Saga KPK
Cerita kontroversial yang sekaligus mengandung kepedihan dan kemarahan (saga) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terus berlanjut. Kehebohan dan kegaduhan diduga bakal terus terjadi meski DPR dan pemerintah telah menyepakati revisi dan menetapkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ”baru”.
Di satu sisi, agaknya bisa dipahami alasan DPR, Presiden Jokowi, dan kalangan masyarakat tentang perlunya revisi UU KPK yang telah berusia 17 tahun. Argumennya, banyak perubahan terjadi dalam kurun itu sehingga UU KPK juga perlu disesuaikan.
Ada pula argumen terkait internal KPK yang dapat dipahami. Komisi ini dianggap terlalu kuat (superbody). Dengan kiprahnya yang tidak bisa diawasi, KPK dianggap menimbulkan ketakutan banyak pejabat publik untuk mengambil inisiatif kebijakan dan program pembangunan.
Tak kurang problematisnya, administrasi internal KPK berbeda dengan lembaga atau aparatur negara lain. Pegawainya kebanyakan bukan aparatur sipil negara (ASN) karena itu lebih bergaya LSM dengan semacam serikat pekerja yang disebut ”Wadah”. Gaji mereka pun jauh lebih besar dibandingkan dengan pegawai komisi dan ASN lain.
Selanjutnya, heboh pula tentang gejala perilaku dan penampilan kalangan KPK yang menunjukkan kecenderungan ideologi tertentu yang tak kompatibel dengan ideologi negara dan bangsa Indonesia. Gejala ini disebut berimplikasi pada sikap tebang pilih KPK dalam menghadapi figur-figur yang diduga terlibat korupsi.
Argumen dan persepsi tentang KPK seperti itu agaknya sudah cukup lama menyebar di masyarakat sehingga banyak di antara mereka yang memandang perlu memperbaiki KPK melalui revisi UU KPK. Ini terindikasi dalam jajak pendapat Kompas (16/9/2019), di mana lebih banyak responden (44,9 persen) menyetujui revisi UU KPK. Mereka yang menolak revisi lebih sedikit (39,9 persen). Jika mayoritas publik—setidaknya responden jajak pendapat Kompas—mendukung revisi UU KPK, mengapa kontroversi tetap terjadi di kalangan publik?
Kontroversi dan penolakan revisi UU KPK merebak ke mana-mana. Dalam pengamatan selintas, sebagian besar penentang revisi adalah mereka yang memberikan suara kepada Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019. Oleh sebab itu, dari mereka ini muncul suara, Presiden Jokowi ”telah mengkhianati” pemilihnya, yang ingin dia memimpin pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya sesuai janjinya.
Walhasil, saga KPK berpotensi merugikan Presiden Jokowi; fenomena ini dapat menggerus kepercayaan mereka kepada Jokowi. Namun, masih perlu dikaji apakah hal itu bakal mengurangi partisipasi mereka dalam pelaksanaan program pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin lima tahun ke depan.
Salah satu penyebab penggerusan kepercayaan itu adalah bahwa revisi UU KPK dilakukan terburu-buru dan diam-diam. Baik pihak DPR yang mengajukan revisi maupun Presiden Jokowi terlihat mengejar target agar revisi itu dapat diselesaikan sesegera mungkin. Ketergesaan yang sangat jelas terlihat ini tak sesuai dengan prinsip demokrasi soal perlunya keterbukaan. Dalam penetapan legislasi menyangkut kepentingan negara dan warganya, keterbukaan dan partisipasi publik adalah keniscayaan.
Namun, kenyataannya tak ada partisipasi publik. Tidak ada pertemuan dan dialog di antara representasi masyarakat sipil dan kampus selama proses revisi UU KPK dengan DPR dan pemerintah. Pihak DPR menyatakan tidak lagi perlu mendengar suara publik, sementara pemerintah sejak semula tidak jelas sikapnya tentang perlu atau tidak perlu melibatkan publik untuk menyatakan pendapat mereka. Akhirnya, memang pemerintah tidak meminta pendapat masyarakat.
Sekali lagi, dilihat dari segi timing dan prosedur revisi UU KPK tersebut, UU KPK baru sangat berpotensi untuk diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tidak ada jaminan UU KPK yang baru itu akan lolos di MK. Dengan demikian, tarik tambang di antara berbagai pihak terus berlanjut. Dalam pergulatan itu, boleh jadi pula KPK dengan pimpinan baru—yang bagi sebagian warga mencakup figur kontroversial—menuju ”limbo” yang membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi surut.
Lagi pula, dengan penekanan pada ”pencegahan” daripada ”penindakan”, KPK baru nanti kian menjauh dari harapan masyarakat pada umumnya. Hasilnya, korupsi boleh jadi semakin merajalela, baik di tingkat nasional maupun daerah, dengan melibatkan pejabat publik dan pihak swasta. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar