Arah Kebijakan Energi Jokowi
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah terpilih. Pasca-pelantikan Presiden dan Wapres, 20 Oktober, pemerintah dihadapkan pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Pemerintahan Jokowi harus mampu bergerak di tengah impitan ekonomi global, yang masih dihantui risiko ketidakpastian. Ketidakjelasan kebijakan ekonomi dan moneter Amerika Serikat, perang dagang AS-China, dan dinamika geopolitik di Timur Tengah menjadi tantangan Jokowi-Amin mengelola ekonomi Indonesia.
Amanat UU No 30/2007 tentang Energi yang meletakkan paradigma sumber daya energi sebagai modal pembangunan nasional telah dijabarkan dalam PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Pengejawantahan paradigma energi harus menjadi landasan dan arah pelaksanaan kebijakan energi di sektor migas, minerba, kelistrikan, dan energi terbarukan pada era pemerintahan Jokowi lima tahun mendatang. Dalam konteks tantangan risiko resesi ekonomi global dan kebutuhan energi domestik yang terus meningkat, implementasi menjadi langkah strategis yang harus direalisasikan.
Tekanan ekonomi dan politik ada di depan mata. Imbas terhadap kinerja perdagangan dan prospek permintaan komoditas global tidak terhindarkan.
Kebijakan-kebijakan normatif tanpa bobot terobosan strategis perlu dijauhkan dari basis kerja era kabinet Jokowi jilid dua. Jangan sampai muncul business as usual. Bahkan, diperlukan keberanian menghapus berbagai kebijakan populis jangka pendek. Tanpa terobosan kebijakan akan memunculkan potensi lemahnya ketahanan energi di Indonesia.
Ke mana mestinya arah terobosan kebijakan energi pemerintahan Jokowi jilid dua?
Sektor migas
Era kejayaan minyak Indonesia telah habis. Sebaliknya, konsumsi minyak untuk kebutuhan transportasi, industri, dan kelistrikan justru meningkat tajam. Dewan Energi Nasional memproyeksikan kebutuhan bahan bakar minyak mencapai 1,76 juta barel per hari (bph) pada 2025.
Di sisi lain, kemampuan maksimal memproduksi minyak, termasuk dengan penerapan teknologi enhanced oil recovery (EOR), hanya 568.000-676.000 bph pada 2025-2030. Namun, SKK Migas masih optimistis dengan skenario capaian 700.000-800.000 bph pada 2025-2030.
Sebaliknya, kemampuan produksi BBM domestik lewat program refinery development masterplan (RDMP) Pertamina sampai 2025 baru sebatas 1,2 juta bph. Kesenjangan antara kebutuhan pemakaian dengan produksi minyak mentah dan BBM domestik akan terus membesar. Harus diakui, impor minyak mentah dan BBM akan meningkat 25-50 persen dari kondisi sekarang. Kondisi inilah yang mendorong defisit neraca perdagangan semakin besar.
Dengan berakhirnya kejayaan migas, pemerintah harus berani merelaksasi tekanan atas target pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) dari migas. Bagi pemerintahan Jokowi, yang harus dikedepankan bukan lagi negara mendapatkan besarnya bagi hasil (split), melainkan lebih diarahkan agar proyek migas dapat beroperasi.
Sikap merelaksasi tekanan sebatas mengejar PNBP dari migas harus konsisten dilakukan. Salah satunya dengan merealisasikan beberapa plan of development (POD) yang masih dalam proses. Juga, termasuk temuan-temuan teknis (technical discoveries) yang selama ini dinilai tidak ekonomis oleh kontraktor atas alasan bagi hasil yang dinilai kurang atau tidak menguntungkan. Memproduksikan migas untuk memenuhi serapan di dalam negeri jauh lebih bermanfaat dari sisi ketahanan energi dan solusi mengatasi defisit neraca perdagangan daripada tetap menahan migas dalam bumi.
Kuasai cadangan
Terobosan lain setelah berakhirnya kejayaan minyak bumi adalah pemerintah harus berani memberi kebebasan kepada kontraktor migas untuk menentukan pilihan jenis kontrak, baik gross split atau kontrak production sharing contract. Bukan seperti saat ini, di mana keseluruhan kontrak baru berlaku dalam bentuk gross split. Dengan pilihan kontrak, diharapkan investasi di sektor migas semakin menarik dan naik.
Langkah Jokowi menguasai cadangan berbagai blok migas di luar negeri patut diapresiasi. Langkah ini harus didukung penuh, khususnya oleh Pertamina atau BUMN lainnya. Penguasaan blok migas di luar negeri menjadi salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam mengatasi masalah impor minyak bumi Indonesia.
Lewat langkah strategis inilah volume impor minyak akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia. Dalam jangka menengah dipastikan akan meringankan defisit neraca perdagangan Indonesia.
Terobosan strategis lainnya, pembangunan infrastruktur migas, terutama kilang minyak dan pipa-pipa transmisi gas, harus diupayakan terealisasi lima tahun ke depan. Sama seperti jalan tol, jembatan, dan pelabuhan, infrastruktur migas semestinya dibebaskan dari beban keekonomian sehingga bisa segera direalisasikan.
Langkah kebijakan Jokowi memperkuat kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia harus terbangun di sektor migas. SDM Indonesia di bidang migas terbukti telah berperan aktif dan berprestasi di berbagai perusahaan atau industri migas di luar negeri. Potensi memanfaatkan pengalaman para ahli migas Indonesia baik yang tinggal di Indonesia maupun sebagai diaspora terbuka lebar melalui Asosiasi Profesi Komunitas Migas.
Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan (panas bumi, air, minihidro, bioenergi, surya, angin, dan gelombang laut) hingga 443 gigawatt (GW). Bahkan, studi Institute for Essential Services Reform (IESR) 2019 menemukan potensi pembangkit listrik surya atap bangunan rumah 655 GW dan potensi panas bumi 25 GW. Namun untuk dapat mencapai target 23 persen energi terbarukan pada 2025, dibutuhkan upaya keras menarik investasi.
Dalam lima tahun terakhir, investasi di bidang energi terbarukan mengalami stagnasi dan cenderung di bawah target rencana investasi ESDM. Rata-rata investasi energi terbarukan pada 2015-2018 baru mencapai 1,368 miliar dollar AS per tahun. Ini pun lebih dari 75 persen investasi berasal dari sektor panas bumi yang telah berlangsung 5-10 tahun lalu. Semestinya, untuk memenuhi target 23 persen energi terbarukan, investasi yang dibutuhkan 6-10 miliar dollar AS per tahun.
Dengan kondisi sektor energi terbarukan saat ini, fokus mobilisasi investasi harus menjadi prioritas pemerintahan Jokowi jilid dua. Untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan, bagaimanapun dibutuhkan investasi BUMN dan swasta. Bahkan, diperkirakan hampir 70-80 persen kebutuhan investasi justru akan berasal dari sektor swasta.
Target bauran energi
Untuk mencapai target bauran energi terbarukan, pemerintahan Jokowi harus berani mencabut dan memperbaiki kualitas kebijakan dan regulasi yang menghambat investasi di sektor energi terbarukan. Mengurangi risiko investasi dapat dilakukan melalui instrumen fiskal dan finansial, serta memberikan harga jual-beli tenaga listrik yang memadai sesuai kaidah bisnis yang wajar.
Pemerintah harus berani memanfaatkan APBN untuk menarik investasi. Dengan kemampuan APBN yang terbatas, optimalkan APBN untuk menyediakan insentif pengembangan energi terbarukan.
Viability gap fund (VGF) menjadi salah satu instrumen untuk menutup selisih harga listrik energi terbarukan dengan biaya pokok pembangkitan PLN setempat.
Sektor pertambangan yang langsung terkait energi adalah sektor pertambangan batubara. Pertumbuhan izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi demikian cepat. Konsolidasi nasional untuk mengendalikan jumlah pelaku usaha pertambangan harus dilakukan segera. Terpisahnya wewenang kontrol pemerintah pusat dan daerah dalam mengendalikan IUP mendesak diselesaikan dalam tataran teknik.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai kementerian teknik yang bertanggung jawab atas pengelolaan batubara diharapkan berada di depan dalam konsolidasi di tengah tekanan politik daerah yang berkepentingan atas eksistensi operasi IUP. Tanpa konsolidasi nasional, pemerintah akan menghadapi masalah kerusakan lingkungan di wilayah usaha pertambangan.
Untuk mempercepat nilai tambah melalui dimethyl ether (DME) harus diletakkan perhitungan detail teknik dan keekonomian. Jangan sampai DME sebatas wacana yang diangkat oleh berbagai kementerian tanpa perhitungan.
Harus diakui, pemerintah di awal membangun industri pertambangan batubara tidak memiliki road map pengelolaan batubara sebagai energi. Indonesia sebagai eksportir batubara terbesar di dunia (steam coal), menurunnya persentasi domestic market obligation (DMO), serta tidak mudahnya memperbesar serapan batubara dalam negeri menjadi indikasi bahwa selama ini peran batubara sebatas revenue driver dan bukan economic booster.
Untuk memperkuat ketahanan energi, pemerintahan Jokowi jilid dua harus berani membuat terobosan. Menunda setiap langkah kritis hanya akan berisiko pada ketahanan energi Indonesia ke depan.
Singgih Widagdo ; Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar