PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Mendikbud, Selamat Bekerja Keras!
Oleh : ST SULARTO
KOMPAS, 19 November 2019
Ada dua terobosan besar dari terpilihnya Nadiem Anwar Makarim (35) sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pertama, dikembalikannya pengelolaan pendidikan tinggi di bawah Kemendikbud. Kedua, ditempatkannya seorang Nadiem Makarim, tokoh muda yang berlatar belakang entrepreneur dan bukan orang yang berkutat dengan disiplin ilmu-ilmu kependidikan.
Nadiem Makarim sudah menyampaikan empat program prioritas dalam rapat koordinasi di kantor Kemenko Pembangunan dan Kebudayaan, 31 Oktober lalu. Sebagai program ibarat guideline rencana kerja, membutuhkan pedoman teknis, terjemahan dan turunan dalam praktik di lapangan, pun diterjemahkan dalam kurikulum.
Program pertama dan kedua tentang rencana penyisiran anggaran dan aktivitas, apakah badan-badan internal ataupun eksternal mendukung atau tidaknya program pembelajaran. Program pertama kurang lebihnya berarti perampingan sekaligus juga efektivitas dan efisiensi badan-badan internal dan eksternal.
Program ini bermanfaat bagi efektivitas anggaran di satu pihak, tetapi bisa berdampak terhadap penghapusan sejumlah badan sebagai tantangan yang harus dihadapi. Dampak berikutnya adalah pengurangan tenaga yang selama ini, terutama yang berstatus PNS, yang dampak potensial bisa heboh.
Kerja keras menteri terkait program penyisiran anggaran dan badan-badan yang ada dihadapkan pada resistensi, badan-badan, di antaranya dari mereka yang merasa berjasa memberikan kontribusi bagi kebijakan praksis pendidikan selama ini.
Program ketiga, menggerakkan revolusi mental sesuai arahan Presiden dan Menteri Koordinator melalui konten-konten bukan hanya dalam sistem pendidikan, melainkan juga dalam masyarakat luas. Jadi, pengembangan karakter bukan hanya dari kurikulum, bukan juga hanya pembelajaran dari guru, melainkan dari masyarakat luas.
Program ini bermakna sekolah sebagai pendidik masyarakat. Batas ruang kelas tidak hanya empat tembok, tidak juga area sekolah, tetapi masyarakat luas. Kalau program itu ditafsirkan dan diterjemahkan demikian, tingkat pendidikan dasar dan menengah merupakan tantangan berat bagi sekolah dan guru serta pada gilirannya pada Mendikbud.
Dalam praksis sehari-hari, guru sudah bergelut dengan penyampaian bahan pengajaran—belum lagi titipan pendidikan karakter—mereka pun menjadi pendidik masyarakat. Kalau tidak diikuti penataan kelembagaan—terlepas dari kapasitas dan faktor waktu—program itu hanya akan terhenti di atas kertas. Terutama yang tidak pernah tuntas soal pendidikan karakter. Di satu pihak karakter dikaitkan dengan agama, di lain pihak seperti di dunia Barat tidak terlalu dikaitkan dengan agama.
Program keempat, dalam hal pengembangan teknologi, banyak hal yang harus difokuskan. Ada pendapat salah, teknologi di bidang pendidikan akan menggantikan guru, menggantikan ruang kelas. Teknologi seharusnya dipahami dan dikembangkan membantu guru melaksanakan tugasnya dengan lebih profesional. Teknologi untuk meningkatkan kepasitas pembelajaran bukan menggantikan.
Program inilah yang rupanya menjadi tantangan dan pesan Presiden kepada Mendikbud Nadiem Makarim: bagaimana anak-anak muda masa kini diajak akrab dengan teknologi menghadapi masa depan dengan nama mentereng zaman z, zaman now, dan serba digital.
Tantangan konkret
Komaruddin Hidayat lewat artikelnya di Kompas, 2 November 2019, mengingatkan adanya hal-hal yang tetap dalam pendidikan. Artikel berikut ini selain mengamini dan menggarisbawahi apa yang disampaikan, bermaksud menyampaikan tantangan-tantangan, bahkan mungkin tentangan dan kritik, yang terjadi dalam penerjemahan empat program Nadiem Makarim di lapangan.
Tentang kemampuan akademik di bidang pedagogi, tetapi lewat rentangan proses yang dijalani sebelumnya, Nadiem tidak meragukan. Adaptasi untuk praksis di Indonesia dengan cepat akan bisa dia lakukan. Bahkan, kelebihan seperti pada akademisi brilian dan praktisi yang lain, Nadiem niscaya mampu membawanya ke suatu terobosan besar. Dari sisi itu, tanggung jawab, pilihan, dan jabatan Mendikbud yang dipercayakan menjadi modal dan jaminan utama.
Ada masalah yang akan segera menghadang. Nadiem menghadapi budaya birokrasi dan birokrat yang bertahun-tahun merasa mapan dengan kedudukannya. Alih-alih disebut mereka sudah usang (obsolete), tetapi mereka nyaman dengan kondisi praksis pendidikan yang sedang berjalan. Mengajak birokrasi dan birokrat di lingkungan Depdikbud dari kondisi smart zone ke kondisi risk zone, merupakan tantangan pertama yang dihadapi Nadiem.
Tantangan ini tidak hanya terkait dengan program pertama dan kedua, soal penyisiran anggaran dan struktur kelembagaan, tetapi juga titipan lembaga pendidikan tidak hanya lembaga pembelajaran di ruang kelas/kuliah, tetapi juga di dalam masyarakat.
Ideal memang kalau pendidikan karakter bisa bertemu dengan praktik sehari-hari dalam masyarakat. Praktiknya sering terjadi perbenturan antara sekolah dan masyarakat. Anak didik bingung, mana yang benar, yang diajarkan di sekolah atau yang diajarkan orangtua/di rumah, sebab yang disampaikan di sekolah sering berbeda dengan apa yang terjadi dalam lingkungannya.
Kalau mengacu program ketiga itu diberlakukan secara kaku, niscaya sulit diwujudkan. Banyak pekerjaan rumit menghadang. Peranan guru sudah lama diakui tidak lagi sebagai sumber satu-satunya ilmu pengetahuan, dalam banyak hal berkat bantuan teknologi informasi, anak didik sering lebih dulu tahu dari gurunya. Dalam kondisi demikian, mengharapkan guru juga berperan dalam pembelajaran ke masyarakat luas sangat besar tantangannya.
Mengembangkan kemampuan guru bukan perkara mudah. Bukan hanya soal maju-mundurnya kebijakan menyangkut guru seperti selama ini, melainkan lebih dari itu meningkatkan mereka dengan pengajaran teknologi modern.
Alih-alih selama ini sudah banyak perbaikan dengan sekian catatan soal peningkatan kesejahteraan dan kemampuan, tetaplah mereka kepontal-pontal dengan berbagai kemajuan. Profesi guru yang diharapkan ada di garis depan sehingga bisa among sebagai pamong justru sebaliknya, mereka ikut arus karena kurangnya modal kemampuan menyesuaikan diri dengan perkembangan pembelajaran modern.
Kritik ini kesan umum, sebab banyak guru terutama di perkotaan yang akrab dengan teknologi pembelajaran modern. Anak didik diberi kesempatan menyalurkan ekspresi, guru bisa mengimbangi. Sebaliknya, baik yang sudah bersertifikat apalagi yang belum, apalagi yang ada di perdesaan dan terpencil, cara pembelajaran modern masih jarang bahkan benda asing bagi mereka.
Selain faktor guru, kondisi heterogenitas dan demogafi Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Dari Mendikbud yang satu ke Mendikbud berikutnya, dengan program pemerataan, dengan pilihan sesuai kebutuhan setempat, belum ada yang mampu secara maksimal mengatasinya.
Kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, masih ada kesenjangan. Berbagai program dilaksanakan, misalnya beasiswa bagi anak didik ataupun mahasiswa luar Jawa belajar di Jawa, sudah dilakukan. Memang, satu dua ada yang menonjol, bahkan melebihi umumnya anak atau mahasiswa dari Jawa.
Akan tetapi, pada umumnya perlu diakui bahwa pemerataan—dalam arti bukan angka-angka statistik partisipasi kasar peserta didik hampir 100 persen—tetapi pemerataan dalam arti pencapaian belajar dan keterampilan kerja, masih sebagai tantangan besar. Dengan program-program pembangunan ke luar Jawa dan dana alokasi dari pusat, kesenjangan itu terkikis pelan-pelan.
Terkait kesenjangan Jawa dan luar Jawa, perkotaan dan perdesaan, kurikulum yang saat ini dianggap tidak terutama sebagai pedoman pembelajaran, tetap jadi masalah. Titik masalahnya bukan materi terutama, tetapi bagaimana pelaksanaan di lapangan. Karena itu, ada seloroh kurikulum yang sesuai di atas kertas, dan kurikulum yang diselenggarakan di sekolah. Karena itu, tidak ada kurikulum yang berlaku secara nasional, yang dicoba diatasi dengan minimum standardisasi.
Ujian nasional dengan pilihan-pilihan variasi yang ditawarkan pusat memang upaya menyiasati ini, walaupun tanpa sadar justru menciptakan kesenjangan baru. Praksis pendidikan memang harus dievaluasi, tetapi dengan ujian nasional yang dari tahun ke tahun jadi persoalan, perlu ditemukan bentuk evaluasi yang rutin, dan di sanalah peranan penilik/pengawas sekolah bidang pembelajaran. Evaluasi pun tidak menjadi sesuatu yang menakutkan seperti ujian nasional, tetapi sebagai bagian integral dari pembelajaran. Sekolah menjadi sarana bermain yang menyenangkan.
Pemisahan Riset dan Dikti
Sejak pendidikan tinggi (dikti) digabungkan dalam Kementerian Riset tahun 2014, sudah muncul pro dan kontra, selain berdampak terhadap hal yang menyangkut kelembagaan dan administrasi.
Yang pro berpendapat, mahasiswa akan terlatih dengan kegiatan riset mereka memasuki lapangan kerja. Sejumlah negara sudah membuktikan hal itu, seperti Jerman, China, dan Perancis. Dengan pemisahan itu, Kemendikbud—akhirnya berganti nama menjadi Kemendiknas—diharapkan bisa lebih memfokuskan diri pada pendidikan dasar dan menengah.
Senyampang itu, tidak sedikit yang kontra, dan alasannya mendasar, antara lain Daoed Joesoef, mantan Menteri P dan K. Pendidikan tinggi tidak bisa dipisahkan dari pendidikan dasar dan menengah karena praksis pendidikan itu menyeluruh. Dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tingggi.
Ia mengingatkan tentang Tridarma perguruan tinggi, yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Penelitian di jenjang pendidikan tinggi terutama melatih mahasiswa di bidang penelitian, bagian utuh dari konsep perguruan tinggi sebagai masyarakat ilmiah.
Tanpa dibereskan soal Tridarma perguruan tinggi yang jadi kekhasan pendidikan tinggi, sambil membereskan urusan kelembagaan administrasi, Dikti pun masuk dalam naungan Kementerian Riset dan Dikti. Riset dilakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dan kurang mempertimbangkan riset dalam konteks membangun spirit ilmiah mahasiswa.
Dan yang menonjol dilakukan adalah meningkatkan jumlah guru besar serta pengaturan lebih ketat pembukaan program studi baru. Rupanya, antara lain dengan menyadari adanya perbedaan mendasar jati diri riset sebagai bagian dari proses pendidikan tinggi berbeda dengan riset untuk kepentingan konsumen, dalam era Kabinet Indonesia Maju ini Dikti kembali ke haribaan Kemendikbud.
Mencegah sinyalemen radikalisme di perguruan tinggi, khusus untuk PTN mungkin bisa diminimalkan dengan besarnya persentase suara Mendikbud, atau menghidupkan kembali hak prerogatif Mendikbud selain dari Wali Amanah, dalam menentukan rektor definitif. Tugas yang berat memang selain meningkatkan peringkat mutu, juga mencegah gejala radikalisme yang konon berkembang saat ini. Dan, dalam hal pendidikan, apa yang diputuskan hari ini dampaknya akan kelihatan satu dekade kemudian.
Pak Nadiem Makarim, selamat bekerja keras!
St Sularto, Wartawan Senior
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.
Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com
Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.
Sepatah kata cukup untuk orang bijak.