KONFLIK ACEH
Antara Etnonasionalis dan Jihadis di Aceh
Beberapa waktu lalu, Aceh kembali bergolak dengan ditembaknya segerombolan kelompok kekerasan bersenjata Abu Razak oleh polisi (19/9/2019). Pada saat bersamaan marak beredar video ancaman dari kelompok Yahdi Ilar Rusydi melalui media sosial yang meneror penduduk non-Aceh untuk angkat kaki dari bumi ”Serambi Mekkah” sebelum 4 Desember 2019.
Kemunculan kedua kelompok ini telah merobek jalinan perdamaian yang telah mulai terajut di Aceh setelah ditandatanganinya Nota Kesepahaman Helsinki 2005 dan ratifikasinya dalam bentuk UU No 11/2006.
Kelompok etnonasionalis
Setelah Perjanjian Helsinki (2005) dan UUPA (2006), banyak elemen GAM kecewa dan menolak masuk Komite Peralihan Aceh (KPA). Mereka menganggap parpol bukan medan juang. Para elite mantan GAM dapat posisi nyaman sebagai orang kaya baru: gubernur, bupati, wali kota, anggota parlemen lokal (provinsi, kabupaten/ kota), dan sebagian lain menjadi kontraktor (Aspinall, 2009).
Namun, banyak mantan prajurit bawah yang lalu membentuk pasukan-pasukan sendiri dengan panglima-panglima sagoe (wilayah) sebagai pimpinan, seperti kelompok Ayah Banta, Din Minimi, Din Robot, Abu Razak, Gambit, Popaye, dan Rebon.
Terbiasa dengan situasi konflik dan perang, mereka menyambung tradisi intimidasi, penculikan, dan bunuh-membunuh antarsesama mantan GAM (Jones, 2016). Kelompok KKB etnonasionalis ini sering merusak perdamaian.
Elemen-elemen etnonasionalis pasca-GAM muncul karena kecewa atas situasi Aceh yang tak menguntungkan bagi rakyat dan para mantan kombatan. Mekanisme reintegrasi yang tak jelas mengakibatkan kekecewaan yang kian menggumpal di tingkat bawah organisasi mantan kombatan ini.
Sebagai organisasi yang masih solid, mantan kombatan ini lalu urung bubarkan diri dan justru mengkristal dalam bentuk KKB. Kelompok-kelompok ini kian hari kian banyak diikuti generasi baru GAM pasca-2006, didukung persenjataan sebagai modal intimidasi, menculik, dan merampok orang-orang kaya baru.
Kelompok jihadis
Setelah mencairnya GAM jadi KPA, beberapa elemen religius, seperti Majelis Pemerintahan GAM (MP-GAM) dan Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) di luar negeri, merespons Perjanjian Helsinki secara parokial dan mengasingkan diri (uzlah) ke hutan mukim di Bukit Jalin, Jantho, Aceh Besar, serta ke pegunungan Idi di Aceh Timur.
Pada 2009, kelompok ini melakukan teror terhadap orang-orang Amerika dan Eropa yang sedang membantu proses rekonstruksi Aceh pascatsunami 2004. Kelompok jihadis ini beradaptasi secara ideologis mengikuti gerakan transnasional Wahabi dari Timur Tengah.
Kelompok ini berhasil ditumpas, tetapi bibitnya terus tersebar ke seluruh Aceh. Pada 2017, bibit ini muncul dalam bentuk hybrid: kelompok Yahdi Ilar Rusydi di Idi, berjumlah sekitar 80 anggota dan baru-baru ini menyebarkan video ancaman ke warga non-Aceh untuk segera meninggalkan Aceh sebelum 4 Desember. Kelompok ini menamakan diri Tentara Islam Aceh Darussalam (TIAD).
Tahun 2018 muncul kelompok Abu Hamzah di Gunung Salak, perbatasan Aceh Utara dan Bener Meriah, dengan 59 pengikut bercadar dan celana cingkrang dan, tentunya, bersenjata. Kelompok ini lalu berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Aceh pimpinan Aulia cs untuk membuat aliansi ideologi takfiri yang kian menguat di ”Tanah Rencong”.
Kelompok jihadis ini lalu menarik kelompok-kelompok etnonasionalis lain, seperti Lam Teuba, Abu Granat, Teungku Rizal Kutablang, Gambit, dan mantan anggota Pasukan Peudeung Sawang, ke dalam aliansinya yang semakin gemuk.
Kelompok jihadis Aceh yang semula tak melakukan perampokan atau penculikan kini mulai memasukkan unsur-unsur kriminal ke dalam gerakannya. Jika kelompok fundamentalis agama dan kriminalitas bersatu, maka akan menghasilkan gerakan teroris yang sangat mengerikan; yang memadukan milenarianisme, intoleransi, dan kekerasan dalam bentuknya yang paling primitif.
(Al Chaidar ; Pengajar Program Studi Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar