LEMBAGA RISET NASIONAL
Menuju Litbang yang Dipandang
Oleh : IRSAN A. PAWENNEI
KOMPAS, 19 November 2019
Pembentukan
Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN melahirkan harapan akan majunya penelitian
dan pengembangan (litbang) di Indonesia. Supaya bisa memenuhi harapan itu,
format kelembagaan BRIN perlu disusun secara jeli dengan memperhatikan peran
dan fungsi berbagai lembaga litbang yang sudah ada.
Terlepas
dari persentase kegiatan litbang yang hanya sekitar 44 persen dari angka
tersebut (LIPI, 2016), ada masalah mengakar terkait keluaran riset yang belum
berdampak pada pembangunan. Keadaan ini dipengaruhi ekosistem riset yang belum
terbangun sehingga muncul kebutuhan hadirnya institusi seperti BRIN (Kompas,
20/2/2019).
Litbang,
yang dengan adanya UU No. 11/2019 tentang Sisnas Iptek diperluas aktivitasnya
menjadi penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan (litbang jirap) dalam
bentuk invensi dan inovasi, selama ini acap kali dipandang sebelah mata.
Litbang seringkali tidak diperhatikan sehingga muncul ungkapan ‘litbang = sulit
berkembang’.
Saat ini,
ada berbagai lembaga litbang pemerintah di tingkat pusat. Pertama, Lembaga
Pemerintah Kementerian (LPK). Saat ini terdapat 21 Kementerian yang mempunyai
unit litbang. Berdasarkan CIPG (2014), mayoritas litbang LPK fokus menghasilkan
kebijakan yang mendukung kementeriannya, seperti Balitbang Kementerian Kominfo.
Di sisi
lain, beberapa litbang LPK juga menghasilkan riset terapan, seperti Balitbang
Kementerian PU-PR. Kedua, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Saat ini
ada enam LPNK bidang iptek, antara lain LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN, BAPETEN, dan
BSN. Sebagian besar LPNK tersebut mempunyai kekhususan, yaitu BATAN dan BAPETEN
di bidang ketenaganukliran; LAPAN di bidang keantariksaan; BSN di bidang
standardisasi.
Pemerintah
dan DPR sebagai penyusun UU Sisnas Iptek sudah menyadari bahwa iptek dibutuhkan
dalam meningkatkan daya saing bangsa. Sebagai wujud keseriusan, pemerintah
sudah menyiapkan dana abadi penelitian sebesar Rp 99 miliar pada tahun 2019
yang dikelola perguruan tinggi.
Namun,
penambahan sumber pendanaan ini tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah
keluaran riset yang belum berdampak. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya fungsi
regulator dan fasilitator dalam memperbaiki tata kelola ekosistem riset, serta
memastikan efektivitas anggaran.
Regulator dan fasilitator
Saat ini,
Kementerian Riset dan Teknologi sedang menggodok kelembagaan dan fungsi BRIN
sebagaimana yang diamanatkan UU Sisnas Iptek dalam menjalankan litbang jirap,
serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Terdapat dua opsi utama yang
berkembang.
Pertama,
BRIN sebagai penggabungan berbagai lembaga litbang jirap. Opsi ini akan
mempermudah koordinasi aktivitas riset karena mempunyai satu kepala. Namun,
BRIN akan cenderung menjadi lembaga berkekuatan besar yang berperan memberikan
arah riset, mengelola pendanaan, serta menjalankan aktivitas riset. Dengan
memperhatikan kompleksitas lembaga, terutama lembaga litbang LPK yang langsung
mendukung kementeriannya, serta berbagai LPNK yang mempunyai kekhususan bidang,
sulit untuk membayangkan berbagai lembaga litbang dapat disatukan.
Kedua, BRIN
sebagai regulator dan fasilitator yang memastikan integrasi aktivitas litbang
jirap, invensi, dan inovasi. Fungsi ini dijalankan dengan memisahkan antara
lembaga yang melakukan aktivitas riset dengan lembaga yang memberikan arah dan
pendanaan. Arah riset yang divergen menjadi permasalahan utama dalam satu
dekade terakhir. Adanya Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) yang berlandaskan
peraturan presiden (Perpres No. 38/2018) sudah menjadi solusi.
Di sisi
pendanaan, BRIN bisa berperan sebagai penyalur pendanaan riset satu pintu, sehingga
tidak ada lagi penyaluran dana kegiatan litbang ke berbagai
kementerian/lembaga. Dalam hal ini, BRIN sebagai pengambil keputusan pendanaan
juga dapat menyalurkan dana abadi penelitian bekerjasama dengan lembaga
pendanaan yang mempunyai manajer investasi dalam mengelola dana. Selain itu,
opsi ini juga mendukung skema kompetisi nasional, peneliti harus berkompetisi
untuk mendapatkan dana riset, sehingga akan menumbuhkan peneliti yang berdaya
saing.
Berdasarkan
berbagai pertimbangan tersebut, opsi kedua tampaknya lebih efektif untuk
dilakukan dalam waktu dekat. Seiring dengan itu, secara perlahan, lembaga
litbang jirap yang kurang kompetitif dan mempunyai fokus riset yang sama bisa
dilebur. Ambil contoh di bidang bioteknologi, terdapat Balai Besar Bioteknologi
BPPT dan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Kesamaan bidang riset juga ditemui
antara lembaga litbang LPK dan LPNK, yakni Balai Besar Keramik Kementerian
Perindustrian dan Balai Teknologi Industri Kreatif Keramik BPPT.
Terkait
dengan itu, Lukman Hakim mengatakan bahwa tantangan terbesar Menristek/Kepala
BRIN bukan menggabungkan berbagai lembaga riset yang sudah ada, melainkan
menyinergikan segenap potensi sumber daya iptek agar memberikan kontribusi
signifikan bagi Indonesia (Kompas, 12/11/2019).
Oleh karena
itu, saya mengusulkan BRIN yang melekat pada Kementerian Ristek berfungsi
seperti BAPPENAS yang melekat pada Kementerian PPN. BRIN berfungsi membuat
perencanaan program dan anggaran di bidang iptek, integrasi data dan informasi
iptek, memberikan arah riset, serta menyalurkan pendanaan riset, namun bukan
menjadi pelaksana litbang jirap.
Penataan
peran dan fungsi kelembagaan yang cermat dengan memperhatikan keberadaan
berbagai lembaga litbang akan bisa menempatkan BRIN pada posisi yang tepat
sehingga bisa mendorong kemajuan litbang jirap. Semoga dengan adanya BRIN,
litbang tidak dianggap sulit berkembang, melainkan dipandang dan dapat menjadi
solusi pembangunan.
Irsan A. Pawennei, Co-Founder &
Advisor Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar