Agama di Era Revolusi 4.0
Kemajuan teknologi informasi telah merangsek dalam gelombang-gelombang besar; didorong oleh kemajuan di bidang otomasi dan pertukaran data, meliputi sistem siberfisikal, internet untuk segala (internet of things), komputasi awan (cloud computing), dan komputasi kognitif.
Begitu besar dan berdampaknya perkembangan teknologi informasi ini sehingga orang menyebutnya sebagai Revolusi 4.0.
Ekses negatif teknologi
Sebelum lebih jauh membahas soal efek kemajuan teknologi informasi yang begitu dahsyat ini, marilah kita singgung adanya gejala yang menjadikan kemajuan teknologi ini justru dapat menimbulkan akibat negatif yang luar biasa, yakni gejala yang biasa disebut sebagai pengentalan identitas.
Pengentalan identitas kita ketahui sudah banyak memakan korban dalam setidaknya lebih dari lima tahun sampai satu dekade belakangan ini.
Memang hampir-hampir sudah merupakan sifat bawaannya, pengentalan identitas kekelompokan bermakna eksklusi orang lain yang tak berada dalam kelompok identitasnya. Kita mendapati bahwa gejala pengentalan identitas ini, selain telah melahirkan Brexit, juga memberi senjata mematikan bagi orang-orang yang mempromosikan populisme salah arah yang bersifat xenophobic, termasuk di dalamnya Donald Trump, Narendra Modi, Le Penn, dan Pauline Hanson.
Pada puncaknya, ketertutupan yang diakibatkan oleh pengentalan identitas ini telah melahirkan gejala baru yang lebih memperparah situasi pertukaran informasi—khususnya melalui media sosial—dalam bentuk apa yang disebut sebagai gejala kamar gema (echo chambers).
Bersama gejala lain yang disebut sebagai bias konfirmasi (confirmation bias), informasi yang amat subyektif dan menyesatkan pun menjadi sangat mudah untuk disebarkan dan dikonfirmasi berkali-kali, lalu dipercaya sebagai kebenaran, selama sejalan dengan keyakinan pribadi atau kelompok.
Lepas dari manfaat praktisnya, mesin algoritma yang diterapkan dalam teknologi media sosial juga telah berhasil memerangkap manusia hingga menjadikannya terkotak-kotak dalam rezim informasi dan pengetahuan yang monolitik. Puncaknya adalah saat setiap orang atau kelompok memiliki ”kebenaran- kebenaran”-nya sendiri yang dipercaya mati-matian meskipun itu sesungguhnya salah. Inilah yang kemudian disebut sebagai gejala post-truth.
Dalam era post-truth, bukannya meyakini kebenaran, orang justru membenarkan keyakinan. Repotnya, terkait dengan ini, ada suatu kecenderungan psikologis yang menyebabkan daya destruktif media sosial ini menjadi berlipat ganda. Inilah yang disebut sebagai gejala disinhibition effect.
Orang-orang yang tadinya introver pun tiba-tiba mendapat kesempatan mengeluarkan semua unek-uneknya dan memberondongkan pesan-pesan (messages) sensasional secara relatif anonim, yakni tanpa harus menampilkan diri dan menanggung risiko malu atau ketakutan mendapatkan respons yang tidak menyenangkan, seperti dalam komunikasi tatap muka atau bentuk-bentuk komunikasi lain yang terbuka.
Prinsipnya, I post (di media sosial) therefore I am. Dan, sering kali bentuknya bisa sangat ekstrem, yakni dengan memaki-maki dan mengeluarkan kata-kata kasar, bahkan ujaran kebencian yang bukan alang kepalang.
Faktor agama
Campuran semua faktor dan gejala ini akhirnya menjadi ramuan yang mematikan dengan masuknya faktor agama. Kenapa? Karena persoalan agama masuk menusuk ke dalam jaringan psikologi manusia, ke dalam lapisan emosinya yang paling dalam. Bahkan, saya ingin mengatakan bahwa faktor agama masuk ke dalam psikologi ketakutan manusia akan kematian dan nasibnya setelah itu: manusia, yang oleh Heidegger disebut sebagai a being unto death.
Agama yang salah satu unsur utamanya adalah eskatologi dan aspek penyelamatan dari ”siksa pedih kekal abadi” di alam akhirat menjadikan manusia panik untuk memastikan bahwa dia adalah seorang pengikut agama yang setia dan berada di jalan yang benar. Dan, kebenaran dan kesetiaan itu harus diungkapkan dalam (ultra) ortodoksi yang, umumnya, cenderung melahirkan eksklusivisme keagamaan yang ekstrem.
Maka, semua ramuan era post-truth, dalam bentuk echo chambers, confirmation bias, dan disinhibition effect serta pengentalan identitas, bercampur dan bereaksi menimbulkan ledakan kecurigaan dan permusuhan antar-berbagai kelompok keagamaan. Pada saat yang sama, umat tak lagi merasa membutuhkan ulama yang khusus/ahli dalam belajar agama. Maka, ustaz-ustaz yang tidak memiliki kualifikasi ulama banyak bermunculan karena kebutuhan ini.
Parahnya, ustaz-ustaz ini pun masuk ke dalam berbagai kelompok yang terbagi dalam identitas-identitas yang telah telanjur mengental sedemikian.
Lebih parahnya lagi, tak sedikit orang yang merasa cukup dengan belajar agama melalui internet dan media sosial. Tanpa mengatakan bahwa sumber- sumber belajar agama yang satu ini tidak bermanfaat, minus pengetahuan dasar tentang agama orang bisa tersesat dalam belantara informasi yang, tak sedikit di antaranya, adalah informasi sampah.
Kombinasi antara merosotnya kebutuhan terhadap ulama otoritatif, munculnya internet sebagai sumber belajar agama, hilangnya kepakaran, fenomena post-truth, dan pengentalan identitas keagamaan telah membuka kemungkinan yang amat besar bagi konflik di antara berbagai kelompok.
Beberapa kasus kerusuhan serius di berbagai belahan dunia terjadi karena berita yang tidak diselidiki terlebih dahulu kebenarannya telah telanjur tersebar luas.
Di sisi lain, tata pencarian dan penyampaian informasi yang selama ini diwakili oleh media-media massa konvensional, seperti koran, majalah, dan televisi, yang masih bersandar pada keahlian, kejujuran, serta prinsip check and recheck telah memudar dan digantikan dengan media sosial. Media sosial ini diisi oleh orang-orang tanpa keahlian, tak jarang juga dengan niat buruk, semua orang memiliki akses pada informasi—bahkan memproduksi informasi bohong—dan media penyebarannya ke masyarakat luas.
Hal ini lebih diperburuk dengan kecenderungan sebagian media arus utama yang tak jarang mendasarkan beritanya pada kumpulan informasi dari sumber-sumber media sosial yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan segala kelebihan dan manfaatnya, demokratisasi informasi yang lahir berkat internet dan teknologi digital ini telah menipiskan rasa saling percaya (trust) serta mengancam kehidupan berdampingan secara toleran dan penuh damai. Di satu sisi, ini memang esensi demokrasi, yakni sebagai faktor yang menggerogoti peluang bagi sistem-sistem totalitarian dan hegemonik.
Namun, pada saat yang sama, suatu masyarakat atau negara juga tak mungkin bisa bertahan dengan trust yang terlalu tipis di antara warganya. Bukan saja pemerintahan kuat memang tetap diperlukan, trust pun bukan cuma soal penguatan negara.
Seperti antara lain diungkapkan Fukuyama, trust adalah persoalan penguatan masyarakat madani vis a vis kemungkinan berkembangnya negara otokratik. Maka, seninya selalu adalah untuk menghindarkan keadaan- keadaan ekstrem.
Masyarakat tuna-trust tak akan memiliki ikatan kekelompokan, yang dengan amat tepat diidentifikasi oleh Ibn Khaldun—pemikir Islam-Spanyol abad ke-14 dan penulis Muqaddimah, yang dianjurkan untuk dibaca oleh pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, baru-baru ini—sebagai ’ashabiyah. Menurut Ibn Khaldun dan para pemikir kesejarahan dan sosiologis modern yang mengikutinya, trust adalah modal dasar bagi setiap kelompok masyarakat untuk survive dan berkembang.
Menata lalu lintas penyebaran informasi
Dengan demikian, tak sulit bagi banyak orang untuk melihat betapa masyarakat di negeri ini sekarang dipenuhi dengan ketegangan antarkelompok yang luar biasa: antarkelompok politik, kelompok etnik, kelompok keagamaan—antar dan intra-agama—dan sebagainya. Maka, situasi di Indonesia sekarang adalah seperti hutan di musim kemarau yang ekstrem. Kalau ada cabang yang bergesekan saja, kebakaran akan timbul. Tak pernah kecenderungan konflik di tengah masyarakat terasa sekuat sekarang.
Terasa luar biasa besar semangat bermusuhan satu kelompok dengan kelompok lain. Persoalan kecil pun dengan sangat mudah dibesar-besarkan, bahkan tak jarang persoalan dibuat-buat tanpa dasar sama sekali selain sekadar sebagai bahan penyulut konflik. Masyarakat kita pun jadi sasaran empuk misinformasi dan disinformasi. Tanpa adanya langkah-langkah serius yang diambil oleh pemerintah untuk menata lalu lintas penyebaran informasi di masyarakat, dikhawatirkan suatu saat keadaan bisa terlepas di luar kendali.
Terlalu banyak preseden dalam sejarah modern betapa konflik kekerasan, bahkan perang saudara di antara suatu komunitas, di dalam dan luar negeri, mudah dieskalasi ketika kebencian antarkelompok telah menyebar luas. Cukup kiranya kita pelajari kasus konflik Ambon, perang saudara di Lebanon, ataupun perang Suriah, yang reperkusinya masih terasa sampai sekarang.
Pemicunya lebih sering adalah masalah-masalah yang terbatas dan lokal, seperti tabrakan kendaraan yang melibatkan dua kelompok berbeda atau tak jarang juga operasi false flag dari pihak-pihak ketiga yang mempunyai agenda jahat.
Kejadian-kejadian itu kemudian meledak di luar kendali meski awalnya bersifat lokal. Akan tetapi, kemudian menyeret pihak-pihak yang memiliki kepentingan atau mendapatkan jalan untuk memanipulasi kelompok-kelompok yang berkonflik demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Termasuk pemerintahan-pemerintahan otoritarian, kelompok- kelompok militer di pemerintahan, kelompok-kelompok politik, ataupun kelompok radikal terorganisasi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Maka, tentu tetap harus dalam bingkai konstitusi dan pemeliharaan HAM, pemerintah kiranya perlu mengambil tindakan-tindakan lebih sigap dan tegas untuk menerapkan aturan-aturan yang berlaku demi menghindarkan negeri ini dari dicabik-cabik oleh konflik kemasyarakatan yang tidak terkendali. Yang tak kalah penting adalah pengembangan pendidikan agama yang menekankan pada keberagaman dan keterbukaan, serta pengembangan daya kritis dan kemampuan literasi media sosial.
Pengembangan minat dan daya baca, yang memungkinkan menambah kekayaan sumber informasi, adalah salah satu langkah yang mutlak dalam konteks ini.
(HAIDAR BAGIR, Pendiri Compassiate Action Indonesia; Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar