DINAMIKA POLITIK
Defisit Demokrasi di Tahun Pemilu
Oleh : YUNARTO WIJAYA
KOMPAS, 18 Desember 2019
Di
penghujung 2019, sebagian dari kita cemas dengan masa depan demokrasi.
Sebelumnya, di awal tahun, sebagian kita cemas dengan prospek pemilu
(serentak).
Dari sederet
indikator pemilu berkualitas, beberapa di antaranya perlu dapat perhatian
saksama. Pertama, Pemilu Serentak 2019 mempertegas bahwa penyelenggaraan pemilu
di era reformasi masih terus mencari bentuk. Kesan trial and error tak
terhindarkan. Aturan mainnya tidak saja terus berubah dari satu pemilu ke
pemilu berikutnya tetapi juga ditandai adanya ketidakpastian hukum. Yang
terakhir ini contohnya antara lain: aturan soal napi korupsi menjadi caleg,
persyaratan pencalonan DPD dan juga proses verifikasi partai peserta pemilu.
Kedua,
penyelenggaraan Pemilu 2019 juga mempertegas kegagalan dalam membenahi sejumlah
masalah yang sudah menahun. Di antaranya kesemrawutan penyusunan DPT, praktik
politik uang yang marak tapi sangat sedikit yang bisa diproses lebih lanjut.
Juga soal posisi media massa yang selalu diperdebatkan tetapi tak juga ada
solusi yang diterima di kalangan pemangku kepentingan.
Ketiga,
pemilu serentak juga menyibak persoalan ihwal manajemen pemilu. Salah satunya
terkait tenaga pelaksana penyelenggara pemilu di akar rumput. Ada problem
serius terkait proses rekrutmen yang
selama ini terabaikan. Besarnya jumlah tenaga lapangan yang meninggal
saat menjalankan tugas bukan saja ‘kurang hitung’ dalam soal implikasi pemilu
serentak tapi juga karena tata laksana rekrutmen tak seketat di tingkatan kota.
Belum lagi masalah netralitas pelaksana pemilu di tingkatan ini karena sebagian
terafiliasi parpol atau jadi pendukung salah satu pasangan capres-cawapres.
Keempat,
resolusi konflik sengketa pemilu kali ini jauh lebih buruk. Lebih dari
sebelumnya, pengerahan aksi massanya cenderung menjadi instrumen untuk
melakukan tekanan politik, alih-alih berupaya mendapat keadilan pemilu. Hal ini
pada gilirannya membuka ruang bagi pihak tertentu untuk memantik kerusuhan yang
untungnya berhasil diredam sebelum menjadi lebih tak terkendali.
Kelima,
meski baru bersifat ‘insiden’, manuver Gerindra ‘memuluskan’ sejumlah
caleg seperti Mulan Jameela atau Sugiono
masuk DPR perlu dapat perhatian. Selain soal keadilan, praktik ini ke depannya
bisa jadi modus baru. Dalam hal ini, caleg tak lagi akan terfokus pada
kompetisi untuk dapat suara terbanyak, tapi pada bagaimana kemampuan mereka
melobi DPP sebagai faktor penentu utama. Selain berpotensi melahirkan modus
transaksional baru, kondisi ini juga bisa dianggap ‘mengakali’ pemilih yang
merasa suaranya jadi mubazir.
Keenam,
pemilu serentak juga mengonfirmasi kecemasan lain yang selama ini kurang dapat
ruang dalam diskursus publik. Yaitu, pemilu serentak membuat pileg seperti
dilupakan. Pemilih tak terlalu peduli dalam memilih partai atau caleg. Mereka
cenderung tak memerhatikan dengan baik apa agenda politik yang dijanjikan
parpol atau caleg. Tak ada kebutuhan untuk tahu rekam jejaknya. Dalam kasus
DPD, bahkan tak sedikit pemilih tak tahu siapa saja calonnya dan siapa yang
layak dipertimbangkan untuk dipilih. Ibarat konser musik, pileg hanya band
pembuka belaka.
Ketujuh,
ambang batas pencalonan capres-cawapres yang tinggi secara tak langsung
sebenarnya melucuti semangat dasar dibalik usulan pemilu serentak. Dari sisi
efisiensi, dua paslon sangat tepat karena menghindari kemungkinan adanya
pemilihan putaran kedua. Namun, dari sisi pemilih, situasinya berbeda.
Pilihan
terbatas membuat pemilih terpaksa menerapkan strategi “diskon”. Secara sadar, pemilih mengabaikan situasi
bahwa preferensi kebijakan dia sebenarnya relatif berjarak dengan kandidat yang
dipilihnya. Sebagian pemilih, umpamanya, tetap memilih pasangan 01 walaupun dari
sisi janji kampanye terkait BPJS dia merasa lebih dekat yang ditawarkan 02.
Atau mengabaikan fakta bahwa mereka sebenarnya tak suka dengan pendamping
pasangan yang dipilihnya. Ini secara figuratif terwakili dari ungkapan: “Saya
pilih Sandi, bukan Prabowo” atau “Saya pilih Jokowi, bukan Kyai Ma’ruf’.
Pilihan lain, jadi golput.
Defisit demokrasi
Dengan
melakukan diskon preferensi, pemilih telah berkorban rasa dan mungkin pula
harga diri. Tapi, pasca-pilpres, sebagian pemilih dihadapkan pada situasi yang
terasa ganjil: Prabowo bergabung ke Kabinet Indonesia Maju. Fenomena ini
melahirkan kelakar yang tewakili melalui penjulukan seperti ‘pilpres rasa
pemilihan ketua RT’. Tetapi pada saat bersamaan, polarisasi di masyarakat terus
berlanjut dan cenderung kian mengkristal. Situasi ini secara telak menggugurkan
dalih bahwa bergabungnya Prabowo bentuk pengejawantahan prinsip
kegotongroyongan dan atau kebersamaan.
Dan, yang
lebih ‘menakjubkan’, munculnya berbagai gagasan yang jika dipadatkan tak lain
dari upaya mempreteli pemilu langsung. Berbagai gagasan yang terlontar pada
intinya ingin mengembalikan pemilihan ke MPR (presiden) dan DPRD (kepala
daerah) serta memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode.
Mempreteli sesuatu yang dinilai baik tidak saja membingungkan tapi juga
membangkitkan rasa cemas. Bagaimana tidak, pelaksanaan pemilu jadi penopang
indikator kebebasan Indonesia sebagaimana tercermin, umpamanya, pada indeks
kebebasan yang dirilis Freedom House. Menurut indeks ini, pelaksanaan pemilu di
Indonesia skornya 2 (bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tidak bebas (7) pada
periode 2013-2019.
Meski baru
sebatas wacana, gerakan mempreteli pemilu merupakan sesuatu hal yang terlalu
serius untuk diabaikan. Dalam hal ini, esensi pemilu sebagai sebuah persamaan
peluang memilih dan dipilih hendak dibatasi jadi ruang elite belaka. Maksudnya,
pemilu dijarah jadi sekadar ruang bagi elite memilih pemerintahan untuk mereka
sendiri dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Dengan begitu, gagasan
mempreteli pemilu karenanya harus dipahami sebagai upaya sistematis membangun
diskriminasi politik dengan mengatasnamakan efisiensi, gotong royong atau
bahkan mungkin dengan dalih ‘demokrasi Pancasila’. Diskriminasi menghasilkan
rasa cemas, rasa kekurangan dan frustrasi sosial. Sebab, ruang bagi masyarakat
kebanyakan untuk mendorong terwujudnya persamaan sosial menjadi semakin
terbatas dari sebelumnya.
Gagasan
mempreteli pemilu langsung bukanlah ide baru. Sebagaimana gagasan menerapkan
Piagam Jakarta, gagasan ini sudah beberapa kali dilambungkan. Bahkan, dalam
kasus pilkada, sudah pernah dieksekusi jadi perundang-undangan sebelum akhirnya
dipatahkan kembali dengan keluarnya perppu di masa akhir pemerintahan SBY.
Argumentasi tak pernah berubah: pemilihan langsung itu liberal dan karenanya
tak sesuai Pancasila. Ini biasanya diimbuhi argumentasi tambahan seperti: mahal
dan lebih banyak mudaratnya. Di sebagian
kalangan, pemilu langsung juga dianggap penghinaan. Bagi mereka, prinsip one
man one vote cederai prinsip keahlian. “Bagaimana mungkin suara seorang ulama
sama nilainya dengan suara seorang tukang becak” jadi contoh tipikal pembela gagasan
pemilu tak langsung dari kalangan ini.
Sepaket dengan
itu, juga mencuat gagasan mengembalikan kekuasaan politik ke MPR. Argumennya
sebangun, meski tak sama. Bagi pendukung gagasan ini, MPR perwujudan pasal
keempat Pancasila; mencerminkan prinsip mufakat dan kegotongroyongan.
Sebagaimana tercermin di Orde Baru dan juga Orde Lama, MPR-lah yang memberi
ruang berbagai kalangan duduk sebagai wakil rakyat tanpa dipilih. Mereka
ditunjuk dengan mengasumsikan hak istimewa yang melekat di organisasi tertentu
atau bahkan mungkin nantinya figur tertentu.
Menariknya,
argumen menghidupkan MPR dan mempreteli pemilu mempertemukan dua golongan yang
biasanya berseberangan: kalangan yang mendaku diri Pancasilais sejati dan
golongan Islam konservatif. Keduanya sama-sama tak bahagia dengan praktik
demokrasi saat ini yang mereka nilai terlalu kebarat-baratan (baca: liberal).
Ketaksukaan pada sesuatu yang berbau Barat bukanlah tren baru. Sejak beberapa
waktu lalu, ada kecenderungan menolak atau menetralisasi nilai-nilai demokrasi
liberal: kebebasan, kesetaraan dan kontrol atas kekuasaan.
Mengacu
indeks Freedom House, misalnya, sejak 2014 komponen kebebasan sipil Indonesia
konsisten skornya 4 (sebagian bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tak bebas
(7). Survei SMRC (Mei-Juni 2019) mengonfirmasi hal yang sebangun: perasaan
takut berekspresi juga meningkat tajam. Survei LSI (September 2019)
mengonfirmasi kecenderungan intoleransi juga meningkat. Dalam literatur politik, situasi ini disebut
illiberal democracy. Istilah ini secara karikatural bermakna “pemilu yes,
nilai-nilai demokrasi liberal no”. Singkatnya, demokrasi di negeri ini hendak
kembali dibonsai. Dan, jalan itu sangat mungkin terjadi. Sebagaimana diingatkan
Foa dan Mounk (2017), proses konsolidasi demokrasi bukanlah jalan satu arah ke
depan. Terbuka peluang untuk stagnan dan atau mundur. Dekonsolidasi terjadi
ketika publik mulai tak percaya pada aturan main yang dihadap-hadapkannya
dengan kehendak rakyat; ketika daya tahan aturan main demokrasi melemah dan
warga mulai tertarik ide otoritarian.
Dalam kasus
Indonesia, penggerak utama dekonsolidasi adalah elite politik. Berkat medsos,
gagasan ini dipompakan sedemikian rupa sehingga sebagian masyarakat memberikan
toleransi dan bahkan mendukung terjadinya pembatasan kebebasan seperti
ditunjukkan ketika pemerintah dengan santainya memblokir situs dan mematikan
akses internet. Sebagian masyarakat berdiam diri atau malah menganjurkan
diskriminasi sebagaimana pada kasus sulitnya membangun rumah ibadah, pilih
kasih penggunaan pasal karet terkait penghinaan tokoh politik atau penodaan
agama.
Sebagai
catatan, pertama, tindakan membatasi kebebasan atau perlakuan diskriminatif tak
hanya dilakukan aparatur pemerintah tetapi juga kelompok-kelompok sipil. Kedua,
praktik yang cenderung membatasi dan atau melanggar aturan main demokrasi
terutama diarahkan ke anggota masyarakat biasa. Ini berbeda dengan pola dalam
sistem otoritarian kompetitif di mana pemerintah yang berkuasa cenderung
melakukan pembatasan, persekusi, kriminalisasi, manipulasi dan sejenisnya
kepada pihak oposisi (Levitsky dan Way, 2002).
Singkatnya,
kebebasan sipil kita mengalami kemerosotan dan ini sepertinya ingin digenapkan
dengan juga membonsai pemilu. Yang terakhir ini, meski baru sebatas gagasan
sudah lebih dari cukup memicu rasa cemas. Sikap Jokowi dan juga Partai Demokrat
yang belakangan menegaskan posisinya membela pemilu langsung tak dengan
sendirinya mempupus rasa cemas itu. Pasalnya, apa yang terjadi selama 2019 ini
menunjukkan bahwa elite politik bisa melakukan apapun yang dalam perkiraan
normal tak akan berani mereka lakukan. Secara khusus, ada semacam trauma sosial
setelah UU KPK direvisi dan janji Jokowi untuk mengeluarkan perppu tentang
revisi UU KPK tak jadi dilaksanakan.
Apakah
dengan demikian demokrasi kita dalam bahaya? Mengikuti Erdmann (2011), saat ini
kita tengah mengalami penurunan kualitas demokrasi. Kita mungkin saja terus
berada dalam situasi ini. Tapi, seperti diingatkannya, kemungkinan secara
perlahan masuk fase hibridisasi (kombinasi otoritarian dan demokrasi) atau
gerak cepat menuju pemutusan dari demokrasi juga terbuka. Dalam hal ini,
peringatan Alexander dan Wezel (2017) penting diperhatikan. Menurut mereka,
dekonsolidasi demokrasi punya peluang besar ketika polarisasi kelas menajam dan
marginalisasi masyarakat bawah terus berlanjut. Dalam konteks Indonesia,
persepsi dominasi asing/aseng jadi bahan bakar yang efektif membangun sentimen
negatif terhadap kondisi ekonomi secara umum.
Ini ditambah
dengan kuatnya persepsi bahwa ekonomi dan dunia usaha cenderung melemah dan
harga-harga makin mahal, termasuk juga yang terakhir soal kenaikan iuran BPJS
yang dinilai terlalu memberatkan peserta. Kepahitan ekonomi memungkinkan publik
berpaling dan mengadopsi gagasan otoritarian atau sekurang-kurangnya menerima
situasi jika nyatanya harus menjalani realitas ‘diet demokrasi’.
Belum berakhir
Sekali lagi,
demokrasi kita tengah defisit. Para penyokong degradasi demokrasi sepertinya
beranggapan kurva demokrasi bisa sedikit diturunkan demi mencapai stabilitas
yang diasumsikan akan membantu percepatan investasi yang dibutuhkan untuk
mendongkrak perekonomian. Asumsinya, demokrasi dapat dinaikkan kembali
kualitasnya jika kondisi ekonomi sudah memungkinkan. Padahal, ada kemungkinan,
gerak balik itu akan jauh lebih sukar dari yang bisa mereka bayangkan.
Terlebih, ada sebagian penyokong degradasi demokrasi punya obsesi lebih jauh
lagi: menyingkirkan demokrasi secara penuh.
Di titik ini
mencuat sebuah kesadaran: kita kekurangan pembela demokrasi, khususnya di
kalangan elite politik sendiri. Meski (pernah) diuntungkan oleh demokrasi,
sebagian elite politik kini merasa demokrasi terlalu menguras sumber dayanya.
Tingkat keuntungan berdemokrasi tak lagi menarik. Para elite memilih tak setia
pada demokrasi karena mereka juga mulai merasa publik sepertinya tak terlalu
keberatan dengan pemangkasan kebebasan ataupun ketidaksetaraan yang
dilanggengkan.
Jelaslah
sudah, 2019 mungkin bukanlah tahun terbaik bagi Indonesia dari sisi politik.
Tapi, setidaknya tahun ini memberikan satu tanda penting tentang demokrasi
kita. Jika diibaratkan klub sepakbola di liga Inggris, posisinya sudah
terperosok di zona degradasi. Tapi, demokrasi di negeri ini masih punya peluang
kembali ke zona aman karena musim kompetisi belum berakhir. Kita tak perlu
bermimpi bisa ikut kompetisi tingkat Eropa karena untuk bisa masuk klasemen
papan tengah saja sudah bisa dibilang pencapaian yang luar biasa. Jadi, mari
selamatkan demokrasi kita. Dan, untuk itu, zona nyaman para elite politik harus
diganggu. Tanpa itu, mereka akan berpikir bahwa masyarakat tak ubahnya kerbau
yang dicocok hidungnya belaka.
(Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif
Charta Politika Indonesia)
Politik itu membingungkan. Biasanya kalau salah satu calon jadi Presiden, pihak yang kalah maka akan jadi oposisi agar nantinya bisa memberikan kritik dan saran. Tetapi yang aneh di 2019 ini, pihak yang kalah ikut jadi menteri. Itu yang membuat aneh demokrasi saat ini. Jujur jika misal tahu begini mending anggaran pemilu kemaren dipakai buat yang lain misalnya untuk subsidi pendidikan atau kesehatan... wkwkwk
BalasHapus