KREDIBILITAS DATA BPS
Kredibilitas BPS dan Bangsa
Oleh : ANTON HENDRANATA
KOMPAS, 26 November 2019
Setelah BPS
merilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kuartal III-2019, kita
tersentak oleh analisis kritis dari ekonom senior Capital Economics, Gareth
Leather, berjudul “Why we don’t trust Indonesia’s GDP data”.
Leather
meragukan data PDB Indonesia beberapa tahun terakhir. Menurutnya angka PDB tak
logis sejak 2014 karena cenderung flat dan tak mengikuti naik-turunnya
fluktuasi perekonomian dunia. Ia tak kaget dengan pertumbuhan ekonomi kuartal
III-2019 sebesar 5,02 persen karena sejak 2014 perekonomian Indonesia tumbuh
tak jauh dari 5 persen yaitu 4,7-5,3 persen.
Tak heran,
data PDB ini menjadi topik hangat dan validitasnya diragukan oleh beberapa
kalangan. Pro-kontra mewarnai pendapat Leather, ada yang percaya dan mendukung
Leather. Ada juga yang masih percaya dengan kredibilitas BPS.
Saya
termasuk ekonom dan statistikawan yang masih percaya kemampuan dan kredibilitas
BPS. BPS wajib menjaga/membela harkat dan martabatnya dengan kejujuran dan
integritas tinggi. Jika BPS memanipulasi datanya, sama saja mempermalukan dan
menjerumuskan bangsa ini. Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia pasti akan
salah arah karena berbasis asupan data yang salah.
Arah
perekonomian bisa makin tak jelas dan limbung, pengusaha dan investor pasti
akan bingung dalam perencanaannya. Saya sangat berharap tidak terjadi “garbage
in garbage out” karena dampak negatifnya pasti sangat membahayakan keberadaan
dan jati diri bangsa ini.
Oleh karena
itu, mari kita telusuri dan cari benang merahnya, serta tak berprasangka buruk.
Mengapa perekonomian Indonesia lima tahun terakhir seakan tak sejalan dengan
teori siklus bisnis? Perekonomian nasional cenderung datar, tak terlihat
gelombang naik-turunnya. Ekonomi Indonesia seolah imun, tak terganggu gejolak
dan perlambatan perekonomian dunia.
Apa betul
perekonomian domestik robust terhadap gejolak eksternal? Atau perekonomian
Indonesia mengarah pada ekonomi tertutup (closed economy), bukan ekonomi
terbuka (open economy) yang sensitif pada dinamika perubahan ekonomi global.
Beberapa kemungkinan
Ada beberapa
kemungkinan, yang dapat menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia
stabil di 5 persen beberapa tahun terakhir? Pertama, sejak berakhirnya era
bonanza komoditas primer 2011, peranan ekspor komoditas primer semakin kecil
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini sangat jelas terlihat dari
pelemahan pertumbuhan ekonomi secara kontinu dari 6,17 persen (2011) ke 6,03
persen (2012) dan 5,56 persen (2013). Selanjutnya mulai stabil di 5 persen dari
2014 sampai sekarang.
Selama
periode 2014-2019, praktis perekonomian kita hanya mengandalkan pertumbuhan
konsumsi rumah tangga yang peranannya sangat besar, 55 persen dari PDB, tak
lagi dibantu ekspor komoditas primer. Oleh karena itu masuk akal, pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih bisa bertahan di sekitar 5 persen, karena ditopang
pertumbuhan konsumsi rumah tangga sekitar 4,9-5,1 persen.
Kedua,
pemerintah berhasil menjaga inflasi relatif rendah dan stabil sehingga daya
beli masyarakat masih bertahan sampai saat ini, walaupun ada indikasi mulai
melemah. Secara rata-rata, inflasi bulanan sekitar 4,4 persen pada 2014-2019,
jauh lebih rendah dibanding 6,0 persen periode 2008-2013. Selain inflasi yang
turun, inflasi 2014-2019 juga relatif stabil dibanding periode sebelumnya.
Untuk
menunjukkan fluktuasi atau kestabilan suatu data, kita bisa menggunakan ukuran
dispersi/penyebaran data, yaitu standar deviasi, varians, dan koefisien variasi
(KV). Dalam tulisan ini saya menggunakan KV karena ukuran dispersi ini jauh
lebih baik dibanding standar deviasi dan varians.
Dari ukuran
statistik KV sangat jelas menunjukkan fluktuasi harga semakin rendah dan
terkendali. KV turun signifikan dari 43,4 persen pada periode 2008-2013 menjadi
37,6 persen pada 2014-2019. Dengan inflasi rendah dan stabil, sangat wajar
pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap stabil di kisaran 4,9-5,1 persen.
Apakah ini
akan flat dan stabil beberapa tahun akan datang? Rasanya sulit, jika Indonesia
tak segera melakukan transformasi struktural dalam perekonomiannya. Potensi
pelemahan konsumsi rumah tangga sudah mulai kelihatan dan tergerus.
Hal ini berarti
kecurigaan Leather bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga flat tak terbukti.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih bisa stabil sampai sekarang karena
masyarakat masih mampu mempertahankan perilaku konsumsinya dengan menggunakan
tabungannya.
Selain itu,
ada budaya gotong royong sesama anggota keluarga atau teman dekat bisa saling
bantu jika ada keluarga/rekannya mengalami kesulitan ekonomi. Dengan demikian,
ketika seseorang mendadak kehilangan atau turun pendapatannya, perilaku
konsumsinya masih bisa dipertahankan beberapa waktu. Inilah salah satu keunikan
pola konsumsi masyarakat kita. Budaya gotong royong ini unik dan tak dimiliki
negara maju, meski budaya ini mulai terkikis perlahan di masyarakat.
Ketiga, dari
jalur pasar finansial, Indonesia memang semakin imun terhadap gejolak
eksternal. Di pasar valas terbukti volatilitas nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS semakin menurun. Statistik KV hanya tercatat 6,4 persen pada
2014-2019, lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya 9,2 persen.
Kemudian di
pasar obligasi, imbal hasil obligasi RI tenor 10 tahun relatif stabil.
Statistik KV-nya menurun ke 17,9 persen dari 26,9 persen periode 2008-2013. Di
pasar saham juga menunjukkan hal yang sama, fluktuasi di harga saham juga
turun, statistic KV-nya dari 31,7 persen ke 11,6 persen pada 2014-2019.
Keempat,
saya duga keterkaitan dan keterlibatan Indonesia dalam rantai produksi atau
industri manufaktur dunia lebih rendah dibandingkan negara lain, seperti
Vietnam.
Rasanya,
industri manufaktur Indonesia sulit berkompetisi dengan produk negara lain dan
ini sangat terasa karena peranan industri manufaktur kian menurun terhadap
perekonomian nasional. Lemahnya keterkaitan Indonesia dalam rantai produksi
dunia juga sangat jelas terlihat dari 33 investasi yang keluar dari China, tak
satupun yang singgah ke Indonesia.
Kita kalah
bersaing dengan Vietnam, sebagian besar yaitu 23 investasi masuk ke Vietnam
baru-baru ini. Semakin rendahnya keterkaitan ekonomi Indonesia dengan negara
lain juga dapat dilihat dari statistik koefisien korelasi. Korelasi pertumbuhan
ekonomi Indonesia dan Eropa tercatat 0,6 tahun 2008-2013, turun signifikan ke
0,0 pada 2014-2019. Begitu juga terhadap Jepang, korelasinya sangat rendah 0,0
tahun 2014-2019 dari 0,3 pada periode sebelumnya.
Yang lebih
menarik lagi keterkaitan terhadap AS dan China, bersifat sebaliknya atau
korelasinya negatif. Dengan AS korelasi perekonomian Indonesia minus 0,2 dari
0,3 pada 2008-2013. Terhadap China, korelasi tercatat minus 0,3 dari 0,3 pada
periode sebelumnya. Kondisi ini menguntungkan, kalau perekonomian global
bergejolak dan dalam keadaan melemah.
Namun,
seharusnya kita sadar ini tak baik karena Indonesia tak berkontribusi besar
dalam rantai produksi dunia. Ketika ekonomi dunia pulih dan mengalami
akselerasi pertumbuhan, Indonesia tak akan merasakan nikmatnya anggur manis
aktivitas perekonomian dunia.
Ikuti kaidah internasional
Berdasarkan
keempat paparan itu, sangat beralasan kalau kita tetap percaya BPS masih
kredibel dan independen di negara ini. Perhitungan PDB sudah mengikuti kaidah
internasional. Selama ini, PDB dihitung dari sisi pengeluaran (permintaan
agregat/AD), kemudian pendekatan produksi (penawaran agregat/AS). Perbedaan
kedua pendekatan itu ditampung ke dalam statistik diskrepansi.
Fenomena
menarik perekonomian Indonesia saat ini adalah pertumbuhan sektor jasa melejit
signifikan, walau kontribusinya masih kecil pada PDB. Dengan makin
berkembangnya sektor jasa, ada baiknya perhitungan PDB juga dari sisi
pendapatan, tak hanya AD dan AS, sehingga potret perekonomiannya semakin
sempurna.
Jika BPS
bisa memetakan dan menghitung sektor jasa ini, bukan tidak mungkin pertumbuhan
ekonomi lebih tinggi dari yang tercatat sekarang dan ini mementahkan analisis
Leather.
Esensi dari
semua yang dipaparkan ini adalah produk data BPS harus benar-benar mampu
mencerminkan kondisi perekonomian riil sesungguhnya sebagai dasar dalam pengambilan
kebijakan. Kritik kepada BPS sebaiknya tidak usah ditanggapi terlalu reaktif,
diambil hikmahnya saja. Metode estimasi, cakupan pengamatan, dan teknik
pengambilan sampel mungkin masih perlu dikembangkan lebih lanjut dan
disempurnakan agar data BPS semakin akurat, valid, dan kredibel.
(Anton Hendranata ; Ekonom PT Bank
Rakyat Indonesia, Tbk.)
agen365 agen jud! online terpecaya dan teraman di indonesia :)
BalasHapusWA : +85587781483