KEBIJAKAN FISKAL
Fiskal dan Pertumbuhan
Oleh : MUHAMAD CHATIB BASRI
KOMPAS, 5 Desember 2019
Sejarah,
barangkali adalah sebuah catatan murung tentang pertikaian, tentang rivalitas
dan tentang penaklukan. Termasuk pertikaian antara kekuatan yang baru muncul
dengan kekuatan yang telah mapan.
Sejarawan
Yunani Kuno, Thucydides, pernah menulis bagaimana perang Peloponnesian pecah
karena kekuatan Athena yang semakin kuat menimbulkan kekuatiran pihak Sparta.
Ketegangan antara China dengan Amerika Serikat (AS) adalah pengulangan sejarah
ini. Akademisi dari Harvard, Graham Allison, menyebutnya Thucydides trap
(perangkap Thucydides).
Penurunan
harga komoditas dan tambang akibat perlambatan ekonomi China berdampak kepada
kita. Kita masih beruntung, walau sedikit melambat, konsumsi rumah tangga masih
bisa tumbuh 5 persen. Dan konsumsi adalah penopang utama Produk Domestik Bruto
(PDB) kita saat ini. Fenomena konsumsi rumah tangga yang relatif ajek pernah di
jelaskan oleh ekonom James Duesenberry dalam bukunya Income, Saving and the
Theory of Consumer Behavior yang terbit tahun 1949. Ia menulis: konsumsi kita
tidak hanya ditentukan oleh pendapatan saat ini, tetapi juga oleh pola konsumsi
kita di masa lalu.
Contoh
paling sederhana: seseorang penggemar kopi yang baik akan sulit untuk mendadak
menurunkan konsumsi kopinya ke kualitas yang lebih rendah ketika pendapatannya
turun. Konsumsi mudah naik, tetapi tak mudah turun.
Di sisi lain
kita mencatat: penerimaan pajak jatuh. Data Kementerian Keuangan menunjukkan,
periode Januari-Oktober 2019 total penerimaan pajak hanya tumbuh 0,23 persen
dibandingkan periode sama 2018. Pajak penghasilan non migas sendiri hanya
tumbuh 3,3 persen, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam negeri, yang
mencerminkan daya beli, malah mengalami pertumbuhan negatif (-2,42 persen).
Data-data ini menguatkan bahwa perlambatan ekonomi sedang terjadi.
Kebijakan fiskal kontra-siklus
Lalu apa
yang bisa dilakukan untuk mengantisipasinya? Bank Indonesia memang sudah
menurunkan tingkat bunga 100 basis poin. Sayangnya penurunan tingkat bunga tak
mendorong investasi secepat yang diharapkan. Malah kredit yang tak dicairkan
(undisbursed loan) per September 2019 mengalami peningkatan 5,07 persen
dibandingkan periode sama 2018. Fenomena ini mengingatkan saya pada apa yang
ditulis ekonom John Maynard Keynes 90 tahun lalu: permintaanlah yang mendorong
produksi.
Jika
permintaan terhadap barang dan jasa lemah, untuk apa dunia usaha meminta kredit
dan melakukan ekspansi produksi? Walaupun perizinan dipermudah, jika permintaan
tidak ada, untuk apa melakukan ekspansi bisnis? Implikasinya: penyederhanaan
perizinan, revisi UU Ketenagakerjaan, penurunan suku bunga tidak akan serta
merta mendorong perekonomian. Dalam jangka pendek, peningkatan konsumsilah yang
akan mendorong produksi. Itu sebabnya kita perlu kebijakan fiskal yang kontra-
siklus. Masalahnya, dengan kondisi penurunan penerimaan pajak, ruang fiskal
terbatas. Lalu apa yang bisa dilakukan? Ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama,
studi saya dan Sjamsu Rahardja dari Bank Dunia (2011) menunjukkan kebijakan
fiskal kita cenderung bersifat pro-siklus. Artinya, ketika penerimaan pajak
turun karena perlambatan ekonomi, pemerintah cenderung melakukan penghematan.
Padahal kita butuh belanja yang lebih besar untuk mendorong perekonomian.
Karena itu, amat wajar jika pemerintah meningkatkan defisit anggaran, dan
bahkan mendorong belanja. Defisit anggaran diperkirakan akan mencapai 2,2
persen tahun ini. Menurut saya, menaikkan defisit anggaran sampai 2,5 persen
pun tak apa-apa untuk dorong perekonomian.
Tentu kita
tetap harus hati-hati bila defisit anggaran terlalu tinggi. Mengapa? Ada risiko
crowding out. Apa maksudnya? Defisit anggaran yang lebih besar harus dibiayai
dengan mengeluarkan Surat Utang Negara atau obligasi. Karena imbal hasil dari
obligasi pemerintah lebih menarik ketimbang bunga deposito, terjadi perpindahan
tabungan dari perbankan ke obligasi pemerintah. Akibatnya sumber untuk ekspansi
kredit di perbankan menjadi terbatas. Implikasinya: investasi swasta mandek
atau melambat.
Yang
menarik, hubungan antara defisit anggaran dan likuiditas perbankan tak linier.
Sampai tingkat tertentu, pembiayaan defisit melalui obligasi domestik
berpengaruh positif ke pertumbuhan dana pihak ketiga di perbankan, karena orang
memiliki pilihan investasi. Namun setelah melewati tingkat tertentu, ia akan
menyerap dana pihak ketiga di perbankan. Kesimpulannya: defisit anggaran memang
dibutuhkan untuk mendorong permintaan domestik, namun harus dijaga pada tingkat
yang optimal.
Kedua, jika
sumber dana domestik terbatas, mengapa kita tak mengambil sumber dana dari luar
negeri saja? Di sini saya harus mengingatkan: jika pasar obligasi pemerintah
didominasi investor asing, ekonomi Indonesia akan rentan kepada gejolak arus
modal. Peningkatan defisit anggaran akan meningkatkan defisit transaksi
berjalan karena kesenjangan tabungan dan investasi meningkat. Bila kenaikan
defisit transaksi berjalan ini sebagian besar dibiayai portofolio, maka setiap
kali terjadi kejutan di luar negeri pasar keuangan akan bergejolak dan rupiah
akan terpukul.
Perbaikan kualitas belanja
Ketiga,
dengan kendala fiskal seperti itu, pemerintah harus fokus kepada perbaikan
kualitas belanja. Harus dipastikan bahwa belanja yang dikeluarkan memiliki
dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Studi yang dilakukan
oleh Joppe de Ree, Karthik Muralidharan, Menno Pradhan dan Halsey Rogers (2017)
menunjukkan: tunjangan profesi guru tidak berdampak kepada perbaikan kualitas
pendidikan, padahal jumlahnya sangat besar.
Contoh lain,
transfer untuk pemerintah daerah. Kita tahu dana yang mengendap di rekening kas
umum daerah begitu besar, sehingga tak memberikan dampak kepada pertumbuhan
ekonomi. Alokasi belanja untuk berbagai kementerian tentu perlu dilihat mana
yang prioritas dan punya dampak kepada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.
Ini penting, karena Basri dan Rahardja (2011) menunjukkan bahwa pengeluaran
pemerintah di luar gaji dan subsidi sebenarnya bersifat kontra siklus. Apa
artinya? Jika kualitas belanja diperbaiki dengan mengalokasikan anggaran lebih
banyak kepada belanja di luar gaji dan subsidi (misalnya belanja modal), maka
kebijakan fiskal menjadi kontra-siklus.
Keempat,
ketika permintaan telah terjadi maka dunia usaha akan meresponsnya dengan
meningkatkan produksi. Untuk meningkatkan produksi, dunia usaha perlu bunga
yang rendah, izin yang mudah, dan berbagai deregulasi ekonomi. Karena itu kita
harus melihat kebijakan ini secara lengkap.
Kelima, kita
tahu bahwa ruang fiskal kita terbatas. Walau dalam jangka pendek kebijakan
fiskal harus bersifat kontra-siklus, dalam jangka menengah panjang, fiskal
harus dijaga agar berkesinambungan. Dalam kondisi seperti ini, penerimaan pajak
harus ditingkatkan. Tapi ini tidak mungkin dilakukan dengan meningkatkan tarif
pajak atau mengejar pembayar pajak yang patuh. Kenapa? Karena ini akan membuat
perekonomian kian mengalami kontraksi.
Lalu
bagaimana? Risalah saya bersama Ben Olken, Mayara Felix dari Massachusetts
Institute of Technology (MIT) dan Rema Hanna dari Harvard, di National Bureau
Economic Research (NBER) (2019), menunjukkan: untuk setiap kenaikan satu rupiah
peningkatan tarif pajak, wajib pajak akan mendapatkan beban tambahan lagi
sebesar 0,51 rupiah. Karena itu harus dipikirkan jalan lain yang tak membebani
wajib pajak tapi tetap menaikkan total penerimaan pajak pemerintah. Caranya
adalah perbaikan administrasi perpajakan dengan memindahkan pelayanan badan
usaha dari kantor pajak reguler ke Kantor Pajak Madya (MTO). Mengapa?
Kami menduga
bahwa keterbatasan sumber daya di kantor pajak reguler membuat mereka cenderung
memfokuskan diri pada beberapa wajib pajak dengan potensi pendapatan yang
tinggi. Akibatnya, badan usaha yang besar akan menjadi sasaran. Ada kemungkinan
mereka akan semakin menghindar membayar pajak seiring pertumbuhan skala
perusahaannya. Bila dipindahkan ke MTO, dengan jumlah staf yang lebih banyak,
perlakuan terhadap badan usaha menjadi lebih seragam. Beban pajak tak hanya
“ditanggung” beberapa perusahaan yang besar. Akibatnya mereka tetap bisa
bertumbuh dan membayar pajak.
Ironis,
ekonomi dunia harus membayar ketegangan antara China dengan AS. Sejarah memang
selalu berulang. Dan kita mencatanya dengan murung. Teringat saya pada
sastrawan Albert Camus yang menulis dengan getir: jika ada bagian paling
penting dari sejarah manusia harus ditulis, itu adalah catatan tentang
penyesalan dan ketidakmampuan. Camus mungkin terlalu murung.
(Muhamad Chatib Basri, Pengajar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
numpang promote ya min ^^
BalasHapusHayyy guys...
sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
di DEWAPK agen terpercaya di tunggu lo ^_^
BalasHapus===Agens128 bagi uang Tunai===
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
Game Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128Agens128