Sekolah Anti-gadget
Oleh : HAIDAR BAGIR
KOMPAS, 30 Oktober 2019
Saya
terlibat dalam dunia pendidikan tak kurang dari 26 tahun. Mulai tingkat Pra-TK
hingga SMA. Baik mengelola sekolah yang biasa disebut sekolah unggulan, atau
SPK (Satuan Pendidikan Kerjasama), yang menerapkan sistem Eropa, maupun sejenis
sekolah internasional yang menerapkan sistem lain.
Saya juga
masih memimpin—sudah hampir 10 tahun—transformasi perusahaan yang saya dirikan,
dari perusahaan penerbitan berbasis kertas menjadi penyedia konten dan produk
digital.
Menolak gadget
Dengan
menyampaikan itu semua, saya tak hendak mengatakan bahwa apa yang akan saya
sampaikan pasti benar. Saya cuma ingin meyakinkan pembaca, bahwa saya tidak
sedang bicara ngawur. Ya, jaringan sekolah kami menolak penggunaan gadget dalam
proses pembelajaran. Aneh? Tidak juga.
Karena kami
tidak sendirian dalam mengambil sikap ini. Kami bahkan sama sekali bukan yang
pertama. Sudah sejak lima tahun lalu, sekolah yang sangat populer di kalangan
petinggi perusahaan IT di Silicon Valley, mencanangkan ini.
Namanya
Waldorf School.
Kebetulan
sejak dua tahun lalu kami memperkenalkan Waldorf School di jaringan sekolah
kami. Waldorf Schools, yang diinisiasi oleh Joseph Steiner dan disponsori oleh
keluarga Waldorf—antara lain memiliki Waldorf Astoria Hotel— belakangan bukan
hanya populer di Finlandia, melainkan juga mulai menjamur di China.
Sejalan
dengan sikap para pemilik perusahaan berbasis IT, termasuk Bill Gates, Steve
Job, dan Marc Zuckerberg, sekolah Waldorf melarang penggunaan gadget dalam
proses pembelajaran dan menggantinya dengan hands-on learning (belajar dengan
melibatkan kegiatan fisik). Apa pasal?
Baik Waldorf
School di Silicon Valley, sekolah-sekolah sejenis, maupun para pemilik
perusahaan IT terbesar dunia itu, merasa harus membatasi screen time (waktu di
depan layar gadget) bagi anak-anaknya, terutama yang berusia di bawah 14 tahun.
Mengingat di rumah anak-anak mereka sudah banyak terpapar gadget dan alat-alat
visual berlayar, mereka ingin anak-anak di sekolah belajar dengan kegiatan
fisik yang mendorong mereka bersosialisasi dengan teman-temannya.
Mereka juga
merujuk kepada berbagai hasil riset yang mengungkapkan ekses-ekses penggunaan
gadget pada anak-anak. Termasuk di dalamnya potensi depresi, attention deficit
disorder, turunnya kualitas kesehatan akibat kurang gerak, dan gadget addiction
yang bisa merampas waktu anak-anak untuk pelbagai kegiatan lain.
Salah satu
buku yang membahas hal ini adalah karya Richard Freed, Wired Child.
Reclaiming Childhood in a Digital Age
(2015). Juga Irresistible, karya Adam Alter (2017). Freed bahkan termasuk di
antara ribuan psikolog yang membuat petisi tentang ini
(https://screentimenetwork.org/apa).
Penelitian lain
Tentu saja
bukan tak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, tak sedikit juga yang
didukung oleh berbagai riset. Alhasil, perihal ekses penggunaan gadget,
khususnya di sekolah, belum konklusif. Sebagian penelitian malah menunjukkan
adanya perbaikan hasil belajar pada siswa yang menggunakan gadget sebagai alat
bantu belajar.
Banyaknya
screen time juga tidak serta merta berakibat buruk. Hal ini banyak tergantung
pada bahan-bahan yang diakses siswa.
Yang jelas,
semua sepakat bahwa siswa harus terlebih dulu dibekali dengan dasar-dasar
keterampilan numerik dan keberaksaraan sebelum diajak masuk kepada penggunaan
maksimum gadget dalam kehidupannya.
Apa yang
saya sampaikan di atas, betapa pun kontroversi masih melingkupinya, kiranya
perlu mendapatkan perhatian secukupnya. Apalagi jika diingat ada banyak
kemungkinan bahwa dunia industri gadget ikut mengaburkan pandangan negatif ini,
karena besarnya taruhan bisnis mereka.
Apalagi,
pembahasan saya di atas belum mencakup persoalan ‘”kapitalisme pengintaian”
(surveillance capitalism) yang bisa membuntuti anak-anak sejak kecil jika tidak
ada pembatasan penggunaan gadget secara sehat, sesuai dengan tingkat usia
mereka. Belum lagi persoalan keterpaparan pornografi, perundungan online (cyber
bullying), dan lain-lain yang juga harus dipertimbangkan.
Masih ada
suatu persoalan besar yang harus disinggung di sini. Meminjam dari Jean
Baudrillard, betapa pun juga, apa yang muncul dalam layar gadget adalah
simulacrum, yang banyak mereduksi kelebihan berinteraksi dengan keluhuran dan
keindahan: kemanusiaan, alam, dan lingkungan sekitar.
Tanpa
menutup mata terhadap manfaat simulacrum, berinteraksi dengan alam secara
langsung sebetulnya merupakan wahana terbentuknya spiritualitas, sebuah
hubungan saling cinta (sympathea) dengan “ibu” kita, sumber kehidupan kita. Hal
ini menjadi lebih penting jika kita ingat bahwa anak-anak sekarang, dalam
segala aktivitas mereka, sudah banyak terputus dari alam.
Mereka,
misalnya, tak sadar bahwa dalam air kemasan yang mereka minum sesungguhnya ada
semesta yang dahsyat, indah, dan baik hati dalam memastikan bahwa kita
mendapatkan air bersih yang sehat. Bahwa dalam sepotong ayam goreng ada kerja
keras penuh cinta dari para peternak dan petani, bahwa ada kerja ekologis alam
yang rumit dan penuh pesona.
Manusia
memang tak perlu terus berhubungan dengan alam. Namun, mengarahkan seluruh
indra ke lingkungan sekeliling kita dan menggerakkan badan adalah bagian dari
dukungan bagi kesehatan dan suksesnya proses belajar siswa.
Haidar Bagir , Pendiri Compassiate Action Indonesia; Pengajar
Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar