Berterima kasih
Oleh : SAMUEL MULIA
KOMPAS, 8 Desember 2019
Tepat satu
minggu yang lalu saya turut serta dalam perayaan Thanksgiving. Kalau Anda mau
tahu soal perayaan itu, Anda bisa mencarinya sendiri. Karena hari ini saya mau
ngomel tentang banyak hal, maka sayang halaman yang terbatas ini dihabiskan
untuk menjelaskan soal perayaan yang datangnya satu tahun sekali itu.
Kekesalan
saya sudah bertumpuk untuk mampu berterima kasih. Kalau dihitung, mungkin
kejadian buruk lebih banyak terjadi daripada kejadian yang menyenangkan hati.
Setahu saya, perayaan ini berterima kasih untuk berkat dan hasil panen yang
bagus.
Yang saya
tak tahu apakah yang dimaksud dengan berkat atau panen itu termasuk juga panen
kesusahan hidup yang kata banyak orang, juga harus disyukuri, karena kita bisa
naik kelas melalui pengalaman seburuk apa pun itu.
Saya sendiri
juga diajari berpuluh tahun lamanya untuk mengucap syukur di dalam segala hal
dan di dalam segala keadaan. Kalau kalimat di dalam segala hal itu
diterjemahkan lebih lanjut, maka itu berarti saya harus mengucap syukur, berterima
kasih, atas kejadian buruk dan kejadian baik apa pun bentuknya itu.
Saya tak
tahu apakah orangtua, yang anaknya diperkosa beramai-ramai kemudian dibuang ke
kali, harus mengucap syukur dan berterima kasih atas kejadian itu. Atau seorang
bapak melihat istrinya dibunuh harus bersyukur atas kejadian itu, sama persis
seperti kebahagiaan yang saya rasakan ketika panen saya berlimpah.
Atau melihat
seorang anak kecil sudah mampu memutuskan untuk bunuh diri dengan sejuta alasan
yang mengenaskan. Saya tak tahu apakah orangtua yang mengalami itu harus
berterima kasih dalam segala hal. Sungguh saya tak tahu. Saya belum pernah
mengalami kejadian itu. Membayangkan saja saya tak berani.
Dalam
kenyataannya, saya hanya bisa mengomel dan tak bisa berterima kasih atas
penyakit yang saya derita, atas usaha yang berjalan seperti seorang pelari yang
baru menyelesaikan lari cepat, dan terengah-engah karenanya. Meski itu tak
seberapa dibandingkan kejadian seperti yang saya tulis di atas.
Buruk 100, baik 100
Teman-teman saya,
terutama mereka yang hidupnya sangat saleh dibandingkan saya, tetapi belum
pernah mengalami cerita seperti yang saya tulis di atas, dengan mudah
mengkhotbahi saya agar saya tak boleh lupa menghitung berkat yang saya terima
sampai di masa sekarang ini.
Mereka
mengatakan kepada saya, kalaupun sekarang perut saya berair atau bahasa
kerennya asites, karena sebuah penyakit yang belum diketahui, selain penyakit
lainnya yang telah saya dapati, saya harus menghitung berkah bahwa saya bisa
bangun pagi selama ini dalam keadaan sehat walafiat.
Mendengar
nasihat semacam itu, saya hanya tertawa sinis di dalam hati. Nasihat itu sama
sekali tak menggairahkan untuk saya ikuti. Mereka tak tahu kalau saya justru
semakin frustrasi dan jengkel gara-gara berhitung.
Berhitung
justru membuat saya keder, membuat saya iri hati. Karena saya berhitung, saya
jadi tahu kalau berkat orang lain lebih banyak dari saya. Jadi, buat saya
berhitung itu telah menggagalkan saya untuk berbesar hati menerima keadaan
hidup dengan apa adanya. Entah mengapa, saya merasa menghitung berkat itu
sebuah kepengecutan, sebuah pelarian untuk menghibur diri dari sebuah keadaan
yang meluluhlantahkan jiwa raga.
Contohnya,
saya sakit, tetapi berkat yang saya terima di tengah kesakitan itu adalah
dengan melihat bahwa saya ini masih bisa bangun pagi sampai sekarang dengan
kondisi yang baik. Kalau misalnya sakit dan dapat bangun pagi dengan sehat
diterjemahkan dengan angka 100, hidup saya seperti membuat balance sheet: baik
100, buruk 100.
Apakah
mereka berpikir kalau saya seimbang, itu membuat saya lebih bahagia? Saya tak
bahagia dengan mencari keseimbangan antara kejadian buruk dan berkat yang saya
terima. Mungkin harusnya saya diajari sejak lahir ke bumi ini bahwa berterima
kasih atas berkat itu, atas panen itu, adalah termasuk panen negatif yang saya
terima, tanpa harus mencari alasan positif.
Sejatinya,
saya berniat berterima kasih untuk kejadian baik dan kejadian buruk, bukan
membuat perayaan yang penuh perhitungan. Saya mau merayakan hari panen itu dengan
menjadi jujur bahwa saya tak bisa menerima anak saya diperkosa ramai-ramai
tanpa harus perlu mencari alasan yang positif.
Saya harus
merasakan keterpurukan sampai titik yang paling rendah sebelum saya bangkit.
Maka, ketika saya mampu berdiri lagi, saya berdiri karena saya mengerti dan
merasakan keterpurukan tanpa harus mencari keseimbangan dengan menghitung
berkat lainnya.
Saya berdiri
lagi karena perayaan ucapan syukur saya itu juga untuk sebuah panen yang penuh
kesengsaraan. Mungkin, itu adalah perayaan berterima kasih yang
sesungguh-sungguhnya. ***
ayo daftarkan diri anda di a*g*e*n*3*6*5 :D
BalasHapusWA : +85587781483
===Agens128 Bandar Judi Online Free Coin===
BalasHapusPakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
Game Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
WhastApp : 0852-2255-5128
Agens128 Agens128