ANALISIS EKONOMI
Pertumbuhan dan Produktivitas
Oleh : A PRASETYANTOKO
KOMPAS, 12 November 2019
Prospek
perekonomian domestik tak terlalu optimistis; pertumbuhan melambat, sementara
peringkat daya saing menurun. Meski begitu, harapan masih tetap besar dalam
jangka panjang asal segera terjadi konsolidasi kebijakan dan fokus pada
peningkatan produktivitas.
Terkait
rilis angka pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 yang 5,02 persen oleh BPS,
Gareth Leather, ekonom Capital Economics Ltd London, menyangsikan akurasinya
(Bloomberg, 5/11/2019). Pertumbuhan ekonomi yang stabil pada kisaran 5 persen
sepanjang pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo dianggap tak mencerminkan
realitas karena faktanya kegiatan ekonomi menurun tajam pada triwulan III ini.
Gugatan
tersebut direspons BPS dengan menunjukkan metodologi penghitungan yang
dilakukan secara ketat dan di bawah supervisi lembaga internasional seperti
Dana Moneter Internasional (IMF). Terlepas dari gugatan metodologi,
bagaimanapun mitigasi harus segera diambil agar siklus pelambatan tak
berlanjut, dan lagi peluang tumbuh lebih tinggi masih tersedia pada jangka
menengah dan panjang. Esensinya, jangan menyia-nyiakan kesempatan.
Produktivitas
PDB mengukur
total output akvititas ekonomi berdasarkan kelompok lapangan usaha atau
pengeluaran. Berdasarkan lapangan usaha, sektor industri pengolahan memiliki
kontribusi terbesar, yakni Rp 798,1 triliun pada triwulan III-2019 atau tumbuh
4,15 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Kontribusi terbesar kedua adalah
sektor pertanian yang tumbuh 3,8 persen, disusul sektor perdagangan eceran yang
tumbuh 4,75 persen.
Jika
dihitung berdasarkan pengeluaran atas dasar harga berlaku, pengeluaran konsumsi
rumah tangga memberikan kontribusi tertinggi, yakni Rp 2.298,9 triliun pada
triwulan III-2019, atau naik 5,1 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Jika dilihat
secara kewilayahan, perekonomian di Pulau Jawa mendominasi dengan kontribusi
59,15 persen. Jika Pulau Jawa digabungkan dengan Pulau Sumatera, dominasinya
menjadi 80,29 persen.
Pendek kata,
pola perekonomian masih sangat mengandalkan sektor konsumsi ataupun manufaktur
yang cenderung melambat diiringi kesenjangan spasial, dengan konsentrasi
ekonomi masih di Jawa-Sumatera. Mau apa kita dengan situasi seperti ini?
Perekonomian
kita tengah mengalami siklus melambat, seiring dengan pola pelambatan global
yang terjadi secara sinkron di hampir semua negara. Ada beberapa pengecualian
akibat aneka faktor spesifik, seperti Vietnam.
Di tengah
pelambatan, tentu harus diambil tindakan memompa perekonomian sekurangnya agar
tak menurun lebih jauh. Selebihnya, kebijakan harus diarahkan untuk
memaksimalkan perekonomian agar kembali naik dan merealisasikan berbagai
peluang yang memang tersedia.
Kebijakan
fiskal melalui berbagai relaksasi perpajakan akan mampu menahan pelambatan.
Namun, guna mendorong dinamika perekonomian agar berbalik arah, diperlukan
kebijakan struktural yang komprehensif. Intinya, meningkatkan produktivitas,
yaitu dengan input produksi yang sama bisa menghasilkan output lebih besar.
Sayangnya,
berbagai indikator produktivitas juga menunjukkan gejala penurunan. Forum
Ekonomi Dunia merilis peringkat daya saing global 2019, yang memperlihatkan
penurunan peringkat Indonesia, dari 45 ke 50. Meskipun skor penilaian hanya
turun tipis 0,3 poin menjadi 64,6, penurunan peringkat terjadi cukup besar.
Artinya, banyak negara lain lebih progresif meningkatkan daya saing mereka.
Indeks daya
saing mengukur berbagai variabel yang sebagian besar berfungsi sebagai faktor
produksi, dengan kata lain menjadi peningkat daya saing mencerminkan proyeksi
peningkatan produktivitas domestik.
Isu
kesehatan (peringkat 96), ketenagakerjaan (peringkat 85), dan kemampuan
melakukan inovasi (peringkat 74) merupakan tiga variabel terburuk yang harus
ditangani dengan baik.
Peningkatan
produktivitas akan terhambat jika persoalan di atas tak ditangani dengan baik.
Masalahnya, menangani berbagai aspek itu tak akan mendongkrak produktivitas dan
kemudian pertumbuhan dalam jangka pendek. Sementara tantangan eksternal begitu
nyata dan akan berimbas pada kita dalam waktu dekat ini.
Untuk itu
diperlukan kemampuan menavigasi perekonomian dengan memainkan instrumen jangka
pendek, terutama kebijakan moneter, kebijakan jangka menengah (fiskal), dan
panjang (struktural). Dan harus diakui, manuver kebijakan ini memerlukan
kepiawaian para pengambil kebijakan, baik dari sisi teknis, pengalaman, maupun
integritas.
Kabinet
Indonesia Maju yang baru saja dilantik tentu diharapkan mampu menjalankan
kebijakan teknokratis menghadapi berbagai tantangan jangka pendek, menengah,
dan panjang. Mengingat peningkatan produktivitas domestik memerlukan waktu
lama, diperlukan beberapa strategi menengah yang mampu menopang agar
perekonomian tak menyusur ke bawah.
Pertama,
mengundang investasi asing langsung di berbagai sektor berbahan baku lokal
serta berorientasi ekspor. Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kementerian
Luar Negeri harus memiliki kerangka kerja yang jelas soal ini. Kedua,
mengadopsi teknologi di berbagai lini guna mempercepat transformasi ekonomi,
baik dari sisi pendukung maupun sektor usahanya sendiri.
Soal
teknologi memang ada gejala paradoksal. Diane Coyle, professor kebijakan publik
dari Universitas Cambridge, menulis artikel berjudul ”Rethinking Productivity”
di laman Project Syndicate (5/11/2019) dan menjelaskan adopsi teknologi tak mampu
mendorong produktivitas di negara maju. Dalam perekonomian dengan sektor jasa
lebih dominan, teknologi tak akan menambah secara signifikan output produksi,
hanya meningkatkan kualitas layanan saja.
Situasinya
agak berbeda di negara berkembang seperti Indonesia. Di negeri ini teknologi
masih berpeluang meningkatkan kapasitas produksi. Misalnya saja, melalui
peningkatan akses keuangan dan pemasaran, berbagai sektor kecil dan menengah di
berbagai pelosok Tanah Air bisa dikembangkan.
Hal itu
dilakukan agar terjadi peningkatan kapasitas usaha dari mikro, kecil, menengah,
selain mendorong distribusi pengembangan usaha di luar Jawa. Masalahnya,
teknologi tak bisa bekerja sendiri. Harus ada regulasi yang mengarahkan melalui
peta jalan pengembangan teknologi dan dunia usaha.
Sektor
swasta hanya akan bergerak jika ada keuntungan, dan keuntungan bisnis berbasis
teknologi masih di Pulau Jawa untuk penduduk yang sudah memiliki akses
keuangan. Mereka tidak akan bergerak keluar dari zona nyaman secara bisnis jika
tak ada fasilitas dan insentif dari pemerintah.
Selain itu,
menyusun peta jalan pengembangan teknologi dalam rangka pemberdayaan harus
disokong berbagai kementerian, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Perindustrian, Perdagangan, serta Koperasi dan UKM.
Jika Kabinet
Indonesia Maju masih berpikir sektoral, perekonomian akan mengalami stagnasi
berkepanjangan. Apalagi jika para menteri yang berasal dari partai politik
masih sibuk mengurusi koalisi, tak akan fokus bekerja. Tak banyak waktu
tersisa. Jika Presiden masih membiarkan kabinet berdinamika, harapan akan
kembali hampa. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar