SISTEM DEMOKRASI
Dalam Jebakan Kemungkinan
Bila dirunut sederhana secara linear, inilah litani kegaduhan sejak awal 2019: (a) pembelahan sosial menjelang pemilu 17 April 2019 dengan “politik identitas” sebagai narasi dominan, (b) kerusuhan pasca-pemilu, (c) penyerangan asrama Papua di Surabaya yang disusul protes keras masyarakat di tanah Papua, (d) polemik pemilihan pimpinan KPK baru dan revisi UU KPK, dan (e) kebakaran hutan yang berimbas sampai ke Singapura.
Asumsi dasar tesis lingua franca adalah bahwa absennya bahasa yang sama dalam dialog demokrasi menyebabkan demokrasi tak berfungsi optimal karena “keputusan kolektif” di level institusi demokrasi sering kali gagal menginklusi aspirasi dan deliberasi dari masyarakat majemuk yang merupakan representasi dari keragaman ruang publik. Lacey (2017) menawarkan ide demokrasi sentripetal, sebuah gagasan bahwa institusi demokrasi yang legitim mesti menjadi motor penggerak dari seluruh aksi kewargaan dan perwakilan politik dalam rangka pembentukan watak kewargaan demokratik baru yang lebih berpengaruh dalam membentuk keputusan politik.
Siapa bermain?
Untuk konteks kita, ada dua intisari yang perlu digarisbawahi: (a) ruang publik itu dinamis dan jamak dan (b) peran aktif institusi negara. Kalau mau jujur, sejumlah kekacauan yang terjadi sejak awal 2019 mensinyalir adanya upaya melebarkan jarak antara negara dan masyarakat. Siapapun yang bermain di balik drama itu, jelas mereka menciptakan perang “negara versus masyarakat”.
Mereka memanfaatkan ketegangan ontologis antara negara dan masyarakat sipil. Di satu sisi, ruang publik kian dinamis dan majemuk—dan seharusnya memang begitu! Di lain sisi, negara berada di persimpangan dilematis: (a) antara tergoda untuk memakai pendekatan klasik dengan coercive power yang pada gilirannya potensial melahirkan “negara Leviathan” dan/atau (b) tergerak berinovasi dalam merespons situasi tanpa mesti mengorbankan idealisme demokrasi dan kewibawaan negara sebagai institusi tertinggi.
Implikasinya, perlu ada kesamaan “bahasa” dalam dialog politik di level institusi negara untuk menjamin harmoni di tengah keragaman ruang publik dan terinklusinya keragaman deliberasi publik. Negara mesti berada di tengah sebagai kekuatan sentripetal yang menyatukan seluruh aksi dan aspirasi publik dalam pengambilan keputusan. Syarat fundamental adalah adanya akses yang terbuka antara negara dan ruang publik. Melalui akses itu, komunikasi deliberatif bisa terbangun produktif.
Inilah keunggulan pemerintahan Jokowi yaitu “negara” menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat, bukan masyarakat bagian subordinatif dari negara. Gaya kepemimpinan politik yang dinamis, fleksibel, dan context-based menyelamatkan Jokowi dan pemerintahannya dari badai yang terus menerpa.
Bahasa dan keputusan politik Jokowi terukur, proporsional, dan disesuaikan dengan konteks. Positifnya, pemerintah tak memberi celah bagi para pecundang untuk “menembak” Presiden dari belakang. Hal negatifnya terletak pada faktum sosial bahwa ruang publik yang dimungkinkan bertumbuh dinamis dan plural justru menyuburkan kritik dan resistensi terhadap pemerintah secara berkelanjutan.
Tentu demokrasi tak melihat itu masalah karena itulah hakikat demokrasi. Namun, itu jadi tantangan bagi kepemimpinan Jokowi saat ini dan ke depan apabila ruang publik dicemari oleh agenda kotor para begundal politik.
Keunggulan lain, institusi negara yang relevan seperti militer (TNI), kepolisian (Polri), termasuk badan intelijen (BIN) memiliki kapabilitas antisipatif dan keunggulan responsif memadai. Ketika kerusuhan terjadi sesudah pemilu, ada tuduhan “negara zalim dan kejam”. Pada akhirnya, informasi intelijen dan tindakan cepat Polri membongkar kotak Pandora bahwa ada “pemain” ingin mengacaukan negara. Tensi opini “negara zalim” pun menurun.
Saat Papua bergolak, spekulasi berkembang, separatisme tak terbendung lagi. Faktanya, gejolak kembali mereda. Ketiga institusi negara (BIN, Polri, TNI) berkolaborasi dan bertindak cepat. Bandar konflik kembali gigit jari karena manuver Beni Wenda—terbang dari London, singgah di negara tertentu sebelum akhirnya berlabuh di Pasifik Selatan untuk menyukseskan kekacauan di Papua—ibarat menabur garam di laut.
Ketiga, pluralisme ruang publik ternyata menjadi keunggulan tersendiri bagi stabilitas sosial-politik. Wacana media dan aksi jalanan yang beragam justru memustahilkan adanya narasi tunggal dalam beragam gangguan. Kemajemukan ruang publik memunculkan turbulensi, tetapi secara simultan juga menyediakan stabilisator otomatis. Pemain kerusuhan yang meraup untung dari gejolak politik hanya berhasil apabila ada metanarasi yang begitu hegemonik, karena dengan begitu, emosi sosial masyarakat dengan mudah terbakar dan menjelma menjadi revolusi seperti dalam Revolusi Bolshevik 1917 yang bermula dari mogok buruh.
Lebih jauh soal kemajemukan ruang publik, barangkali polemik KPK contoh yang sepadan. Sejak dibentuk 2002, melalui UU 30/2002, KPK banyak berjasa.
Tentu bukan soal jumlah uang negara yang diselamatkan, melainkan soal merawat harapan rakyat yang terluka dengan kemiskinan struktural karena awetnya korupsi dalam struktur politik dan birokrasi. Namun, ada rumor bahwa oknum tertentu bermain politik dengan kewenangan luar biasa yang melekat pada posisinya sebagai pejabat antikorupsi. Rumor tentang “bisnis sprindik” (surat perintah penyidikan) sempat berkembang beberapa tahun lalu—meski dibantah resmi oleh institusi!
Ada lagi selentingan, “kelompok Taliban” menguasai arena penyidikan di lembaga itu. Istilah “Taliban”— bermakna sangat terbatas dan kiranya tak ditafsir begitu liar—mengacu pada sejumlah oknum yang karena “terlalu religius” sehingga mereka menjadikan perang terhadap korupsi sebagai “jihad pribadi” untuk cita-cita khilafah sekaligus dendam politik.
Saat yang sama, opini berkembang bahwa oknum di DPR bermain di balik revisi UU KPK untuk membatasi langkah institusi dalam memburu koruptor. Demokrasi hidup dari diskursus publik yang subur macam ini. Maka, biarkanlah opini itu menjadi pekerjaan rumah sekaligus taruhan integritas pimpinan KPK baru ke depan.
Posisi pemerintah
Dalam situasi yang fenomenal macam ini, ada keputusan politik yang barangkali harus dipahami melampaui imajinasi dan ekspektasi pribadi. KPK adalah lembaga yang dikelolah manusia, maka perlu pengawasan. Siapa yang mengawasi? Ini yang mesti menjadi konsen publik. Jangan sampai KPK sulit bergerak karena yang mengawasi adalah mereka yang justru layak diawasi. Pengawasan itu niscaya karena pejabat KPK adalah manusia yang berpeluang melakukan abuse of power.
Betul, kita terjebak dalam teori kemungkinan. Itu bukan soal. Seperti ketika kalau kita menolak badan pengawas, lantas siapa yang mampu menegasi kemungkinan adanya politisasi kewenangan KPK yang justru mengancam survival demokrasi? Sebagai pranata, KPK adalah superbody, tetapi orang di dalamnya bukan superman. Saya mau menengarai bahwa relativisme kemanusiawian memaksa kita terus terjebak dalam teori kemungkinan. Kepastian hanya ada ketika keraguan menjadi kenyataan atau dugaan menjadi fakta empirik.
Untuk itu, barangkali tiga usul ini perlu. Pertama, pemerintah sebagai “representasi negara” harus terus berada di tengah, sebagai kekuatan sentripetal yang merawat keragaman ruang publik yang berpotensi terbelah secara pragmatis. Konsekuensinya, sinergi antara institusi negara yang relevan dan pemerintah adalah kekuatan stabilisatoris di tengah guncangan yang ada.
Ketiga, untuk jamin penegakan hukum bebas dari segala bentuk intervensi, masyarakat sipil adalah kekuatan fundamental —wadah roh demokrasi hidup (Diamond, 2008). Negara harus terus menjamin kebebasan sipil dan hak politik bagi tiap warga negara sambil tetap tegas dalam menyikapi para begundal yang menjadikan “kebebasan demokratik” sebagai kuda Troya untuk mengacaukan negara.
Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar