Nobel Ekonomi 2019, Apa Artinya?
Kemenangan Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer dalam nominasi hadiah Nobel Ekonomi tahun 2019 yang baru saja diumumkan adalah hal yang menggembirakan tetapi tak penuh dengan kebaruan.
Adapun Ekonomika Pembangunan, kemudian lebih tampak sebagai sub-disiplin dari Ekonomika Makro yang tokoh- tokohnya pun adalah pemikir- pemikir makro yang kemudian menaruh perhatian lebih spesifik pada ketimpangan, keadilan global, dan kemiskinan sehingga pakar-pakarnya sejatinya adalah ekonom-ekonom makro yang kemudian mengkhususkan diri kepada hal-hal tersebut.
Namun, pemilihan panitia Nobel atas ekonom-ekonom pembangunan yang berpihak pada isu-isu keadilan, kemiskinan, dan ketimpangan adalah hal yang amat langka dan baru. Hanya Amartya Sen dalam catatan penulis yang satu-satunya meraih Nobel Ekonomi untuk tema spesifik tersebut, yaitu tahun 1998, setelah kategori Nobel untuk bidang ilmu-ilmu ekonomik sendiri dilahirkan pada 1969 yang lampau.
Dengan demikian, kemenangan Abhijit, Esther dan Michael adalah kemenangan kedua para ekonom yang peduli dengan kemiskinan dalam sejarah Nobel Ekonomi.
Dalam perspektif kebaruan, Abhijit, Esther, dan Michael dapat dikatakan tidak memiliki sumbangan yang berarti. Karena studi tentang ekonomika kesehatan, pendidikan, dan kemiskinan amat melimpah ruah, bahkan banyak bidang di luar hal-hal tersebut yang sesungguhnya patut lebih mendapat apresiasi karena temuan-temuannya yang lebih mengusik dan mengejutkan.
Namun, Abhijit dan rekan- rekan memiliki titik penghargaan utama pada ketekunan, dedikasi, dan konsistensi studi yang panjang. Ia sudah melakukan riset rintisan atas kemiskinan selama 15 tahun dan mendirikan sebuah laboratorium atasnya. Ia sendiri lulus sebagai doktor dari Universitas Harvard bukan untuk bidang studi kemiskinan atau pembangunan, melainkan ekonomi informasi.
Hal yang berbeda terjadi dengan kedua rekannya yang memang berkecimpung di bidang tersebut sejak menyelesaikan disertasi doktoralnya di bawah bimbingan Robert Barro dan dipengaruhi oleh Amartya Sen, seorang ekonom India yang peduli pada kemiskinan.
Ketiga pemenang Nobel tersebut merintis jalan riset studi yang panjang dalam merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang efektif bagi negara-negara berkembang melalui dimensi pendidikan, kesehatan, penguasaan teknologi, dan kesetaraan jender.
Hasil studi mereka menemukan bahwa pendidikan akan menuai hasil yang efektif bukan lewat program-program bantuan buku atau fasilitas persekolahan lainnya, seperti infrastruktur, melainkan penyasaran bantuan tutorial yang tepat bagi siswa-siswa yang capaian akademiknya lemah, dibarengi dengan insentif guru dalam bentuk kontrak jangka pendek yang akan diperpanjang jika hasil kerjanya dalam mendidik baik. Karena itu, guru senantiasa berada dalam situasi yang termotivasi untuk memberikan bimbingan terbaiknya, sekalipun ia berada dalam rasa cemas yang wajar dan terukur.
Kedua, temuan mereka atas keikutsertaan dalam vaksinasi, terutama di Kenya dan India sebagaimana pendidikan di atas. Ketiga peneliti tersebut menemukan bahwa rendahnya biaya operasional rata-rata klinik berjalan akibat proporsi biaya tetap yang besar merupakan faktor utama keberhasilan mendorong partisipasi warga di samping hadirnya juga pemberian insentif tambahan berupa bahan makanan bagi mereka yang berpartisipasi di dalamnya.
Dengan demikian, lewat temuan-temuan ini, ketiga peneliti di atas menemukan bahwa program-program bantuan karitatif yang diberikan pemerintah kepada pendidikan si miskin melalui buku-buku teks, gedung sekolah, dan lain-lain bukanlah kunci utama keberhasilan pendidikan. Sebab, upaya sadar dan terencana untuk menciptakan iklim pembelajaran tersebut akan efektif berhasil jika siswa yang kurang berprestasi mendapatkan perhatian khusus.
Namun, studi-studi tersebut memiliki beberapa kelemahan, seperti kontekstualitas, sigi, dan orisinalitas. Todaro (1994) bahkan menemukan bahwa pendidikan tinggi yang berlebihan akan memperlebar jurang ketimpangan pendapatan di negara berkembang sehingga hasilnya kontraproduktif dengan upaya pembangunan.
Demikian juga McGuinness dan kawan-kawan (2017) yang menemukan bahwa durasi sekolah yang terlalu lama cenderung merugikan perekonomian dan pertumbuhan produk domestik bruto. Sementara pelibatan variabel jender dalam demokrasi ekonomi untuk menanggulangi kemiskinan pun telah lama dirintis pemenang Nobel sebelumnya, yaitu Muhammad Yunus, untuk kategori Nobel Perdamaian di Bangladesh.
Namun, ketiga pemenang Nobel Ekonomi 2019 di atas telah berjasa untuk meletakkan semangat dan kehati-hatian dalam menentukan alokasi sumber daya untuk pengentasan kemiskinan lewat
bantuan pendidikan dan kesehatan. Apakah bantuan pendidikan dan kesehatan yang baik selalu dalam wujud gedung sekolah, rumah sakit, buku-buku, dan obat- obatan terjangkau?
bantuan pendidikan dan kesehatan. Apakah bantuan pendidikan dan kesehatan yang baik selalu dalam wujud gedung sekolah, rumah sakit, buku-buku, dan obat- obatan terjangkau?
Sudahkah bantuan likuiditas bagi layanan kesehatan warga, seperti BPJS di Indonesia atau negara-negara lain, seperti Amerika Serikat dan Perancis, efektif menurunkan angka kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)?
Riset mereka menemukan bahwa buku berkualitas hanya efektif di tangan siswa yang cerdas. Sementara desain riset untuk vaksinasi ketiganya menuai kritik karena terkesan baru berorientasi mengukur tingkat partisipasi dan belum dampak terhadap kualitas hidup yang panjang.
Pemenangan Abhijit, Esther. dan Michael dalam nominasi Nobel Ekonomi yang sarat dengan positivisme ilmu ekonomika dan pemikiran kapitalistik pasar finansial adalah bak sebuah tindakan amal dari panitia Nobel bagi ilmu ekonomi dan bagi dunia itu sendiri. Karena tidak dapat tidak, bebasnya seorang anak manusia dari belenggu kemiskinan adalah sebuah perdamaian.
Anggoro Budi Nugroho ; Dosen pada SBM ITB dan Mahasiswa Doktoral Faculte des Droit et des Sciences Economiques, Universite de Limoges, Perancis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar