Reformasi
Ekonomi, Kabinet, dan Visi Teknokratik
Oleh : YOSE RIZAL
DAMANIK
KOMPAS, 24 Oktober 2019
Sudah umum diketahui bahwa pengelolaan perekonomian Indonesia ke depan
akan semakin berat. Dalam jangka pendek ada ancaman melambatnya perekonomian
global yang menyebabkan ekspor akan turut melemah.
Sudah umum diketahui bahwa pengelolaan perekonomian
Indonesia ke depan akan semakin berat.
Dalam jangka pendek ada ancaman melambatnya perekonomian
global yang menyebabkan ekspor akan turut melemah, sementara investasi juga
akan semakin sulit didapatkan. Dalam jangka menengah dan panjang, perubahan
teknologi yang begitu masif akan membuat struktur ekonomi berubah dengan cepat,
termasuk dalam ketenagakerjaan.
Studi Diagnostik Pertumbuhan dari Bappenas (2018), misalnya,
menyebutkan bahwa faktor kebijakan dan regulasi adalah penghambat utama
investasi, bisnis, dan pertumbuhan ekonomi. Survei tahunan yang dilakukan oleh
Jetro juga selalu menaruh permasalahan ini dalam faktor risiko tertinggi
bersama dengan permasalahan ketenagakerjaan.
Krisis ekonomi dan reformasi kebijakan
Pertanyaannya, apakah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin akan
mampu melakukan perbaikan regulasi dan kebijakan seperti yang dicita-citakan?
Apalagi mengingat sebelumnya ada usaha untuk memperbaiki kebijakan ekonomi
melalui serangkaian Paket Kebijakan Ekonomi, yang sayangnya tidak membawa hasil
yang diinginkan.
Ada ungkapan terkenal mengenai kebijakan ekonomi dari
almarhum Prof Mohamad Sadli, salah satu ekonom terkemuka negeri ini. Beliau
menyebutkan situasi krisis biasanya akan membuahkan kebijakan ekonomi yang baik
karena membuat banyak pihak tersadar akan perlunya reformasi.
Tentu ini tidak terjadi begitu saja. Krisis hanya akan
berujung pada reformasi jika proses ekonomi-politik, aspek kepemimpinan, serta
kelengkapan kelembagaan mendukung terciptanya proses pengambilan kebijakan yang
konsisten, kredibel, dan dipercaya.
Proses ekonomi-politik pada saat ini berbeda dengan situasi
pada masa Prof Sadli ikut dalam perumusan kebijakan. Krisis pada tahun 1980-an
memang memicu serangkaian deregulasi ekonomi yang cukup berhasil mendorong
pembangunan ekonomi Indonesia. Ini didukung oleh politik kebijakan berdasarkan
pandangan teknokratis yang memungkinkan pengambil kebijakan untuk menetapkan
deregulasi dan melaksanakannya secara konsisten.
Saat ini, perumusan kebijakan sangat dipengaruhi oleh
pertimbangan ekonomi-politik sehingga sering tidak konsisten dan berubah dengan
cepat mengikuti tekanan politik.
Usaha untuk mengubah kebijakan ketenagakerjaan dan
perdagangan, misalnya, akan mendapat tentangan politik karena pekerja ataupun
kelompok bisnis akan merasa dirugikan, padahal hal ini diperlukan untuk
meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian nasional Indonesia.
Intervensi terhadap mekanisme pasar menjadi sering dilakukan
untuk memenuhi permintaan berbagai kelompok kepentingan ekonomi meskipun tidak
sesuai dengan realitas ekonomi, contohnya penyediaan bahan bakar minyak dengan
harga murah. Kesejahteraan jangka panjang masyarakat sebagai tujuan reformasi
kebijakan kemungkinan sering dikorbankan untuk merespons situasi politik jangka
pendek yang terkadang menghasilkan kebijakan yang populis.
Kepemimpinan dan visi teknokratis
Di sinilah aspek kepemimpinan dan kelembagaan memegang peran
agar reformasi kebijakan dapat berjalan dengan efektif. Visi teknokratis dengan
dasar pertimbangan ekonomi yang kuat sangat diperlukan untuk dapat mengimbangi
proses ekonomi-politik yang semakin kencang. Anggota kabinet dalam bidang
ekonomi memegang peranan penting untuk memberikan arahan teknokratis dan
analisis ekonomi yang diperlukan.
Alessina dan Tabellini (2008) dalam paper seminal mereka,
”Bureaucrats or Politicians?”, menjelaskan bahwa keberhasilan reformasi
tergantung dari kemampuan dan usaha pembuat kebijakan. Kemampuan tergantung
dari pengalaman dan pengetahuan, sementara usaha sangat dipengaruhi oleh
”biaya” dalam menjalankan reformasi, terutama biaya politik.
Visi teknokratis bisa didapatkan dari seseorang yang sudah
mengakumulasi pengetahuan mengenai area kebijakan tersebut dalam jangka waktu
yang mencukupi. Politisi yang jarang bersentuhan dengan pembuatan kebijakan di
bidang yang bersangkutan cenderung tak akan mampu memberikan arahan yang
diperlukan. Di lain pihak, ”biaya” dan konsekuensi politik yang ditanggung
politisi cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan anggota kabinet
profesional.
Saat ini banyak posisi kunci ekonomi dalam Kabinet Indonesia
Maju diisi oleh perwakilan partai politik. Tidak kurang dari jabatan Menteri
Koordinator Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Pertanian dipegang
oleh wakil partai politik. Padahal, ketiga kementerian ini mempunyai peran
penting dalam menjalankan reformasi kebijakan.
Kebijakan perdagangan dan investasi yang lebih terbuka akan
menjadi salah satu faktor penting dalam rangka meningkatkan investasi dan
mendorong ekspor. Kebijakan pertanian yang tepat juga sangat diperlukan dalam
rangka meningkatkan ketahanan pangan. Namun, ini semua akan mendapat tentangan
dari berbagai kelompok kepentingan yang selama ini mendapatkan rente ekonomi
dari proteksi yang diberlakukan.
Dengan dipimpin oleh politisi dan wakil partai politik,
sulit untuk mengharapkan bahwa visi teknokratis dan rasional ekonomi akan
menjadi dasar bagi pengambilan kebijakan ekonomi di kabinet ini.
Ada kemungkinan pertimbangan ekonomi-politik akan lebih
mendominasi wacana dan pembentukan kebijakan. Berbagai kompromi politik mungkin
lebih sering dilakukan yang membuat kredibilitas kebijakan menjadi dikorbankan.
Ini tentu tidak sejalan dengan semangat reformasi yang diangkat oleh Presiden.
Kelembagaan dan koordinasi
Dengan tekanan politik yang semakin intens dan minimnya visi
teknokratis dalam kepemimpinan kabinet, keberhasilan reformasi kebijakan
tergantung dari aspek kelembagaan yang kuat. Koordinasi kebijakan juga harus
dapat ditingkatkan.
Sayangnya, dalam Kabinet Indonesia Maju, bidang ekonomi
masih berada di bawah dua kementerian koordinator, yakni kementerian
koordinator bidang ekonomi dan kementerian koordinator bidang maritim.
Seharusnya berbagai kementerian tersebut bisa berada dalam satu koordinasi saja,
misalnya di bawah koordinasi Jenderal (Purn) Luhut B Pandjaitan. Apalagi ia
sudah berpengalaman dalam mengelola bidang ekonomi dan dapat memberikan
koordinasi untuk keseluruhan bidang tersebut.
Kewenangan kementerian koordinator juga perlu ditingkatkan.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kebijakan dan regulasi ekonomi di
Indonesia sering tumpang tindih dan bahkan bertentangan. Bank Dunia menyebutkan
bahwa ada sekitar 6.300 peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga dan kementerian
dalam periode 2015-2018.
Di sinilah pentingnya mengadopsi good regulatory practice
(GRP) di mana regulasi tak akan dikeluarkan jika belum memenuhi berbagai
persyaratan, seperti analisis dampak dan manfaat, konsultasi publik, analisis
kesesuaian dengan berbagai regulasi yang ada, serta sosialisasi dan komunikasi.
Kementerian koordinator dapat diberikan kewenangan untuk
menjalankan GRP tersebut dan menjadi clearing house semua regulasi ekonomi.
Tanpa persetujuan menteri koordinator, regulasi dan peraturan menteri tidak
dapat dikeluarkan.
Peningkatan koordinasi bahkan mungkin bisa dilakukan secara
lebih ekstrem.
Kewenangan mengeluarkan regulasi bisa diberikan hanya kepada
menteri koordinator sehingga tidak ada lagi peraturan dari kementerian teknis.
Fungsi dari kementerian teknis lebih bisa difokuskan pada pelaksanaan regulasi
ekonomi. Dengan ini diharapkan ada pertimbangan komprehensif sebelum suatu
regulasi dan kebijakan ekonomi dikeluarkan.
Kabinet Indonesia Maju akan menghadapi masa-masa sulit yang
menentukan masa depan ekonomi Indonesia. Dengan proses ekonomi-politik yang
kuat, visi teknokratis menteri yang cenderung lemah, serta kelembagaan yang
belum matang, kepemimpinan yang solid dari Presiden Jokowi dan Wakil Presiden
Ma’ruf Amin menjadi kunci dalam membangun fondasi bagi terwujudnya cita-cita
menjadi negara maju.
Yose Rizal Damuri,
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar