MENGATASI RADIKALISME
Cegah Radikalisasi dengan Pendalaman
Keberagaman
Oleh : AL MAKIN
KOMPAS, 21 November 2019
Pemerintahan
Joko Widodo-Ma’ruf Amin periode 2019-2024 melalui Kementerian Agama memiliki
perhatian khusus pada program deradikalisasi. Menteri Agama yang baru, Jenderal
Purnawirawan Fachrul Razi, dalam beberapa kesempatan juga sudah menunjukkan
itikad kuat dalam hal ini. Publik dan media juga menanggapi dengan saksama,
terutama terkait gaya pakaian dan penampilan luar yang ditengarai mengarah pada
jati diri fanatisme dan sikap radikal.
Gejala akut radikalisme
Masyarakat
Indonesia yang agamais setelah era Reformasi jelas menghadapi fenomena ini.
Banyak riset dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun kampus
dalam jangka satu dasawarsa, seperti Setara Institute, Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Pascasarjana, dan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Kalijaga, menunjukkan gejala akut
radikalisme di masyarakat kita.
Hal itu
ditunjukkan oleh meningkatnya intoleransi, fanatisme berlebihan dalam beragama,
mengikisnya identitas dan patriotisme berbangsa, dan bahkan melibatkan tindakan
kekerasan yang membahayakan masyarakat (terorisme). Disadari atau tidak,
radikalisme, jika tak segera dicegah dan antisipasi, sangat mungkin mengancam
keutuhan kehidupan berbangsa.
Salah satu
contoh penelitian di kalangan generasi milenial terkini adalah telah
tergerusnya jati diri kebangsaan dan berkurangnya afiliasi organisasi keagamaan
tradisi Indonesia lama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di kalangan
generasi baru ini. Justru didapati menguatnya semangat ”berlebihan” dalam sikap
beragama di bawah payung beberapa organisasi keagamaan baru.
Sikap
berlebihan (fanatik) ini bisa mengesampingkan keberadaan pihak lain yang
berbeda dan selalu menganggap diri dan kelompoknya satu-satunya kebenaran. Jika
didapati sesuatu yang berbeda, dianggap keluar dari ajaran kebenaran.
Organisasi-organisasi
keagamaan di kampus-kampus, sekolah-sekolah tingkat menengah, forum-forum
keagamaan di luar kampus, juga sudah saatnya mendapat perhatian: apakah
nilai-nilai kebinekaan, toleransi, dan harmoni antar-iman sudah benar-benar
diterapkan di situ? Beberapa penelitian menunjukkan kondisi di masyarakat saat
ini sering memprihatinkan.
Patut
dicatat, intoleransi dan kekerasan atas nama radikalisme beragama itu saling
bergayut karena keduanya mengikis rasa kebangsaan, kebersamaan, dan mengancam
kerukunan masyarakat majemuk. Dalam suasana kritis ini, kadar kesadaran
keberagaman, atau kebinekaan, yaitu dasar berbangsa dan bernegara kita, juga
menurun. Maka, penanaman kembali ideologi Pancasila dengan model baru sesuai
tuntutan zaman hendaknya menjadi prioritas dalam rangka menepis sikap radikal.
Perlu
ditekankan kiranya bahwa sikap radikal, lawan kata dari moderat (jalan tengah),
bukan sebab (causa), tetapi merupakan akibat. Di samping memperhatikan
”akibat”, ”sebab” itu sendiri juga harus tersentuh terlebih dahulu sehingga
dalam jangka panjang deradikalisasi bisa menopang keutuhan masyarakat plural
ini. Tentu sebab munculnya sikap radikal tidak sederhana, bisa menyangkut
bidang ekonomi, sosial, dan politik yang dikaitkan dengan kondisi global kini.
Namun,
bangsa Indonesia punya penawar yang berlimpah, jika kita menyadarinya, yaitu
potensi kesadaran keberagaman budaya, tradisi, etnis, dan agama bisa dijadikan
obat untuk mencegah sikap fanatik berlebihan dan ketertutupan diri. Dengan
membangun kembali kesadaran adanya masyarakat majemuk yang mengitari kita, dan
banyak dari mereka yang beragam dan berbeda dari segi etnis, budaya, tradisi,
dan iman, keterbukaan akan mengikis sikap eksklusif dan tertutup.
Sikap
terbuka terhadap keberagaman akan membangun kesadaran inklusif dan toleran.
Inilah tawaran nyata dari program deradikalisasi jangka panjang, jika ini
digarap secara sistematis, terukur, dan dalam jangka panjang dalam pendidikan
formal ataupun informal.
Sayang
sekali, selama ini pendidikan kita dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi
masih cenderung mengajarkan tradisi tunggal yang diyakini dan dijalankan
pemeluknya, tanpa mengenalkan tradisi yang berbeda, atau ”keyakinan” tetangga.
Pendidikan kebinekaan hendaknya dikenalkan sejak dini.
Patut
dicatat, intoleransi dan kekerasan atas nama radikalisme beragama itu saling
bergayut karena keduanya mengikis rasa kebangsaan, kebersamaan, dan mengancam
kerukunan masyarakat majemuk.
Pendidikan keberagaman
Pendidikan
keberagaman merupakan kunci dari upaya pencegahan radikalisme dan bisa masuk
program deradikalisasi jangka panjang. Benar adanya bahwa jika seorang radikal
sudah mengarah ke tindakan kekerasan, seperti menyakiti sesama atau niat
mengorbankan masyarakat, harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Undang-undang harus ditegakkan. Pendekatan keamanan tak terelakkan. Namun,
upaya mencegah hendaknya diutamakan daripada mengobati.
Upaya
pendidikan kebinekaan dari dini dalam pendidikan formal ataupun informal adalah
tindakan pencegahan, sedangkan upaya hukum sudah pada tahap pengobatan. Kita
saksikan, pengobatan lebih pahit dan bahkan menyakitkan dalam tradisi medis.
Pancasila
yang dianut bangsa ini dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika perlu digali lagi
dengan tafsir yang lebih segar agar keberagaman Indonesia dipahami sesuai
konteks kekinian. Tafsir baru Pancasila perlu didalami secara bersama-sama dan
digalakkan lagi sesuai dengan kompleksitas persoalan berbangsa dalam era
pergaulan global kini.
Kemampuan
bangsa Indonesia untuk menyentuh makna ulang Pancasila dan membumikan kembali
nilai-nilai keberagaman akan menjadi obat cegah dan tangkal dari sikap
tertutup, radikal, dan fanatik.
(Al Makin, Guru Besar dan Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di UIN Sunan Kalijaga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar