KEJAHATAN SIBER
Indonesia dan Norma Siber Dunia
Oleh : FITRIANI
KOMPAS, 13 Desember 2019
Awal
Desember 2019 adalah waktu sibuk untuk diplomasi siber Indonesia. Tahun ini
hingga 2021, Indonesia terpilih sebagai satu dari 25 negara yang duduk dalam
pertemuan PBB untuk Kelompok Ahli Pemerintah di bidang Perkembangan Informasi
dan Telekomunikasi dalam Konteks Keamanan Internasional (UNGGE).
Namun,
sebelum mengkaji lebih dalam negosiasi yang akan berlangsung di markas PBB New
York, penting untuk menjabarkan alasan mengapa Indonesia perlu berperan dalam
pembentukan norma dan aturan siber internasional.
Dampak bagi Indonesia
Sebagai
negara kepulauan yang luas, penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi
merupakan solusi menjembatani jarak fisik yang besar. Lebih lagi bahwa
pemerintahan Presiden Jokowi sudah mengeluarkan peta jalan e-Government tahun
2016 yang akan meningkatkan pelayanan pemerintah melalui jalan digital.
Tulisan
Litbang Kompas, September lalu, menyebutkan jumlah pengguna internet di
Indonesia 171 juta atau 65 persen dari total penduduk, dan sudah menjangkau 79
persen kecamatan di seluruh Nusantara.
Jika
Indonesia melingkupi seluruh daerah dengan teknologi digital, konsultan manajemen
McKinsey mengestimasi pertumbuhan produk domestik bruto akan meningkat 10
persen atau 150 miliar dollar AS.
Sayangnya,
investasi yang sering terlewat ketika melakukan proses digitalisasi adalah
peningkatan kesadaran atas keamanan siber. Menurut data Badan Siber dan Sandi
Negara (BSSN), selama 2018 Indonesia mengalami lebih dari 230 juta serangan
siber yang kerugiannya mencapai Rp 478 triliun.
Jika
dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, AT Kearney berpendapat
bahwa kemampuan keamanan siber Indonesia masih jauh di bawah Filipina,
Thailand, Malaysia, apalagi Singapura, yang jika dibenahi sekarang baru dapat
mencapai taraf aman pada 2025.
Tantangan
Indonesia dalam meningkatkan kapasitas keamanan siber terletak pada kurangnya
pengawasan kebijakan digital, rendahnya sebaran jumlah dan kualitas tenaga
ahli, serta kurangnya kesadaran atas pentingnya keamanan siber, di mana salah
satu dampaknya adalah banyak informasi akun yang mudah diretas serta relatif
masih sedikit investasi yang mau dikeluarkan untuk membeli perangkat lunak
asli.
Permasalahan
yang timbul dari perangkat lunak bajakan dan/atau yang tidak diperbaharui
secara berkala adalah mudah terpaparnya perangkat elektronik dengan virus yang
memengaruhi kinerja atau bahkan dikontrol jarak jauh untuk melakukan
penyerangan terhadap sistem lain yang terhubung dengannya. Hal ini dapat
menjadi masalah internasional ketika, misalnya, jaringan komputer di suatu
sekolah menengah di sebuah kabupaten atau badan pemerintah daerah di sudut
Indonesia menjadi sarana loncatan serangan siber terhadap infrastruktur
strategis negara lain dan terjadi insiden memakan korban jiwa di negara itu.
Sejauh ini,
belum ada kesepakatan global yang membatasi bahwa negara tidak bisa melakukan
pembalasan serangan siber dengan serangan kinetik. Bayangkan saja apa jadinya
jika negara sasaran tadi berusaha menghentikan serangan siber yang diterimanya
dengan mengirim rudal ke sekolah yang dianggap sebagai sumber serangan.
Ini
dimungkinkan karena belum ada kesepakatan mengenai konflik siber, meski hukum
perang dan Konvensi Geneva yang melarang penyerangan terhadap non-kombatan,
fasilitas sipil dan rumah sakit.
Belum ada
hukum internasional yang melindungi korban insiden siber yang perangkatnya
digunakan tanpa sepengetahuan untuk menyerang fasilitas lain yang terhubung
melalui internet.
Forum UNGEE
Sebagai
negara yang masih mengembangkan kapasitas sibernya, Indonesia memerlukan
diplomasi siber untuk menjelaskan kondisi kerentanannya dan menyatakan
komitmennya untuk menjaga keamanan dan kestabilan ruang siber. Cara untuk
meregulasi ruang siber secara multilateral adalah mengampanyekan norma perilaku
negara yang bertanggung jawab, di mana hal ini dibahas di PBB yang salah satu
caranya adalah melalui mekanisme UNGGE keamanan siber.
Indonesia
sudah berperan aktif dalam proses negosiasi UNGGE saat terpilih untuk mewakili
kawasan Asia pada 2012-2013 dan 2016-2017. Sayangnya, masyarakat luas cenderung
belum mengenal kerja diplomasi Indonesia di ranah siber ini.
Salah satu
capaian terbesar dari pertemuan UNGGE adalah 11 norma perilaku negara yang
bertanggung jawab di ruang siber yang dikelompokkan menjadi delapan kelompok
besar.
Pertama
adalah kerja sama, negara bekerja sama untuk meningkatkan stabilitas dan
keamanan dalam penggunaan teknologi informasi dan melakukan pertukaran
informasi untuk menghentikan kejahatan dan terorisme di dunia siber. Kedua,
adanya keharusan negara memastikan wilayahnya tidak digunakan untuk pemakaian
teknologi informasi yang merusak. Ketiga, di bidang hak asasi manusia (HAM),
negara menghormati hak individu di internet, termasuk hak privasi dan kebebasan
berekspresi.
Keempat,
mengenai infrastruktur kritis, negara tak boleh merusak infrastruktur kritis;
negara harus berupaya melindungi infrastruktur kritis, dan menjawab permintaan
bantuan dari negara lain yang infrastruktur kritisnya mendapat insiden siber.
Kelima,
dalam menghadapi insiden siber, negara harus mempertimbangkan semua informasi
yang relevan sebelum menyalahkan sumber insiden. Keenam, dilarang untuk
membahayakan tim tanggap darurat siber. Ketujuh, negara harus mengamankan
rantai pasokan teknologinya agar tak menyebarkan fungsi yang berbahaya.
Terakhir, negara harus mendukung adanya pelaporan kerentanan teknologi
informasi dan membagi informasi tersebut sehingga kerentanan dapat diatasi.
Norma siber
ini bersifat sukarela dan menunjukkan komitmen rasa tanggung jawab negara dalam
interaksinya secara politik internasional. Dalam kondisi damai, terdapat
ekspektasi bahwa norma-norma itu akan dijunjung. Namun, menjadi kekhawatiran
yang diungkapkan Sekjen PBB Antonio
Guterres bahwa semakin banyak negara mengembangkan kapabilitas penyerangan
siber, di mana menurut Digital Watch sudah terdapat 23 negara yang terbukti
memiliki kemampuan penyerangan siber, sedangkan 30 negara lain terindikasi
sedang mengembangkan kapabilitas tersebut.
Negara
tetangga Australia merupakan salah satu yang sudah menyatakan kepemilikannya
atas senjata siber ofensif sejak 2016. Indonesia harus secara optimal
menggunakan forum UNGGE untuk membahas pengaturan keamanan dan stabilitas ruang
siber ini.
Kesempatan Indonesia
Sejauh ini
belum ada aturan internasional yang mengatur negara dalam mengembangkan dan
mengeksploitasi senjata siber, berbeda dengan senjata nuklir di mana terdapat
traktat internasional yang membatasi kepemilikannya. Dua tahun ke depan
merupakan kesempatan bagi Indonesia berperan aktif di negosiasi UNGGE guna
menentukan kebijakan dunia dalam menciptakan norma siber, mendukung sejauh mana
kerja sama internasional dilakukan dan memutuskan pada kondisi apa dan
bagaimana senjata siber dapat digunakan.
Harus
diingat, pada pertemuan UNGGE yang berlangsung Desember 2019, Maret dan Agustus
2020, dan Mei 2021, Indonesia mewakili suara negara-negara Asia dan negara
berkembang, di mana kemampuan teknik, modal, infrastruktur jaringan dan
keamanan siber masih terbatas.
Melalui
UNGGE, Indonesia perlu memperjuangkan adanya itikad untuk melindungi kelompok
lemah dari insiden siber, mendorong pelaksanaan pengembangan kapasitas bagi
kelompok tersebut, dan yang paling penting adalah upaya pembangunan kepercayaan
antarnegara-negara dunia untuk mencegah terjadinya pertarungan siber.
Fitriani, Relations Department, Centre for Strategic
and International Studies (CSIS) Indonesia.
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BalasHapusBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.