SISTEM PENDIDIKAN
Belajar dari Pendidikan di Finlandia dan China
Finlandia sudah lama menjadi kiblat pendidikan. Sementara China muncul sebagai kiblat pendidikan baru, setidaknya di Asia. Dalam banyak hal, orientasi dan paradigma pendidikan China berbeda secara diametral dengan Finlandia, setidaknya hingga beberapa tahun terakhir ini.
Model Finlandia hampir-hampir adalah antitesis model China. Pertama, model Finlandia lebih menekankan kemampuan berpikir kreatif, yang didasarkan pada model belajar yang berorientasi pada kesenangan belajar, membangkitkan rasa ingin tahu, dan kemampuan belajar mandiri siswa.
Kedua, Finlandia dikenal sebagai negara yang bertengger di puncak daftar negara-negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi. Warga Finlandia memberikan nilai penting pada faktor-faktor yang mendukung terciptanya lingkungan hidup yang kondusif bagi berkembangnya kebahagiaan: kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, pemerataan ekonomi, dan sebagainya.
Apa yang menyebabkan Finlandia dapat menjadi negara yang makmur sekaligus menjadi di antara negara dengan masyarakat yang paling bahagia? Apa hubungannya dengan model pendidikan yang diterapkan di negeri ini?
Finlandia dapat disebut sebagai negara yang memiliki skala prioritas yang lurus dalam hubungannya dengan paradigma pendidikan yang dianutnya. Tampak sekali ada kesadaran bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan akademik adalah lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yakni kebahagiaan lahir-batin.
Ini berbeda dengan negara-negara yang paling makmur sekalipun. Di negara-negara ini, pendidikan sering kali lebih bertujuan mencapai kemakmuran yang setinggi-tingginya, baik bagi individu-individu maupun masyarakat atau bangsa secara keseluruhan. Maka, kadang ditemui adanya negara-negara yang memiliki tingkat penguasaan kemampuan sains dan teknologi yang tinggi, tetapi terpuruk dalam urutan indeks kebahagiaan yang dicapainya.
Apa kelebihan sistem pendidikan di Finlandia? Dari segi pemahaman teoretis, apa yang menjadi kelebihan sistem pendidikan di Finlandia sebenarnya juga sudah menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) dunia pendidikan di Indonesia. Bedanya, di Finlandia pemahaman-pemahaman tersebut sudah diwujudkan dalam praktik-praktik yang konkret, sementara di sini tidak jarang masih ada pandangan-pandangan skeptis terhadap upaya-upaya pembaruan pendidikan yang coba diterapkan.
Sebut saja pembaruan kurikulum. Jika kita pelajari dan perbandingkan, sesungguhnya yang menjadi latar belakang pembaruan kurikulum yang melahirkan Kurikulum 2013 sangat paralel dengan model Finlandia. Kurikulum 2013 yang diperkenalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah nakhoda Mohammad Nuh masih mendapatkan penerimaan yang berbeda-beda. Sebagian disebabkan perbedaan paham, sebagian lain karena kekurangpahaman para kritikusnya akan pedagogi.
Pendekatan Tematik Terpadu yang diterapkan pada kurikulum SD, yang mengambil bahan-bahan ajar berbasis aktivitas (activity based), juga belum sepenuhnya dipahami.
Padahal, pendekatan ini diambil untuk mengubah orientasi kurikulum nasional dari penanaman kemampuan akademik berbasis teori dan hafalan (rote memorization) ke orientasi keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi (high order thinking skills), kreativitas, mendorong siswa menemukan sendiri pengetahuan yang dibutuhkannya (engagement), kemandirian, kerja sama, serta kemampuan dasar siswa (aptitude) dan sikap/perilaku (attitude) melalui pembelajaran yang bersifat kontekstual, hands on (praktik), sejalan dengan pola berpikir sintetik siswa (khususnya siswa SD).
Orang sering salah paham ketika menilai keberhasilan negara-negara maju terkait dengan masalah sistem pendidikan ini. Kita lupa bahwa kesuksesan dalam bidang-bidang yang terkait dengan sains dan teknologi itu sebetulnya merupakan hasil alami dari kuatnya dasar-dasar soft skills tersebut di atas.
Sebaliknya, manusia-manusia yang kemampuan akademiknya tinggi tidak jarang hanya didasarkan pada rote memorization dan hanya akan menonjol sebagai pekerja-pekerja dari proyek-proyek yang dirancang dan dikendalikan oleh manusia-manusia dengan soft skills yang tinggi. Inilah, antara lain, pelajaran-pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman Finlandia.
Beberapa hal lain yang merupakan features khas sistem pendidikan di Finlandia dan yang menjadikannya berhasil adalah perhatian luar biasa pada pendidikan dan pengembangan kemampuan guru, bahkan juga dalam menjadikan profesi keguruan sebagai salah satu profesi paling seksi bagi anak-anak muda Finlandia.
Orangtua dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya amat percaya kepada guru sehingga kadang tidak dianggap penting adanya performance appraisal bagi guru. Proses belajar lebih dipercayakan kepada guru. Tak ada silabus detail yang mengikat guru.
Selain itu, Finlandia tidak menerapkan sistem tes terstandardisasi (standardized test) yang bersifat seragam secara nasional seperti UN di Indonesia. Tes dilakukan oleh sekolah meski sampel soal-soalnya bisa saja disediakan pemerintah. Begitu pun tes terstandardisasi seperti ini baru dilakukan di jenjang SMA. Jadi, siswa benar-benar dibebaskan dalam berkonsentrasi pada belajar dan berkreasi serta mengembangkan rasa ingin tahu, tanpa perasaan terancam dan tertekan oleh tes-tes semacam ini.
Pendidikan Finlandia memang lebih berorientasi proses ketimbang hasil. Kenyamanan belajar siswa sangat diutamakan. Sebagai ilustrasi, PR hampir-hampir tak dikenal. Sesi istirahat pun diperbanyak, umumnya setiap 40 (empat puluh) menit. Tak jarang siswa malah dibiarkan memiliki waktu istirahatnya sendiri.
Kepercayaan (trust) antara pemerintah, lembaga pendidikan, guru, orangtua, dan siswa benar-benar digalakkan. Dengan demikian, berkembang prakarsa-prakarsa lokal yang luar biasa. Sebagai kelanjutan dari adanya kepercayaan pemerintah kepada sekolah, pemerintah lebih banyak menyerahkan kepada sekolah untuk menyesuaikan berbagai aspek pendidikan dengan perkembangan zaman. Jadi, bukan dengan menggonta-ganti kebijakan yang terkait dengan pendidikan (”ganti menteri ganti kurikulum”) seperti terjadi di sini.
Perkembangan mutakhir di China
Belakangan ini bahkan China sudah mulai mengoreksi paradigmanya. Selama ini, China menganut paradigma serba-spesialisasi. Ini diterapkan ketika ekonomi China masih berada pada tahap meniru dan mengejar kemajuan AS, Eropa, Jepang, dan Korea, hingga tahap ketika China sudah menapak sebagai pandu (leader) di bidang teknologi seperti sekarang ini.
Untuk menjadi pandu, China memang membutuhkan orang-orang dengan kapasitas generalis, yang menyusun perencanaan, yang lebih sadar sosial, punya kemampuan komprehensif atas masalah-masalah yang membutuhkan wawasan luas dan paham tentang masalah-masalah global.
Lebih dari itu, pendidikan yang melintasi spesialisasi ini akan memberikan produk-produk pendidikan China yang biasa disebut sebagai keterampilan-keterampilan abad ke-21 (21st century skills), termasuk kreativitas, kemampuan beradaptasi, berkolaborasi, berkomunikasi, berpikir kritis, kewiraswastaan, dan kecerdasan kultural, yakni kemampuan-kemampuan yang diperlukan di masa depan, yang dibayangkan sulit bisa diambil alih oleh komputer atau kecerdasan buatan.
Sebagian kini menambahkan juga aspek-aspek non-kognitif, khususnya kepemilikan karakter-karakter tertentu seperti ketekunan dan gairah (grit), kegigihan, ketahanan, dan sebagainya. Dan, ini berarti pendekatan multidisiplin. Mereka mulai menyadari bahwa memiliki cukup ahli teknik atau ilmuwan tidaklah cukup. Mereka butuh pemikir.
Maka, selain mengundang universitas-universitas AS dan Eropa untuk menanamkan liberal arts, di tingkat pendidikan dasar dan menengah di China saat ini pun mulai menjamur sekolah-sekolah model Finlandia, termasuk Finnish Waldorf School, yang sangat berorientasi pada antropologi model liberal arts.
Tak kurang dari 200 sekolah semacam ini sudah didirikan di China. Hal ini makin menunjukkan bahwa persoalan pendidikan adalah sesuatu yang kompleks dan butuh cara pandang yang integral dan holistik.
(Haidar Bagir ; Pendiri Compassiate Action Indonesia; Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar