Hikayat Sengkuni dan
Kresna
Seperti kisah
pewayangan, di panggung politik semua orang memiliki peran. Ada yang berperan
seperti Sengkuni. Ada pula yang berperan seperti Kresna.
Oleh : TRIAS KUNCAHYONO
KOMPAS, 5 Agustus 2019 13:16 WIB
Delapan kuda menarik
kereta perang yang dinaiki Batara Kresna sebagai sais dan Arjuna. Itulah Patung
Kuda Arjuna Wijaya. Patung itu berdiri gagah, kokoh, dan menarik perhatian di
ujung selatan Jalan Merdeka Barat.
Patung Kuda Arjuna
Wijaya adalah patung karya maestro pematung dari Bali, Nyoman Nuarta. Ide
pembuatan patung itu dari Presiden Soeharto dan dibangun pada 1987. Pada zaman
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, tahun
2015, patung tersebut direnovasi.
Mereka—Pandawa dan
Kurawa—berperang, saling bunuh pula dengan cara yang sangat keji, demi yang
namanya Kerajaan Hastinapura. Padahal, mereka satu saudara. Satu darah; darah
Kuru. Satu anak bangsa.
Akan tetapi, ada yang
melihat bahwa Bharatayudha memberikan pelajaran tentang nilai-nilai kejujuran,
kesetiaan, persaudaraan, perjuangan membela kebenaran, dan kesediaan memaafkan
demi kebaikan bersama. Kecuali itu, epos ini dengan jelas menggambarkan bahwa
manusia yang berbudi luhur juga memiliki kelemahan; sementara yang berwatak
buruk juga memiliki sisi baik. Tak ada manusia yang sempurna. Bharatayudha
menggambarkan tabiat, karakter manusia.
Salah satu tokoh yang
sangat berperan dalam Bharatayudha adalah Batara Kresna, Raja Dwarawati yang
adalah titisan Batara Wisnu. Kresna bisa disebut sebagai auktor intelektualis
dalam Bharatayudha. Auktor intelektualis inilah yang, menurut Bertens, berarti pencetus
ide, orang yang untuk pertama kali mengemukakan suatu pikiran atau rencana,
otak atau brain di balik suatu peristiwa.
Dari sini, jelas bahwa
maknanya tidak selalu negatif. Kresna adalah auktor intelektualis, dalam arti
yang tidak selalu negatif. Ini berbeda dengan Patih Hastinapura, Sengkuni, yang
juga seorang auktor intelektualis dalam arti yang serba negatif. Sengkuni yang
ketika muda bernama Harya Suman atau Raden Trigantalpati adalah tokoh yang
selalu membuat persoalan, yang menanamkan benih dengki-iri, penebar fitnah,
penebar pikiran negatif, dendam, dan juga nafsu angkara murka di dalam hati dan
pikiran orang-orang Hastinapura.
Sengkuni sejak
kelahirannya telah ditakdirkan membawa watak culas. Kelahirannya ditandai
dengan terusirnya seorang dewa dari kayangan. Dewa yang memang memangku sifat
culas, yaitu Batara Dwapara. Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan
lahirnya Harya Suman. Sengkuni tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka,
sepanjang hidupnya, ia telah berlaku mengipas segala bentuk bara angkara
sekecil apa pun menjadi berkobar liar menyambar-nyambar.
Tokoh ini pula,
Sengkuni, yang memprovokasi Raja Hastina, Duryudana, untuk menolak ajakan damai
Kresna. Sengkuni mendorong Duryudana memilih perang habis-habisan melawan
Pandawa untuk mempertahankan Kerajaan Hastinapura yang bukan haknya, dalam
Bharatayudha.
Sengkuni adalah
gambaran orang yang memiliki sifat drengki (dengki), yakni orang yang tidak
senang melihat orang lain senang dan berusaha untuk mencelakakannya. Dalam
kisah Bharatayudha, Sengkuni mati secara mengerikan dengan tubuh dicabik-cabik
oleh Bima. Dalam peribahasa Jawa dikatakan, Sapa nandur ngunduh, sapa nggawe
nganggo, ”siapa menabur angin akan menuai badai”.
Sementara Kresna,
syahdan menurut yang empunya cerita, adalah auktor intelektualis yang lain.
Dikisahkan, banyak ikut campur dan mengatur jalannya Perang Bharatayudha.
Dialah yang meminta Antareja, anak Werkudara kesatria Pandawa, menjilat jejak
kakinya sendiri sehingga mati. Antareja memang memiliki kesaktian bisa membunuh
orang dengan cara menjilat jejak kaki orang itu. Menurut Kresna, jika Antareja
terlibat dalam Perang Bharatayudha, perang itu akan selesai dalam sekejap.
Kresna pula yang
menyingkirkan Baladewa, kakaknya sendiri, dengan menyarankan agar Baladewa
bertapa di Grojokan Sewu. Sebab, kakaknya yang Raja Mandura itu sakti
mandraguna, sulit tertandingi, tetapi cenderung memihak Kurawa. Kresna-lah yang
mengatur strategi perang di pihak Pandawa, antara lain tentang siapa saja yang
diturunkan menjadi panglima perang. Misalnya, senopati Kurawa, yakni Resi
Bisma, harus dihadapi Srikandi, istri Arjuna.
Kresna jugalah yang menyebarkan
isu bahwa Aswatama, anak tunggal Pendita Durna dengan Wilutomo yang dikutuk
menjadi kuda, mati saat Durna menjadi panglima perang Kurawa. Batara Kresna
pula yang memerintahkan si kembar, Nakula dan Sadewa, untuk menemui Raja
Mandaraka Prabu Salya, kakak Dewi Madrim ibu Nakula-Sadewa, saat Salya menjadi
panglima perang Kurawa menghadapi Puntadewa, sulung Pandawa.
Yang dilakukan
Sengkuni adalah wujud dari praktik politik yang tidak berkeadaban. Sementara
yang dilakukan Kresna sebagai titisan Batara Wisnu adalah meredam, bahkan
menumpas nafsu angkara murka, melawan politik tak berkeadaban.
Politik tak
berkeadaban tujuannya adalah memanipulasi rakyat. Ketika cinta diri lebih kuat
dibandingkan dengan cinta kepada nusa dan bangsa, maka praktik politik yang
tidak berkeadaban itu banyak dilakukan. Seorang penulis asal Inggris, William
Hazlitt (1778-1830), mengatakan, mencintai kebebasan berarti cinta kepada orang
lain, mencintai kekuasaan berarti cinta kepada diri sendiri.
Demi kekuasaan, segala
cara akan dilakukan, segala taktik dan strategi diterapkan.
Semua itu dilakukan
demi yang namanya kekuasaan. Manusia bisa lupa diri ketika terbius akan
kekuasaan. Demi kekuasaan, segala cara akan dilakukan, segala taktik dan
strategi diterapkan. Kekuasaan adalah segala-galanya.
Di mata mereka yang
memiliki syahwat kekuasaan berlimpah-limpah dan menggelegak, ada keyakinan
bahwa dengan memegang kekuasaan, akan bisa melakukan apa saja; akan dapat
memperoleh apa saja. Mereka melihat ujung kekuasaan seperti melihat ujung
pelangi tempat bergantung ”sekeranjang emas”. Maka, benar yang dikatakan oleh Milan
Kundera, perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan
lupa.
Dalam banyak teori
sosial dikatakan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang memiliki
hasrat dan keinginan abadi untuk mengejar kekuasaan. Hasrat dan keinginan itu
baru akan berakhir jika kematian telah menjemputnya. Dengan kata lain, bahwa
manusia ditakdirkan untuk memiliki nafsu kekuasaan. Hanya persoalannya adalah
bagaimana mengendalikan nafsu, syahwat kekuasaan itu.
Nafsu, syahwat
kekuasaan, memang harus dikendalikan agar tidak seperti kuda liar. Nafsu inilah
yang pada gilirannya menimbulkan kegaduhan politik. Kita belum lama merasakan,
mengalami lewat media sosial tentang kegaduhan itu. Kegaduhan itu dibikin,
dibuat, disengaja, untuk suatu tujuan: kekuasaan.
Pada saat itu, tidak
ada yang bicara soal etika, soal moralitas, etika berpolitik, moralitas
berpolitik. Mengapa? Sebab, dalam politik kekuasaan—yang dalam hal diartikan
sebagai politik untuk semata-mata memburu kekuasaan—maka nyaris dalam politik
tidak ada moralitas lagi. Padahal, politik adalah soal hati.
Barangkali benar
kiranya apa yang dahulu disampaikan oleh Khalil Gibran (1883-1931): ”Tahukah
engkau siapakah orang yang akan mendatangkan bencana bagi bangsamu? Mereka
adalah orang-orang yang tidak pernah menyebar benih, tidak pernah menyusun
bata, serta tidak pernah menenun kain, tetapi menjadikan politik sebagai mata
pencarian.”
Begitulah panggung
politik. Di panggung politik, semua orang memiliki peran. Ada yang berperan
seperti Sengkuni. Ada pula yang berperan seperti Kresna. Mungkin ada yang
berperan sebagai Semar, atau Gareng, atau Petruk, atau Bagong, atau Togog, atau
Mbilung. Atau bahkan berperan sebagai dalang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar