JURNAL ILMIAH
Jurnal Abu-Abu
Oleh : TERRY MART
KOMPAS, 12 Desember 2019
Lebih dari 6
tahun lalu saya menulis tentang Jurnal Predator di harian ini (Kompas, 2 April
2013) setelah mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman dosen dan peneliti
yang meresahkan keberadaan jurnal abal-abal tersebut. Mendapat cukup banyak
tanggapan dan pertanyaan, saya kembali menulis tentang fakta-fakta yang teramati
dari jurnal tersebut (Kompas 13 Mei 2013).
Seperti
simbiosis mutualisme, jurnal predator meningkat pesat. Menurut laman Beall
jurnal predator tanpa penerbit meningkat jumlahnya dari 126 pada tahun 2013
menjadi 1294 di tahun 2017. Sementara itu penerbit predator meningkat dari 225
menjadi 1155 untuk rentang tahun yang sama. Dapat dibayangkan berapa banyak
jurnal predator yang dilepas ke publik jika setiap penerbit predator memiliki
puluhan hingga ratusan jurnal!
Namun pada
tanggal 15 Januari 2017 Jeffrey Beall serta lamannya yang memuat daftar jurnal
predator menghilang. Penyebabnya? Aneka spekulasi bermunculan, mulai dari
tekanan tempat dia bekerja hingga tuntutan legal dari para pegiat jurnal
predator. Daftar jurnal predator yang dia kumpulkan dilanjutkan secara
berjamaah oleh sebuah grup anonim di laman predatoryjournals.com. Meski
demikian, terlihat bahwa sejak tahun 2017 daftar tersebut tidak pernah
diperbarui.
Dengan menghilangnya
laman Beall banyak yang beranggapan bahwa jurnal predator sudah dianggap tidak
ada lagi. Padahal, faktanya, mayoritas jurnal yang dicatat Beall pada tahun
2017 masih beroperasi. Dilihat dari tren pertumbuhannya hingga 2017 sangat
logis jika jumlahnya saat ini diperkirakan meningkat pesat. Bahkan, sebagian
kecil jurnal ini berhasil masuk ke dalam basis data Scopus, sementara sebagian
lagi harus menerima nasib dikeluarkan Scopus karena memiliki banyak
permasalahan.
Melihat
fenomena ini jelaslah bahwa jurnal predator masih eksis dan tetap perlu
diwaspadai. Karena sebagian orang menganggap era jurnal predator sudah berlalu,
maka saya akan menggunakan istilah jurnal abu-abu saja untuk jurnal yang tidak
terlalu meyakinkan ini.
Perubahan paradigma
Saya merasa
beruntung masih mengalami zaman tanpa internet. Ketika saya memulai kuliah S3
di awal tahun 1991 di Jerman, internet baru digunakan sebatas untuk email,
sementara protokol gopher dan World Wide Web yang menjadi basis peramban
(browser) internet modern masih dikembangkan. Tentu saja belum ada jurnal versi
daring (online). Semua masih versi salinan cetak (hardcopy). Meski dipandang
primitif oleh generasi milenial saat ini, ada kebanggaan yang saya rasakan saat
itu. Jika berkunjung ke perpustakaan di mana saja di mancanegara saya dapat
melihat makalah saya di perpustakaan. Jelas sangat sulit saat itu untuk memulai
usaha sebagai penerbit jurnal versi global. Dibutuhkan dana sangat besar!
Namun
semuanya berubah setelah internet mulai memasyarakat di awal tahun 2000an.
Sekitar sepuluh tahun kemudian bermunculan jurnal-jurnal predator. Tidak
diperlukan dana besar untuk memulai bisnis jurnal predator, yang penting
menguasai cara untuk membuat laman menarik dan terlihat ilmiah. Agar lebih
profesional, dapat dipasang Open Journal System (OJS), semacam perangkat lunak
yang mengatur alur makalah ilmiah dimulai dari pengajuan hingga publikasi. Toh
perangkat lunak ini gratis. Tidak perlu pusing-pusing memikirkan salinan cetak,
karena sudah bukan zamannya lagi. Apalagi kalau jurnal dapat didaftarkan dalam
basis data Scopus, dijamin akan laku keras di negara berkembang.
Kontrak perjanjian
Ketika
seseorang setuju untuk memublikasikan makalah hasil penelitiannya di sebuah
jurnal, maka ia telah membuat kontrak dengan penerbit. Penerbit jurnal berhak
memublikasikan, mencetak, menyebarkan, dan menjual makalah tersebut karena
penerbit memiliki expertise di bidang ini. Meski demikian penulis makalah masih
memiliki hak kekayaan intelektual atas “produk” yang dijelaskan di dalam
makalah tersebut.
Sebelum era
internet, jurnal-jurnal ilmiah dicetak dalam bentuk buku dan disusun rapi dalam
rak-rak buku di perpustakaan, suatu hal yang sulit dibayangkan di masa kini,
saat jumlah makalah hasil penelitian meledak secara eksponensial sebagai fungsi
waktu. Dengan cepat ruangan perpustakaan akan penuh jika internet tidak eksis.
Setelah
internet menguasai dunia penelitian, mayoritas jurnal-jurnal ilmiah menyediakan
makalah hanya dalam bentuk salinan digital (softcopy), serta secara daring,
dengan anggapan jika penulis membutuhkan salinan cetak maka penulis cukup
menyediakan printer sendiri. Selain itu, penulis diberi pilihan, apakah ia
ingin makalahnya dibuka untuk umum (open access) atau dibuka hanya untuk
pelanggan jurnal (closed access).
Pilihan
pertama dianggap memiliki keunggulan karena banyak anggapan bahwa hasil
penelitian yang dibiayai oleh masyarakat harus terbuka untuk masyarakat. Tentu
saja tidak ada makan siang gratis. Jika pada pilihan kedua masih ada kemungkinan
penulis tidak perlu membayar, maka pada pilihan pertama seluruh biaya publikasi
ditanggung penulis. Di sinilah permasalahan tersebut dimulai.
Pertama,
karena penulis harus membayar, maka bisnis jurnal ilmiah sangat menggiurkan.
Betapa tidak, biaya publikasi satu makalah berkisar ratusan hingga ribuan
dollar US. Sebuah penerbit dapat dengan mudah dan tanpa biaya besar menerbitkan
ratusan jurnal secara daring dan open access. Sebagai catatan, mitra bebestari
yang memeriksa kualitas makalah tidak perlu dibayar. Kegiatan review makalah
adalah kegiatan sukarela. Jika beruntung, setiap jurnal dapat memuat puluhan
hingga ratusan makalah. Inilah faktor utama yang mendorong pesatnya pertumbuhan
jurnal abu-abu.
Masalah
kedua, bagaimana dengan kontrak tadi? Sejatinya, kontrak penerbitan makalah
adalah kontrak sepanjang masa, karena hasil penelitian harus dijaga selamanya
agar penelitian yang sudah dilakukan tidak perlu diulangi. Jadi, penulis
makalah membutuhkan jurnal daring yang benar-benar dapat diandalkan sepanjang
masa. Bagaimana dengan jurnal abu-abu yang baru didirikan dan sewaktu-waktu
dapat tutup jika pemiliknya merasa rugi atau bangkrut? Jelas hal ini merugikan
penulis makalah dan masyarakat yang mendanai penelitian. Problem ini tidak
terjadi di era pra-internet, saat salinan cetak makalah tersedia dan terjaga
rapi di tiap perpustakaan di seluruh dunia.
Jurnal yang baik
Jika ditanya
secara praktis bagaimana mencari jurnal yang cukup baik, maka saya akan
menjawab gunakan saja Web of Science (WoS) karena kolega-kolega saya di
mancanegara menggunakannya. Sebagai catatan, Impact Factor atau faktor dampak
jurnal merupakan hak paten dari pemilik WoS. Namun, tentu saja secara formal
kita tidak boleh menyebut nama sebuah produk untuk sebuah definisi. Lagipula,
kita memerlukan definisi yang akurat untuk ini.
Dari dulu saya berpendapat bahwa jurnal yang
baik adalah jurnal komunitas (himpunan atau asosiasi) bidang ilmu. Jurnal jenis
ini menjamin bahwa konsumen jurnal adalah para ahli yang tergabung dalam
komunitas tersebut karena didirikan oleh mereka dan untuk kebutuhan mereka.
Jadi, jurnal ini menjamin bahwa “produk” yang dijelaskan dalam makalah akan
sampai di tangan ahli yang tepat. Yang terakhir ini jelas merupakan esensi
mengapa para peneliti harus menulis makalah.
Hampir dapat
dipastikan bahwa setiap bidang ilmu yang mapan memiliki komunitas. Untuk bidang
saya, misalnya, ada American Physical Society dengan sederet jurnal Physical
Review nya, yang mulai beroperasi sejak tahun 1893. Ada juga European Physical
Society yang memiliki jurnal European Physical Journal yang berakar pada
jurnal-jurnal zaman Einstein. Tentu saja di belahan dunia Timur ada Japan
Physical Society yang juga tak kalah mapannya. Jadi, untuk bidang saya sudah
banyak jurnal-jurnal mapan tempat yang tepat untuk memublikasikan hasil
penelitian. Mengapa kita harus menggunakan jurnal abu-abu?
Bagaimana
dengan jurnal-jurnal terbitan Elsevier, Springer, Wiley, dan sebagainya? Saya
masih punya formula yang saya rasa masih jitu. Ambil saja beberapa jurnal
komunitas dan lihat referensi yang digunakan oleh para penulis makalah di
dalamnya. Jika jurnal-jurnal terbitan penerbit komersial tersebut sering muncul
di referensi, maka jurnal-jurnal tersebut juga merupakan bagian dari jurnal
komunitas.
(Terry Mart, fisikawan UI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar