REFLEKSI KEBUDAYAAN
Kabinet Tanda Tanya
Oleh : RADHAR PANCA DAHANA
KOMPAS, 14 November 2019
Tak dapat
dipungkiri, kabinet baru yang diumumkan oleh Presiden-Wakil Presiden terpilih
pagi (23 Oktober) lalu, menimbulkan banyak komentar, banyak opini, pro-kontra,
mungkin tepatnya: banyak tanda tanya.
Para tamu
itu dengan rendah hati mengajukan permohonan yang katanya atas nama semua
“rakyat negara Israel”, agar sang fisikawan cum filsuf berkenan menjadi
presiden Israel pertama. Apa kemudian jawab sang Einstein? Tersenyum. Menolak
dengan halus, dan tegas ketika dimohon paksa.
Namun sang
utusan tidak menyerah. Mereka kemudian kembali lagi, bahkan juga ditemani tokoh
kontroversial bermata satu, Moshe Dayan, mengajukan permohonan dengan
argumentasi lebih kuat. Apa jawab sang Einstein? Tersenyum. Seraya ringan
berkata, “Kalau diberi masalah dalam Matematika, mungkin, saya bisa
menyelesaikannya. Tapi diminta jadi presiden atau kepala negara? Duh, saya tak
mampu.”
Begitulah
akhirnya. Tokoh-tokoh besar negara Israel itu gagal dalam misi
politik/diplomatik terpentingnya. Apa yang didapat, juga kita yang pernah
dengar kisah itu, adalah satu kesadaran: alangkah bijak dan penuh integritas
jika seseorang mendalami dengan tekun, istiqomah, keahlian utama yang miliki
dan sukai. Jangan mengira dengan prestasi besar di keahlian itu, ia bisa pindah
ke kamar-kamar keahlian dengan bebas, dan mencapai sukses sama besarnya.
Sastrawan besar, tidak bisa mentransfer kebesarannya jika ia ingin jadi
pelukis, aktor, atau penulis lagu. Seorang profesor universitas tidak serta
merta juga “profesor” dalam agama, dalam seni lawak, atau sebagai pejabat
politik.
Apakah Jack
Ma, juga bagus jika jadi sekjen partai komunis atau perdana menteri? Betapa
hebat kekayaan dan kemampuan bisnis Bill Gates, apalagi Jeff Bezos, apa
kemudian juga becus jadi presiden atau menteri urusan teknologi atau ekonomi
kreatif? Seorang Donald Trump rasanya cukup jadi pelajaran. Bahwa seorang
pengacara superkaya plus selebritas belum tentu hebat dan sukses bila jadi
Menko Polhukham, apalagi presiden.
Inilah alasan
panjang dari pertanyaan pada kabinet yang diisi oleh tokoh-tokoh tertentu yang
sukses di satu bidang, sekonyong diberi portofolio atau kewajiban baru dan
berat (mengurus negara dan negeri, lho) di puncak pemerintahan. Sebuah trend
yang kini seakan menjadi hal biasa di negeri ini. Kehebatan dan posisi
tingginya sebagai seniman, dianggap jadi ukuran kualitas dan kapabilitas juga
untuk jadi walikota, gubernur atau lainnya.
Apakah
seorang sineas, aktor atau musisi hebat itu kurang derajat dan martabatnya,
kurang besar maslahat dan kontribusinya pada masyarakat dan negara, ketimbang
seorang menteri, anggota parlemen atau bupati? Bahkan dalam ukuran kemanusiaan,
ukuran kebudayaan, seorang petani, pedagang K-5 atau pengamen jalanan bisa
lebih luhur dan mulia sebagai manusia ketimbang, katakanlah, pejabat
politik/negara yang korup dan manipulatif.
Penafian Kebudayaan
Pertanyaan
kedua tentang kabinet (yang) baru diumumkan, berkisar pada masalah hitungan
politik, baik dalam perkara jasa atau dukungan dari seseorang atau kelompok
tertentu. Bagaimana sebuah jabatan yang menyangkut hajat hidup begitu banyak
orang, lengkap dengan muatan masa lalu hingga masa depannya, diberikan kepada
orang/pihak hanya karena pertimbangan ia telah memberi jasa atau akan memberi
dukungan (politis) pada kepentingan personal sang pemimpin (dalam usaha
merebut/mempertahankan kekuasaannya)?
Sehingga
karenanya kemudian jabatan atau kekuasaan (tepatnya amanah rakyat) itu bisa
dibarter. Kadang dengan satu pihak yang notabene melulu karena ia Ketum atau
petinggi sebuah partai, saudara atau kerabat Ketum, pandai dalam membuat
perhelatan, bahkan figur yang hampir tak memiliki rekam jejak dalam kehidupan
publik seantero negeri. Betapa murah harga sebuah jabatan atau begitu ringannya
amanah yang telah diberikan oleh rakyat, lengkap dengan tugas, tanggungjawab,
dan harapan-harapannya. Mengapa demokrasi dan politik kita membiarkan hal ini,
bahkan menganggapnya sebagai kelumrahan? Kita terima sebagai kewajaran
(politis) alih-alih kesesatan?
Pertanyaan
ketiga, berkait dengan kebudayaan. Dunia –juga persoalan—dimana di dalamnya
bukan hanya terdapat ludruk, nasi kapau, artis cantik atau dangdut koplo; bukan
hanya kunci bagi munculnya manusia unggul, bukan hanya festival, fiesta atau
apresiasi/penghargaan yang justru merendahkan produk dan produsen (budaya)nya,
bukan. Tapi juga mengenai budaya dalam berbisnis, budaya dalam beragama, budaya
berilmu hingga budaya dalam berpolitik atau menjadi pejabat (politik/negara).
Dan seterusnya.
Kebudayaan
adalah dimensi hidup yang sejak mula manusia ada menjadi pondasi dari
terbentuknya bidang-bidang atau kegiatan hidup secara umum ini. Frasa “pembangunan manusia” sebenarnya adalah
pemadatan makna dari tujuan utama dari adanya kebudayaan: membangun kemuliaan
dan keluhuran manusia, sebagai makhluk paling cerdas, sebagai insan ilahiah.
Frasa itu bisa bersifat imperatif, menjadi obligasi natural, nurtural hingga
spiritual siapa saja, yang mengaku memiliki budaya dan adab.
Dalam tujuan
hebat itulah, pendidikan –dalam pelbagai bentuk, filosofi dan ideologinya—hanya
berperan sebagai salah satu alat dalam proses transmisi produk-produk abstrak
dan utama kebudayaan dari generasi sebelum hingga sesudahnya. Pendidikan hanya
salah satu –dari begitu banyak—anak kandung kebudayaan yang walau penting,
bukanlah segalanya, apalagi jika ia pendidikan formal, pendidikannya
pemerintah.
Jalur formal
pendidikan sebenarnya juga hanya salah satu dari sekian banyak bentuk
pendidikan atau pengajaran yang sudah ada, diciptakan, dan dikembangkan oleh
bangsa kita sejak dulu kala, sejak ribuan tahun lalu. Karenanya tidak dapat ia,
pendidikan formal, menganggap dirinya begitu istimewa hingga mengambil hampir
seluruh perhatian atau anggaran yang disediakan negara.
Maka bisa
dibayangkan, ketika pemerintah menetapkan anggaran pendidikan (plus kebudayaan)
lebih dari Rp 500 triliun untuk tahun 2020, kebudayaan ternyata hanya mendapat
bagian Rp, 1,3 triliun atau kurang dari 2 permil alias 0,2% saja. Angka
anggaran semacam ini tentu saja mustahil untuk mengurus apalagi mengembangkan
berbagai macam produk kebudayaan saja, dari semua matra seni, pergelaran, kerjasama
antar negara, ribuan komunitas, ratusan taman budaya dan fasilitas kesenian,
hingga museum-museum dan situs purbakala.
Anggaran
yang bukan saja menjadi bukti penafian atau peminggiran secara sengaja dan
sistemik dari kerja kebudayaan, dalam hemat saya, telah menjadi semacam
penghinaan yang tiada habisnya. Semakin akut dibanding pemerintahan sebelumnya.
Angka 1,3 triliun itu jauh di bawah tahun-tahun di masa presiden sebelum
presiden incumbent. Angka itu diputuskan di saat anggaran pendidikan
membengkak, begitu gendutnya hingga syahwat dan nafsu destruktifnya merambat ke
para aparatusnya.
Para pelaku
seni, budaya, dan lainnya pun jika tidak mengemis maka dia mengais remah-remah
anggaran, entah dari pos mana, kalau perlu dari pos pengelolaan taman, sampah,
lalu lintas, dinas kebakaran dan bidang-bidang teknis lain yang anggarannya
bisa berlipat lebih besar dari kebudayaan.
Komprehensi Masalah
Semua
penjelasan di atas memunculkan pertanyaan pada mereka yang dipercaya menangani
kebudayaan di seantero negeri ini? Bagaimana mereka akan mengurus masalah besar
dan berat kebudayaan dengan kondisi keuangan dan, terutama, kesadaran atau
pemahaman kebudayaan seperti itu? Apakah
pimpinan bangsa ini, juga para pejabatnya di bidang ini, paham mengenai
kompleksitas, posisi hingga fungsi kebudayaan?
Apakah cukup
kebudayaan hanya berisi selebrasi dan apresiasi yang bermanfaat untuk dijadikan
manekin cantik bagi etalase politik sukses mereka? Bagaimana mereka mengurus
proses, dinamika, hingga progres kebudayaan yang nantinya menghasilkan
produk-produk akhirnya? Ataukah pahamkah mereka bila kebudayaan justru ada di
wilayah itu, yang kini rusak, diracun polusi gaya hidup, cara berpikir hingga
perilaku negatif, sehingga produk-produknya menunjukan bukan hanya kemunduran
bahkan nadirnya kebudayaan kita saat ini? Di semua dimensi: hubungan antar
manusia, keluarga, cara berdagang, beragama, hingga cara mengemban tugas dan
amanah.
Bagaimana
kebudayaan (sebagai proses abstrak begitupun produk-produk dasar/utamanya)
dapat dibayangkan melahirkan kemuliaan atau keunggulan manusia? Apakah tidak
pendidikan, sebagai anak kandung, justru mengalami pula situasi buruk yang sama
walau mungkin dimanipulasi dengan bermacam argumentasi atau teori?
Kita menjadi
saksi, manusia-manusia masa kini yang dihasilkan dari kebudayaan itu,
pendidikan itu terutama, termasuk diri kita sendiri tentu saja, mengisi
kolom-kolom media utama hingga media sosial dengan produk-produk yang negatif,
kriminal, bahkan kejahatan yang luar biasa, yang tidak ada presedennya dalam
sejarah kemanusiaan dan kebudayaan kita, bahkan dunia. Apakah masalah ini dapat
diurus oleh pedagang, atau lulusan sekolah bisnis, yang mungkin unggul
melahirkan sebuah usaha bisnis, walau ternyata keunggulan itu sudah digadaikan
pada banyak pihak, terutama asing?
Apakah juga,
seluruh menteri pengisi kabinet, memiliki komprehensi yang lapang dan dalam
tentang lapisan-lapisan (inti) masalah dari setiap bidang yang menjadi
tanggungjawabnya, sebagaimana begitu banyaknya lapisan itu di dalam kerja
kebudayaan? Tidakkah mereka paham bila komprehensi itu akan menyadarkan mereka
bahwa tak satu pun kerja dari mereka yang tidak berkait dengan (semua) kerja
lainnya? Dan kelindan, kohesi dan koherensi dari semua bidang kerja itu
berujung pada kemuliaan manusia, the pursuit of happiness.
Karenanya,
aneh, mengapa ada nomenklatur kementerian “Pembangunan Manusia dan Kebudayaan”?
Bukankah dua terma itu sebenarnya sama, atau terintegritasi dalam makna, yang
satu alat dan satu lainnya tujuan? Bagaimana tujuan mulia dan superhebat dari
pemerintahan ini, “7 triliun dolar AS PDB Indonesia di 2045” dapat tercapai
dengan modalitas dasar seperti ini? Apa tidak tujuan itu hanya ilusi, mimpi,
atau harapan kosong yang paling rajin diproduksi rakyat dan dijanjikan para
pemimpinnya?
Anda yang
harus menjawab.
Radhar Panca Dahana, budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar