RKUHP sebagai ”Omnibus Law”
Oleh : MULADI
KOMPAS, 27 November 2019
Minus
beberapa kesan negatif terhadap keberadaan
omnibus law di negara-negara asal (Amerika Serikat, Kanada, Australia,
Selandia Baru, Irlandia, dan lain-lain), fungsionalisasi Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana sebagai omnibus law dapat dilakukan.
Beberapa
kesan negatif itu antara lain omnibus law sering dianggap sebagai strategi
rekonstruksi hukum untuk penyederhanaan regulasi semata-mata agar secara cepat
dapat memudahkan pengambilan keputusan serentak mengenai hal-hal yang kompleks
di lembaga legislatif, menerobos hal-hal
yang bersifat kontroversial dengan
membatasi perdebatan dan pengawasan, dituduh antidemokrasi, merupakan
kompromi untuk menghemat anggaran dan cenderung tak terkendali (unmanageable), serta akan berdampak negatif
terhadap undang-undang lain yang sudah ada. Belum lagi sifatnya yang pragmatis,
yang bahkan dapat bersifat tidak konstitusional.
Istilah
omnibus berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti ’untuk segalanya (for everything)’, yang
dalam hukum dimaknai sebagai perlunya satu dokumen tunggal yang mencakup
bersama-sama suatu kombinasi subyek yang beraneka ragam atas dasar beberapa
kriteria (Gunter, 2012).
Dalam hal
ini, apabila omnibus law harus diartikan sebagai hukum yang mencakup topik yang
bermacam-macam dan sering tidak berkaitan satu sama lain (diverse or unrelated)
yang harus dikonsolidasikan dan disinkronisasikan, maka dalam bidang hukum pidana, Kanada
dicatat pernah melakukannya, yakni saat mengamendemen KUHP-nya (Criminal Law
Amendment Act, 1968-1969) yang setebal 126 halaman disertai 120 amendment
clause. UU ini mengonsolidasikan dan menyinkronisasikan regulasi yang luas
berkaitan dengan homoseksualitas, prostitusi, aborsi, perjudian, pengawasan
senjata api, dan mengemudi dalam keadaan mabuk.
RKUHP dalam
kerangka ini dapat didayagunakan sebagai omnibus law. Hal itu disebabkan visi
dan misi yang diembannya, dalam kerangka rekodifikasi sistemik (bukan sekadar
amendemen) dan proses dekolonialisasi, juga mencakup submisi konsolidasi dan
sinkronsasi peraturan hukum pidana, yang tersebar dan sering tidak sinkron satu
sama lain, baik vertikal maupun horizontal, karena sejak kemerdekaan KUHP
warisan kolonial Belanda (Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie) telah berkembang secara masif dan banyak
menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum yang diatur dalam kodifikasi.
Perkembangan ini berkaitan baik dengan hukum pidana murni maupun hukum pidana
administratif, termasuk peraturan daerah.
Sebagai
semacam omnibus law, RKUHP yang berisi 628 pasal disertai visi dan misi untuk membangun KUHP nasional
dengan batas-batas ukuran pembenaran (margin of appreciation) atas dasar
Pancasila, UUD NRI 1945, hak-hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang
diakui masyarakat beradab (The General Principles of Law Recognized by
Civilized Nations).
Untuk itu,
sekalipun sulit dihapuskan secara total, mitigasi sistemik terhadap penerapan
sistem keadilan retributif (retributive justice) yang bernuansa pembalasan
terhadap pelaku tindak pidana semata-mata harus dilakukan dan mengombinasikannya dengan sistem keadilan
restoratif (restorative justice), yang memperhatikan juga dimensi korban tindak
pidana, peranan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan perilaku, HAM, riset
empiris, dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi
universal.
Peranan Buku I RKUHP
Buku I RKUHP memiliki kedudukan sangat strategis
karena substansi Buku I (Aturan Umum) berisi asas-asas hukum (legal principles)
yang menyentuh secara mendasar reformulasi tiga masalah pokok hukum pidana,
yaitu perumusan perbuatan yang dapat dipidana (criminal act),
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan sanksi baik berupa
pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). Asas-asas hukum (legal
principles) yang sekaligus mengandung nilai-nilai hukum (legal values) dan
norma-norma hukum (legal norms) yang bernuansa keadilan hakiki berbeda dengan
norma yang bersifat umum.
Koeksistensi
(saling berdampingan) antara asas-asas hukum, norma hukum, dan nilai hukum,
dengan demikian merupakan konsensus dasar masyarakat yang dipandang adil, yang
harus dirumuskan terlebih dulu sebelum hukum secara keseluruhan dirumuskan atau
ditulis (Jordan DACI, 1997). Dengan demikian, mustahil dapat memahami Buku II
tentang Tindak Pidana secara keseluruhan tanpa lebih dulu memahami asas-asas
hukum pidana yang tersurat dan tersirat di Buku I. Substansi Buku I, dengan
demikian, merupakan mekanisme pengendali
secara keseluruhan sistem hukum pidana, baik di dalam maupun di luar
kodifikasi.
Asas hukum pidana di RKUHP
Beberapa
prinsip strategis dalam RKUHP yang merupakan asas atau mekanisme pengendali,
yang sebelumnya tak dikenal dalam KUHP (WvS) warisan kolonial, antara lain adalah sebagai berikut. Pertama,
dalam pengaturan tindak pidana ditingkatkan akurasi dalam proses kriminalisasi
sehingga prinsip legalitas, seperti tidak boleh berlaku surut (lex praevia),
harus tertulis (lex scripta), prinsip kejelasan (lex certa), dan prinsip
ketajaman, keketatan, dan larangan analogi (lex stricta) terpenuhi.
Untuk lima
tindak pidana (tipikor, terorisme, pelanggaran berat HAM, pencucian uang, dan
tindak pidana narkotika) ditentukan sebagai tindak pidana khusus dengan hanya memuat
delik intinya saja (core crimes), karena erat kaitannya dengan berbagai
konvensi internasional, adanya kandungan hukum acara khusus dan penyimpangan
beberapa aturan hukum pidana materiil serta adanya kelembagaan khusus (KPK,
BNPT, Komnas HAM, PPATK, BNN), masih bersifat dinamis untuk perubahan, tingkat
viktimisasinya luas, termasuk besarnya kutukan masyarakat (people condemnation)
nasional dan internasional.
RKUHP
menempatkan UU terkait lima tindak pidana ini di luar kodifikasi secara lengkap
tanpa perubahan. Prinsip legalitas juga akan diterapkan bagi pengakuan hukum
pidana adat yang hidup di masyarakat adat tertentu dalam bentuk Kompilasi Hukum
Pidana Adat.
Kedua, dalam
pertanggungjawaban pidana, secara pleno atau umum diatur bahwa korporasi dapat
melakukan dan dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana serta dapat dijatuhi
pidana dan tindakan di samping subyek manusia alamiah.
Ketiga,
pengaturan tentang tujuan pemidanaan dan hakikat pidana serta penegasan tentang
perlunya pedoman pemidanaan, baik terhadap orang maupun korporasi, untuk
menghindari disparitas pidana.
Keempat,
adanya pedoman penerapan pidana penjara.
Kelima,
pengaturan tentang alternatif pidana penjara untuk menghindari efek buruk
pidana penjara dan mengurangi kelebihan kapasitas penjara. Contoh, pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial, serta
perumusan pidana denda dengan sistem kategori untuk menghindari
fluktuasi nilai mata uang dan keefektifannya dan memudahkan penerapannya.
Keenam,
pengaturan pidana mati, sebagai pidana khusus, dan dengan syarat khusus dapat
diubah menjadi pidana non-pidana mati (pidana mati bersyarat).
Ketujuh, perluasan sistem tindakan yang bersifat
mendidik.
Kedelapan,
perumusan pidana dan tindakan bagi anak (juvenile justice).
Kesembilan,
dengan metode tertentu dilakukan rasionalitas ancaman pidana (strafmaat).
Hal-hal lain yang baru
Penekanan
pentingnya konsiderans untuk menyusun RUU KUHP yang memuat politik hukum untuk
mewujudkan hukum pidana nasional berdasarkan Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan
asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Di samping itu ditegaskan
pentingnya keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum,
kepentingan individu, perlindungan terhadap pelaku, dan korban tindak pidana,
juga antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan
keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup di masyarakat, antara
nilai nasional dan universal, serta antara hak asasi dan kewajiban asasi
manusia.
Adanya
penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal, yang secara yuridis merupakan
tafsir resmi KUHP yang sangat penting, ditujukan untuk menghindari multitafsir.
Pengaturan Ketentuan Peralihan mengharuskan setiap UU yang memuat hukum pidana
menyesuaikan dengan Buku I pada saat UU KUHP berlaku, dan Ketentuan Penutup
menegaskan berbagai aturan hukum pidana yang dinyatakan tak berlaku lagi dan
beberapa konsekuensi perubahan lain sejak KUHP baru berlaku dua tahun kemudian
sebagai periode peralihan (engagement period), untuk mengatur pelaksanaan
proses peralihan dan sosialisasi, baik bagi masyarakat maupun penegak hukum,
sebagai calon adresat norma. Sikap kehati-hatian yang dilakukan secara
profesional dalam proses dan evaluasi selama lebih dari 40 tahun dengan
berkesinambungan jelas dapat memitigasi kelemahan omnibus law di atas sehingga
misi konsolidasi dan sinkronisasi tercapai secara efektif.
Muladi, Tim Ahli Pemerintah dalam
Perumusan RKUHP
Saya ibu EVA FIORENTINA APRILA dari palembang mengucap syukur kepada allah,karna melalui bantuan dari aki abdul jamal yg sebesar 20m kini saya sudah bisa menjalankan usaha saya lagi.Puji syukur saya panjatkan kepada Allah yang telah mempertemukan saya dengan Aki Abdul Jamal dan melalui bantun pesugihan putih beliau yang sebar 5M inilah yang saya gunakan untuk membuka usaha selama ini,makanya saya sengaja memposting pesang sinkat ini biar semua orang tau kalau Aki Abdul Jamal bisa membantuh kita mengenai masalah ekonomi dengan bantuan pesugihan putihnya yang tampa tumbal karna saya juga tampa sengaja menemukan postingan orang diinternet jadi saya lansun menhubungi beliau dan dengan senang hati beliau mau membantuh saya,,jadi bagi teman teman yang mempunyai keluhan jangan anda ragu untuk menghubungi beliau di No Wa 085-254-384-488- rasa senang ini tidak bisa diunkapkan dengan kata kata makanya saya menulis pesan ini biar
BalasHapusSemua orang tau,ini sebuah kisa nyata dari saya dan tidak ada rekayasa sedikit pun yang saya tulis ini,sekali lagi terimah kasih banyak ya Aki dan insya allah suatu hari nanti saya akan berkunjun ke kediaman Aki untuk silaturahmi.Wassalam dari saya ibu Sartika dan untuk lebih lenkapnya silahkan buka blok Aki disini PESUGIHAN UANG GAIB TANPA TUMBAL