Penghormatan untuk Sang Pemberani
yang Solutif
Oleh : HAMID AWALUDIN
KOMPAS, 24 Oktober 2019 11:38 WIB
Tunai sudah
pengabdian Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI pada 20 Oktober 2019. Ia dua
kali menduduki posisi terhormat itu secara tidak berturut. Ia berhenti tatkala
bangsa ini tetap menghendakinya berada di tempatnya. Ia berhenti di saat rakyat
mencapai puncak kecintaannya kepada pemimpin.
Bulan-bulan
dan minggu-minggu terakhir sebelum ia meletakkan jabatannya, institusi sosial,
lembaga pemerintahan, dan media berpacu untuk memberi penghormatan dengan
berbagai format acara tribute. Semuanya dengan motif tunggal, menghargai jasa
JK.
Lalu, orang
pun bertanya, mengapa JK begitu dicintai oleh rakyat yang dipimpinnya? Bukankah
fakta yang selama ini kita saksikan di berbagai tempat begitu banyak pemimpin
berhenti atau dihentikan secara paksa dan memperoleh cercaan, penghinaan,
bahkan hukuman hukum atau moral.
Solutif
JK dielukan
dan dirindukan lantaran kegesitannya menyelesaikan soal. Sepelik apa pun ihwal
yang dihadapi bangsa ini, semuanya bisa diselesaikan oleh JK. Tak ada soal
tanpa jawaban. Tak ada penyakit tanpa obat.
JK selalu
hadir di tengah kemelut yang dihadapi bangsa ini; apakah itu masalah kebijakan,
masalah bencana alam, atau lilitan birokrasi yang mengimpit tanpa berkesudahan.
Singkatan namanya, JK, digunakan rakyat sebagai singkatan dari jalan keluar.
Mengurai
benang kusut seolah menjadi spesialisasi JK. Ia tidak pernah membiarkan sesuatu
jadi masalah berkepanjangan. Badannya tidak sekadar lincah bergerak kian ke
mari menyelesaikan soal, tetapi kecerdikannya dalam menyederhanakan masalah
jauh lebih penting. Kecerdikan menemukan formula jitu atas segala soal
membuatnya enteng dalam mengambil keputusan.
Bagi seorang
JK, dalam memimpin, tidak boleh ada kata bottle neck yang menghambat. Air
pelayanan harus tetap mengalir tanpa hambatan. Aturan yang tumpang tindih dan
membelit diterjangnya.
Hanya kitab
suci yang tidak boleh diubah oleh manusia. Semua aturan yang menghambat dan
berbenturan satu dengan lainnya harus diubah. Aturan diubah untuk memberi
kepastian dan memudahkan urusan. Begitu prinsip pelayanan JK.
Lantaran
itulah almarhum mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew dengan tegas
mengatakan, ”Sayang Jusuf Kalla itu hanya Wakil Presiden.” Mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah Buya Syafii Ma’arif dengan lantang pernah menyatakan, ”JK itu the
real president.”
Kecerdikan
JK dilengkapi dengan keikhlasannya dalam bekerja. Tidak ada yang pelik bagi
seorang JK karena segalanya berawal dari sikap batin yang bernama ikhlas.
Dari sikap
batin itu pulalah mengapa JK seolah tidak pernah merasa letih. Ia seolah tidak
mengenal kehabisan energi dan semangat. Ia melewati segala rintangan dengan
enteng. Maka, tak heran, menjelang masa pengabdiannya berahir, semua orang,
terutama kalangan pengusaha, politisi, dan aparat pemerintahan, gelisah dengan
sebuah pertanyaan, ”Apa yang terjadi apabila JK berhenti kelak dari
pemerintahan?”
JK selalu
hadir di tengah kemelut yang dihadapi bangsa ini; apakah itu masalah kebijakan,
masalah bencana alam, atau lilitan birokrasi yang mengimpit tanpa berkesudahan.
Singkatan namanya, JK, digunakan rakyat sebagai singkatan dari jalan keluar.
Titik anjak
yang bernama ikhlas itu jugalah yang membuat seorang JK sangat berani dalam
mengambil kebijakan atau keputusan. Jika kamu ikhlas, pasti berani, dan tidak
ada satu aspek kehidupan pun yang tidak memerlukan keputusan, dan hanya orang
yang berani bisa mengambil keputusan, begitu prinsip JK.
Sebagai
pejabat, dengan modal ikhlas dan berani, JK tidak pernah menghindar dari pers
dan pers pun memperlakukannya sebagai sahabat, bukan sekadar sumber berita. JK
sangat terbuka memberi informasi. Menurut JK, jangan ada yang ditutup-tutupi.
Pers justru membantu pemerintah untuk menghilangkan persangkaan, gosip, serta
fitnah, baik terhadap negara maupun kepada yang lainnya.
Hulu mata
air yang bernama keikhlasan yang mengalirkan oase keberaniannya membuat JK
berbeda banyak dengan pemimpin lainnya. Ia berani, misalnya, tampil di
pengadilan membela mantan anak buahnya dalam kasus korupsi.
Bagi JK,
yang benar harus benar, yang salah harus disalahkan. Sikap yang berani membela
anak buah itulah yang menyebabkan para menteri atau pejabat pemerintahan
lainnya merasa sangat kehilangan dan bakal merindukan JK.
JK bisa saja
sangat marah terhadap anak buahnya atas tindakan atau kebijakan publik yang
diambilnya. Namun, apabila bawahannya tersebut berbuat benar dan disalahkan, JK
tanpa pertimbangan apa pun langsung membela bawahannya. Kata JK, anak buah
harus dibela habis-habisan jika benar.
Dalam hal
keberanian memang sulit mencari padanan JK. Ketika Ambon, misalnya, sedang
diamuk konflik antara kelompok Muslim dan Kristen, JK dengan lantang
mengatakan, ”Baik Muslim maupun Kristen, dua-duanya masuk neraka, bukan surga.”
Maklum,
kedua kelompok yang bertikai itu meyakini bahwa, apabila membunuh lawan, akan
masuk surga. Semua terdiam. Almarhum Nurcholish Majid menelepon saya ketika itu
dan minta disampaikan kepada JK bahwa semua yang dikatakannya benar, tetapi
tidak ada yang berani mengemukakannya. JK, kata Nurcholish, adalah pemberani
asli.
Keberanian
JK tidak sekadar keberanian moril, tetapi juga fisik. Saya menyaksikan dan
mendampinginya berkali-kali ketika terjadi konflik kekerasan di berbagai
tempat. Misalnya saja Ambon, kawasan yang dikuasai kelompok Kristen ditutup
rapat dari penduduk non-Kristen. JK hendak mendatangi tempat itu, tetapi
berusaha dicegah oleh gubernur, panglima kodam dan kapolda karena kawasan
tersebut benar-benar adalah the killing fields bagi non-Kristen. JK tidak hirau
dengan imbauan itu. Ia tetap ingin pergi.
Permintaan
kapolda dan pangdam agar dikirim dulu pasukan penembak jitu sebelum JK tiba,
atau dikawal pakai tank, juga ditampiknya. Ia memasuki kawasan berbahaya
tersebut hanya dengan seorang ajudan polisi. Di gerbang kawasan tertutup itu
terdapat spanduk yang bertuliskan, ”Semua boleh masuk di sini, kecuali Muslim
dan anjing gila”.
Sebagai
seorang Muslim, yang otomatis dilarang masuk, JK hanya senyum-senyum membaca
larangan itu. Ia masuk dan ternyata aman sekali. Kita harus tunjukkan bahwa
negara hadir di saat rakyat sedang bertikai. Negara tidak boleh menunjukkan
kelemahan karena rasa takut aparatnya, kata JK.
Terima kasih
kepada JK, sang pemberani! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar