Hukuman Mati dan Efek Jera untuk
Koruptor
Oleh : EMERSON YUNTHO
KOMPAS, 23 Desember 2019
Wacana hukuman mati untuk koruptor kembali muncul saat
Presiden Jokowi menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMK 57
Jakarta, 9 Desember lalu. Presiden menyatakan hukuman mati untuk koruptor bisa
saja diterapkan jika itu jadi kehendak rakyat.
Ancaman hukuman mati bagi koruptor secara normatif
sesungguhnya sudah diatur sejak 1999. Tepatnya setelah disahkannya UU No
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tipikor). Pasal 2 Ayat 2
menyebutkan hukuman mati dapat dijatuhkan bila negara dalam keadaan bahaya,
bencana nasional, krisis ekonomi dan moneter maupun pengulangan tindak pidana
korupsi.
Meski telah 20 tahun UU ini berlaku, hingga kini belum
ada satupun koruptor dihukum mati. Hukuman mati nyaris dijatuhkan ke Dicky
Iskandar Dinata dalam kasus korupsi pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun. Pada
2006, jaksa menuntut Dicky hukuman mati namun ditolak hakim PN Jaksel dan hanya
menjatuhkan 20 tahun penjara.
Hukuman maksimal yang pernah dijatuhkan pada koruptor di
Indonesia adalah hukuman seumur hidup.
Namun ini sedikit sekali diterapkan dan tercatat hanya delapan koruptor
yang pernah dihukum penjara seumur hidup. Salah satunya Akil Mochtar, mantan
ketua Mahkamah Konstitusi yang terbukti menerima suap dalam sejumlah kasus
penanganan sengketa hasil pilkada.
Alih-alih menerapkan hukuman mati, dalam praktiknya vonis
untuk koruptor masih sangat ringan dan tak memberikan efek jera. Data Indonesia
Corruption Watch tahun 2018 menyebutkan rata-rata hukuman untuk terdakwa korupsi
sangat minim, 2 tahun 5 bulan penjara. Vonis yang tergolong rendah juga
diperburuk adanya sejumlah keputusan pengurangan masa hukuman melalui pemberian
remisi dan grasi.
Tak
efektif
Terlepas dari kemarahan masyarakat terhadap pelaku
korupsi, muncul pertanyaan apakah hukuman mati solusi tepat dalam pemberantasan
korupsi dan mampu memberikan efek jera?
Hingga kini belum ada pembuktian ilmiah yang menunjukkan
hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu termasuk korupsi.
Penelitian PBB tahun 1998 dan 2005 tentang hubungan hukuman mati dan angka
pembunuhan justru memberikan kesimpulan hukuman mati tak bawa pengaruh apapun
pada tindak pidana pembunuhan, dari hukuman lain seperti hukuman seumur hidup.
Penelitian itu menyebutkan maraknya kejahatan narkoba, terorisme, atau
kriminal lain tak semata-mata disebabkan ketiadaan hukuman mati, namun oleh
masalah struktural lainnya seperti kemiskinan dan aparat hukum atau negara yang
korup.
China yang sering kali menjadi acuan penerapan hukuman
mati untuk koruptor, faktanya belum berhasil memperbaiki peringkat korupsinya
yang juga tergolong rendah. Pada 2018, Transparency International yang berpusat
di Berlin menempatkan China di peringkat 87 dari 180 negara dengan skor indeks
persepsi korupsi 39, dari skor terendah nol (terkorup) dan tertinggi 100
(bersih).
Meski Presiden China Xi Jinping sejak enam tahun lalu telah
menyatakan perang melawan korupsi dan menghukum mati banyak pelaku namun
praktik ini ternyata juga belum sepenuhnya hilang dari negeri itu.
Beberapa negara di wilayah Skandinavia seperti Finlandia
dan Norwegia juga mampu membuktikan diri sebagai negara yang bersih dari
korupsi tanpa harus menerapkan hukuman mati. Kunci keberhasilan mereka adalah
adanya dukungan dan kesadaran yang kuat dari pemerintah, parlemen, penegak
hukum dan masyarakat.
Polemik hukuman mati untuk koruptor sudah saatnya
diakhiri. Sesungguhnya ada banyak cara memberikan efek jera bagi koruptor tanpa
hukuman mati. Misalnya dengan memiskinkan atau perampasan aset koruptor,
memperketat kebijakan pengurangan hukuman melalui pemberian remisi atau
pembebasan bersyarat maupun grasi terhadap terpidana korupsi dan melarang
pemberian fasilitas istimewa untuk koruptor selama mendekam di penjara.
Cara lainnya, pencabutan hak politik untuk koruptor yang
berstatus pejabat publik atau politisi agar tak dapat menjabat lagi dan
menjatuhkan tuntutan atau hukuman penjara maksimal.
Dukungan semua pihak mutlak diperlukan agar cara-cara
menjerakan koruptor itu dapat terlaksana. Pemerintah, penegak hukum dan KPK
harus bekerja sama. Lembaga anti korupsi seperti KPK sebaiknya diperkuat bukan
justru diperlemah atau dibubarkan. Upaya
pemidanaan atau penindakan perkara korupsi juga harus berjalan simultan dengan
upaya pencegahan dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery) ke
negara.
Emerson
Yuntho, Wakil Direktur Visi Integritas
AJO_QQ poker
BalasHapuskami dari agen poker terpercaya dan terbaik di tahun ini
Deposit dan Withdraw hanya 15.000 anda sudah dapat bermain
di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
- play aduQ
- bandar poker
- play bandarQ
- capsa sunsun
- play domino
- play poker
- sakong
-bandar 66
-perang baccarat (new game )
Dapatkan Berbagai Bonus Menarik..!!
PROMO MENARIK
di sini tempat nya Player Vs Player ( 100% No Robot) Anda Menang berapapun Kami
Bayar tanpa Maksimal Withdraw dan Tidak ada batas maksimal
withdraw dalam 1 hari.Bisa bermain di Android dan IOS,Sistem pembagian Kartu
menggunakan teknologi yang mutakhir dengan sistem Random
Permanent (acak) |
Whatshapp : +855969190856