Kutipan Hatta di Colomadu
Oleh : BUDIMAN TANUREDJO
KOMPAS, 16 November 2019
Colomadu
adalah nama sebuah daerah di mana pernah berdiri pabrik gula di Solo, Jawa
Tengah. Kini, Colomadu diubah oleh Kementerian BUMN menjadi museum tentang gula
dengan nama dagang De Tjolomadoe. Sabtu pekan lalu, saya jalan-jalan ke museum.
Selain soal gula, yang menarik adalah kutipan kata bijak dari sejumlah tokoh
yang terpasang di dinding museum.
Nilai
kejujuran itu sangat relevan di era demokrasi dol tinuku (demokrasi jual beli).
Tiba di Jakarta, saya membaca buku berjudul KPK Berdiri untuk Negeri (2019)
yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Di buku itu ada lagi penggalan kutipan
antara Hatta dan Rahmi Hatta, istrinya.
Demikian
kutipannya:
+ ”Ayah,
kenapa tidak bilang kalau akan ada pemotongan uang? Uang yang susah payah
ditabung jadi tidak cukup lagi untuk beli mesin jahit”.
– ”Yuke,
seandainya saya mengatakan padamu, engkau pasti menyampaikan pada ibumu, lalu
kalian berdua mungkin akan memberi tahu kawan lainnya. Itu tidak baik…”.
Itulah
penggalan percakapan Hatta dan Rahmi Hatta (Yuke). Yuke tiap bulan menyisihkan
uang yang diberi suaminya. Yuke menabung untuk membeli mesin jahit. Ketika
jumlah tabungannya sudah cukup untuk dibelikan mesin jahit, tiba-tiba Wakil
Presiden Mohammad Hatta, pada 19 Maret 1950, mengumumkan pemotongan nilai
rupiah (sanering). Nilai uang kertas Rp 5 ke atas dinyatakan hanya bernilai
separuh. Tabungan Yuke pun berkurang jauh nilainya. Mesin jahit tak terbeli.
Peristiwa
itu terjadi 69 tahun lalu, tetapi relevan diketengahkan. Hatta adalah salah
satu dari sekian orang besar yang dimiliki republik ini. Dalam posisinya
sebagai wakil presiden, Hatta bisa membisikkan rencana kebijakan pemerintah
kepada keluarganya. Namun, Hatta tidak melakukannya. Dia teguh pada pendirian.
Dia teguh pada integritasnya. Sebab, integritas dan kejujurannya itulah, nama
Hatta diabadikan sebagai nama anugerah gerakan antikorupsi, Bung Hatta Anti
Corruption Award. Presiden Joko Widodo, saat menjadi Wali Kota Solo, mendapat
Bung Hatta Anti Corruption Award pada 2010.
Kisah anak
bangsa juga datang dari Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Dia tidak
pernah tergoda mengambil uang negara yang dikelolanya. Padahal, kehidupan
keluarganya kekurangan. Demi menyambung hidup, sang istri, Halimah, berjualan
sukun goreng. Ada juga kisah Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung. Seperti
ditulis dalam buku itu, seorang bupati mengisi bensin di tangki mobil Lopa.
Lopa marah dan meminta agar tangki dikosongkan kembali. Ada juga kisah Agus
Salim dan kisah mantan Kapolri Jenderal Hoegeng.
Kisah di
atas adalah sebagian litani kejujuran anak bangsa. Di tengah masifnya korupsi,
bangsa ini pernah memiliki anak bangsa yang mengedepankan kejujuran.
Mengedepankan integritas. Membedakan milikmu dan milikku. Pemerintah dan
pribadi.
Besar kecilnya
bangsa ditentukan kualitas manusianya. Mengutip Proklamator Soekarno, ”tiap
bangsa punya orang besar. Tiap periode dalam sejarah mempunyai orang besar.
Tetapi, lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih
besar dari Stalin adalah jiwa Stalin, lebih besar dari Roosevelt adalah jiwa
Roosevelt…”. Adapun Hatta dengan mengutip penyair Jerman, Friedrich Schiller,
mengatakan, ”Sebuah abad besar telah lahir, tetapi ia menemukan generasi yang
kerdil.”
Apakah
bangsa ini tengah bergerak melahirkan generasi kerdil? Biarlah sejarah
mencatatnya. Kejujuran yang menjadi esensi penting dari Hatta mulai meredup.
KPK yang awalnya dianggap sebagai kebutuhan bangsa, digerogoti dan dijadikan
musuh bersama. Ketika korupsi sempat dianggap sebagai musuh utama bangsa, kini
ia dianggap sebagai penghambat investasi. Terjadi dekonstruksi makna di sana.
Padahal, Amos Bronson Alcott (1799-1888), pendidik di Amerika Serikat, pernah
mengatakan, ”Sebuah pemerintahan yang hanya melindungi kepentingan bisnis, tak lebih
dari sekadar cangkang, segera runtuh oleh korupsi itu sendiri dan pembusukan.”
Padahal,
nyatanya, korupsi selain merugikan keuangan negara, juga merusak modal sosial,
hubungan saling percaya di tengah masyarakat. Ketika modal sosial digantikan
hubungan dol tinuku (jual beli), aku-kasih-apa-aku-dapat-apa, modal sosial juga
bakal lenyap.
Seperti
kisah ”orang suci” anak negeri, peribahasa Jawa mengatakan, ”jujur ora kekubur,
salah bakal kedhudhah”. Kejujuran tak akan mati dan dilupakan, sedangkan salah
atau kesalahan akhirnya akan diketahui orang. Menyongsong 100 tahun Republik,
bangsa ini lebih banyak butuh orang jujur dan berintegritas. Satunya kata dan
perbuatan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar