Hari Santri dan Spirit Keindonesiaan
Dalam buku Bilik- bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Nurcholish Madjid menjelaskan semiotika santri yang merujuk pada dua entitas sejarah masa lampau.
Pertama, sastri yang diserap dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf. Kedua, cantrik yang diserap dari bahasa Jawa yang berarti seorang pembelajar yang setia mengikuti seorang guru ke mana guru itu menetap dan bertempat. Dalam kaitan ini, pedepokan adalah tempat yang menjadi pusat kegiatan belajar para cantrik yang ingin menimba ilmu pengetahuan. Sementara pesantren menjadi arena transformasi pengetahuan yang melibatkan banyak orang yang disebut santri.
Dalam kaitan ini, jika merujukkan santri hanya pada konteks keberagamaan lalu dipisahkan dari dunia cantrik yang lalu diasosiasikan pada identitas lanjutan, seperti abangan dan priayi—sebagaimana ditaksonomisasi oleh Clifford Geertz dalam buku Agama Jawa: Abangan, Santri, dan Priyayi —sebenarnya adalah sesat pikir yang lepas dari akar kesejarahan. Karena itu, jika saat ini muncul kesadaran genealogis untuk membangkitkan ruh santri sebagai momentum penguatan identitas kenusantaraan secara nasional, tetapi dianggap sebagai pengotakan golongan yang bisa menyulut disintegrasi rasa kebangsaan, itu sama halnya dengan kesalahkaprahan Geertz yang memisahkan identitas abangan, priayi, dan santri sebagai kosakata lokal kenusantaraan yang berseberangan.
Padahal, santri ataupun cantrik adalah ”patriotisme keumatan”—meminjam istilah Mohamed Talbi—yang menginterkoneksikan semua latar belakang kalangan dalam satu kesatuan konsolidasi menuju identitas kenusantaraan yang mengindonesia. Lalu, ketika cantrik melebur dalam personifikasi santri, seperti apa peran dilakukan santri dalam merespons khazanah kenusantaraan yang dilatari oleh aneka ragam pandangan dunia (world views) tentang keberagamaan sebagaimana cantrik mengaproriasi sistem kepercayaan dalam realitas kulturalnya?
Bagaimanakah santri membangun identitas hibridanya dalam melibatkan diri membangun dan merawat spirit keindonesiaan?
Identitas hibrida
Buku Sacred and Identity karya Hans Mol bisa digunakan sebagai perspektif sociological history untuk menganalisis identitas hibrida kesantrian dan—setidaknya—dua peran pentingnya dalam sejarah keindonesiaan. Pertama, the power of adaptation yang berkaitan dengan cara santri merespons setiap local indigenousness dan local wisdom yang berhimpun di rahim Nusantara. Dengan pengetahuan keagamaan yang moderat dan toleran, santri mengakomodasi tiap ritus, mitos, dan pandangan ketuhanan yang dilakukan masyarakat Nusantara melalui pendekatan hikmah dan nilai kebijakan.
Masyarakat Nusantara yang kala itu berada dalam sistem kepercayaan (system of believe) berbasis teologi purba—meminjam istilah Auguste Comte—yang mempersonifikasi berbagai benda adi kodrati sebagai spiritualitas totemik tidak direaksi dengan pandangan positivistik yang kaku seperti label takhayul, bidah, dan churafat. Justru, apa yang menjadi basis keyakinannya dijadikan pintu masuk untuk menebarkan nilai-nilai kebenaran yang islami yang tidak tendensius pada sikap pembenaran ataupun menyalahkan secara sepihak.
Perubahan sosial dan perkembangan zaman yang secara tak langsung ”memaksa” masyarakat Nusantara mengubah cara pandang ketuhanan dari dimensi politeistik ke metafisik lalu ke positivistik, tak membuat santri meneguhkan sikap pembaruan secara total. Namun, melalui diktum almuhafadzah ’ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil aslah (melestarikan kebiasaan lama yang baik sembari mengambil sesuatu yang baik dari hal-hal baru), santri membangun epistemologi relasional—meminjam istilah Kuntowijoyo—yang menghubungkan warisan kesejarahan kepercayaan dan tuntutan masa depan keberagaman.
Dengan begitu, santri mampu beradaptasi di setiap lipatan zaman yang berkembang di peradaban Nusantara dan bermetamorfosis pada ruang keindonesiaan yang sudah diwarnai pandangan kewargaan dan kebangsaan yang berciri global dan modern. Lalu, sikap ini melahirkan sikap kedua yang terkait kekuatan identitas.
Kedua, kekuatan identitas (the power of identity) yang jadi modal sosial santri dalam memainkan peran hibridanya sebagai agen keagamaan dan kemasyarakatan menjadi episentrum pandangan dan rujukan pemikiran dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Hal ini bisa dicermati pada posisi KH Hasyim Asy’ari yang jadi sumber pengetahuan dan penyelesaian masalah kebangsaan yang saat itu berada dalam sekapan penjajah. Di mana fatwa yang dikeluarkan oleh beliau adalah ”perang kemerdekaan” sebagai cara untuk membela Tanah Air menjadi magnitude yang diamini berbagai pihak.
Kekuatan hibrida identitas santri yang melekat pada diri sesepuh pesantren tidak hanya berhenti pada masa ketika Indonesia masih dalam lingkup penjajahan. Namun, ketika Indonesia sedang memasuki puncak kejayaan sebagai negara berkembang yang diperhitungkan dunia global, berbagai tokoh santri pun menjadi episentrum pandangan dan rujukan pemikiran dalam mengatasi berbagai problem sosial.
Hal ini bisa dicermati pada warisan almarhum Abdurrahman Wahid yang menginspirasi para intelektual Muslim Indonesia, baik di Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah dan lain-lain, yang dengan gigih menenun sulam kebangsaan melalui pemikiran yang moderat, toleran, dan berimbang.
Dengan cara ini, menjadi wajar, keberadaan santri kerap kali jadi garda terdepan dalam mengintegrasikan berbagai ras, suku, agama dalam satu ikatan kebangsaan dan kewargaan yang terdiri dari berbagai aneka latar belakang. Semoga, Hari Santri 22 Oktober menjadi momentum kebangkitan identitas hibrida santri dalam merevitalisasi keilmuan pesantren sekaligus menginterkoneksi khazanah keagamaan dan keindonesiaan dalam rajutan nasionalisme-religius yang berkeadaban.
Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta; Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar