurikulum 2013, yang
meningkatkan peran guru dan murid yang lebih kreatif.
Bagi
pengambil kebijakan jangan selalu menganggap capaian yang lama semua salah dan
harus diubah dan diubah dengan menganut sistem pendidikan liberal, seperti
banyak dilakukan di Amerika. Perlu evaluasi yang jelas dan sangat hati-hati.
Karena perubahan sistem pendidikan hasilnya baru bisa dilihat setelah 5-10
tahun. Kalau kebijakan keliru akan merugikan masa depan puluhan juta generasi
muda dan bangsa secara keseluruhan.
(M Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI 20
Oktober 2004-20 Oktober 2009 dan 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2019)
BalasHapusayo daftarkan diri anda di a*g*e*n*3*6*5 :D
WA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny