MAKNA KEPAHLAWANAN
Pahlawan di Zaman Digital
Oleh : YERI WIRAWAN
KOMPAS, 13 November 2019
Artikel
Budiman Sudjatmiko di Kompas (28/10/2019) yang mengulas tentang pentingnya
mendefinisikan kembali semangat Sumpah Pemuda masa kini dalam konteks industri
4.0 sangat menarik. Budiman Sudjatmiko mengingatkan kita pentingnya pemuda untuk
berdaulat dalam penguasaan teknologi industri 4.0.
Tentu kita
memahami bila terjadi pergeseran makna kepahlawanan yang tak bisa dilepaskan
dari konteks perubahan sosial budaya aktual dewasa ini. Namun demikian kita
juga tetap perlu bersikap kritis terhadap proses konstruksi makna kepahlawanan
tersebut.
Secara
substansial semangat kepahlawanan berpijak pada nilai-nilai kerelaan untuk
mengorbankan diri berjuang bersama menjaga keluhuran martabat kemanusiaan dan
mewujudkan kehidupan bersama yang lebih adil dan sejahtera. Maka tepat waktu
jika kita mengenang kembali peristiwa Pertempuran 10 November 1945 yang secara
resmi dijadikan sebagai Hari Pahlawan.
Semangat pemuda
Kerelaan
berkorban untuk mewujudkan “Masyarakat
yang merdeka, bersatu, adil dan makmur” merupakan komponen utama dalam
Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Perang hebat yang terjadi
saat itu merupakan ujian keteguhan bagi pemuda mewujudkan cita-cita. Jika diukur
dari jumlah korban yang tewas dalam pertempuran di Surabaya, korban di pihak
sekutu lebih sedikit dibandingkan para pemuda pejuang dan penduduk sipil. Namun
momen pertempuran itu memperlihatkan gelora semangat para pemuda Indonesia yang
sangat militan mempertahankan kemerdekaan bangsanya. Hal yang tak bisa
ditaklukan sekutu. Bahkan para pemuda menemukan identitas mereka yang baru
yaitu sebagai motor pejuang kemerdekaan.
Sebagian
besar pemuda yang berjuang dalam pertempuran di Surabaya rata-rata berumur
belasan atau duapuluh-an tahun. Mereka menerjemahkan cita-cita kemerdekaan
dengan sederhana yaitu angkat senjata melawan penjajah. Tanpa berpikir
berbelit, tegas bersikap mengambil pilihan hidup atau mati.
Hal ini
berbeda dengan corak perjuangan generasi sebelumnya yang lebih mengandalkan
aktivitas intelektual dan politis. Para pemuda pejuang 10 November 1945
adalah generasi yang menolak aksi
basa-basi dan bertele-tele, lebih spontan merespon panggilan berjuang sebagai
panggilan berperang mengangkat senjata. Gelora semangat itu tercermin secara
sastrawi dalam puisi-puisi Chairil Anwar, penyair utama Angkatan ‘45.
Pemerintahan
Sukarno mengabadikan semangat kepemudaan 10 November 1945 ini sebagai Hari
Pahlawan pada tahun 1959. Cita-cita dan keberanian para pemuda dijadikan model
rujukan bagi generasi-generasi selanjutnya untuk mencontoh semangat
kepahlawanan. Pada masa Soekarno ini, upaya menjaga dan mengaktualkan semangat
pemuda 1945 tidak menemukan banyak kesulitan dibandingkan pada era berikutnya.
Definisi
musuh diaktualkan Soekarno saat memosisikan Indonesia-pada masa Perang Dingin-
sebagai bagian dari New Emerging Force (Nefo) yang melawan upaya Barat sebagai
pemenang Perang Dunia membangkitkan kembali imperialisme atau Neo Kolonialisme
(Nekolim).
Makna kepahlawanan
Pergeseran
makna kepahlawanan kembali terjadi saat rezim Orde Baru berkuasa. Pemerintah
Orde Baru yang didominasi militer mendefinisikan musuh tidak lagi terkait
ancaman penjajah dari luar melainkan sesama bangsa sendiri yaitu kaum Kiri dan
loyalis Soekarno. Pada masa Orde Baru semangat kepahlawanan pemuda 10 November
1945 terasa mengendur.
Sekurangnya
ada dua momen politik penting sebagai penanda kepahlawanan baru menggantikan
narasi kepahlawanan era Soekarno. Pusat narasi kepahlawanan dalam masa rezim
Orde Baru ada pada sosok Jenderal Soeharto. Pemerintah mensakralkan peristiwa
Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan menonjolkan peranan Soeharto, meminggirkan
peranan penting Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Meskipun warga Yogyakarta tahu
bahwa serangan umum itu tidak akan
terjadi tanpa restu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Namun yang terpenting dalam
era ini adalah menggeser penekanan narasi kepahlawanan dari pertempuran 10
November 1945 di Surabaya ke Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta , yang
berarti menggantikan kepahlawanan tokoh-tokoh pemuda ke Soeharto dan militer.
Peristiwa
kepahlawanan lain yang juga penting pada masa Orde Baru adalah periode berlangsungnya
“penumpasan G.30.S/PKI” yang juga menempatkan Jenderal Soeharto sebagai tokoh
pahlawan yang paling menonjol. Berdasarkan berbagai studi sejarah terungkap
bahwa dibalik narasi kepahlawanan ini terjadi tragedi kemanusiaan terbesar
bangsa ini berupa penangkapan dan pembunuhan massal terhadap mereka yang
dituduh Kiri atau pendukung setia Soekarno (Roosa, 2008). Kita menyaksikan pada
masa rezim Orde Baru bagaimana narasi kepahlawanan menonjolkan peran militer
dalam panggung sejarah nasional di atas peran rakyat sipil.
Peristiwa
Mei 1998 dengan tragedi kemanusiaannya menjadi penanda kegagalan pemerintahan
Orde Baru dalam merawat narasi kepahlawanan. Berbagai masalah sosial politik
juga ekonomi yang berpotensi mengancam keutuhan NKRI membongkar kerapuhan
bangunan kekuasaan Orde Baru dengan narasi kepahlawanan para tokoh utamanya.
Kemanusiaan
Selepas masa
pemerintahan Soeharto, kita menghadapi tantangan baru yaitu membangun kembali
narasi kepahlawanan di era reformasi dan digital. Tantangan-tantangan yang
dirumuskan pada hari ini jauh lebih beragam dan kompleks dibandingkan pada masa
sebelumnya. Kita bisa menyusun daftar panjang permasalahan bangsa yang kita
hadapi saat ini. Dalam tulisan opininya, Budiman Sudjatmiko menawarkan
penguasaan teknologi digital 4.0 sebagai alat untuk menjawab berbagai tantangan
bangsa tersebut. Seperti juga yang ditunjukkan hasil survei Kompas, generasi
muda menjadi motor kemajuan teknologi masa kini.
Namun di
saat yang sama kita juga perlu menyadari bahwa soal kepahlawanan bukan hanya
soal keunggulan dalam penguasaan teknologi digital. Panggilan sejarah kepada
para pemuda untuk meletakkan keluhuran martabat kemanusiaan sebagai bangsa yang
merdeka tetap menjadi ujian keteguhan memperjuangkan cita-cita hingga
batas-batasnya yang terjauh. Adapun teknologi tetaplah sarana mencapai tujuan
membangun masyarakat yang adil dan makmur. Di titik ini kita mungkin perlu
berkaca pada apa yang sedang dibangun bangsa Jepang dengan strategi pembangunan
Masyarakat 5.0 (Society 5.0).
Dalam proyek
besarnya ini, bangsa Jepang mengarahkan pembangunan dan industri teknologinya
dengan berorientasi pada “human-centred society” dan ramah lingkungan. Secara
ringkas dapat dikatakan semua inovasi dan perkembangan teknologi negeri
tersebut ditujukan untuk kemanusiaan.
Kita tentu
menyadari kemampuan teknologi dan sumber daya kita masih jauh tertinggal dari
yang dimiliki oleh masyarakat Jepang. Namun satu hal yang perlu kita pegang
saat kita bekerja keras mengejar ketertinggalan adalah cita-cita kemanusiaan
harus tetap menjadi titik sentral atau batu penjuru dalam setiap kemajuan
teknologi yang kita kembangkan.
(Yeri Wirawan, Pengajar di Prodi
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar