Wali Kota Surabaya Pasca–Risma
Oleh: Freddy H. Istanto *)
GADUH Pilpres 2019 seolah melupakan bahwa Surabaya sebentar lagi juga harus menentukan siapa yang akan memimpin Surabaya. Pada 2020, kepemimpinan Tri Rismaharini sebagai wali kota Surabaya berakhir. Sisa waktu untuk menentukan siapa yang akan meneruskan tongkat estafet Risma harus sesegera mungkin dipersiapkan.
Wali kota Surabaya ke depan harus memiliki visi world class leader mengingat pada 2020 Surabaya memang kota berkelas dunia. Semangat melayani dengan hati dan nurani ada dari dalam diri sang pemimpin itu sendiri. Dari sudut pandang eksternal kadar integritas moral itu bisa dikritisi warga lewat rekam jejaknya, ketika pembacaan rekam jejak digital juga sudah mudah diakses di mana-mana.
Sejak pilkada menggunakan jalur parpol, sosok yang punya pemikiran dan sikap independen-lah yang diharapkan. Sudah banyak bukti bagaimana kepala daerah harus tunduk pada kepentingan-kepentingan parpol pengusungnya. Di sisi lain, kepala daerah dihadapkan pada banyak kepentingan dan tuntutan para pemangku atau stakeholder kota. Sikap independensi harus kuat dengan fokus menyegerakan kepentingan utama warga kota. Surabaya yang sudah masuk jejaring kota-kota dunia, tekanan dan kepentingan internasional juga dihadapi wali kota pasca-Risma. Surabaya butuh sosok yang berkelas dunia untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan global.
Globalisasi melahirkan era disrupsi. Ini akan menjadi tantangan berat bagi wali kota Surabaya ke depan. Kemajuan pesat di bidang teknologi digital tidak hanya menguntungkan karena kemudahan-kemudahan yang diciptakan. Tetapi juga punya dampak negatif yang memusingkan dan berlangsung dengan cepat pula. Dibutuhkan wali kota Surabaya yang kreatif sekaligus inovatif untuk menjawab tantangan-tantangan di masyarakat era milenial itu. Maka, wali kota Surabaya nanti harus punya mindset entrepreneur yang salah satunya adalah calculated risk-taker, berani mengambil keputusan dengan risiko terukur dan tidak mencari keselamatan diri dan kelompoknya saja.
Surabaya juga makin terjangkit virus kota besar dunia lainnya, yaitu kemacetan. Solusinya jelas transportasi masal kota. Ternyata masalah ini tidak semudah seperti konsep mengubah penggunaan minyak tanah ke elpiji. Problemnya tidak lagi pada tataran teknologi, tata kota, sarana dan prasarana kota, ekonomi, maupun aspek lainnya. Masalah utamanya adalah masalah sosial. Ketika warga kota sudah demikian dimanja oleh transportasi yang hadir di depan pintu rumah sampai ke tempat tujuan dengan murah, mudah, dan kapan saja, bisakah transportasi masal menjawab itu semua? Mengubah mindset dari kenyamanan individual menjadi kenyamanan bersama menjadi pekerjaan rumah wali kota Surabaya ke depan. Belum lagi masalah banjir yang belum tuntas diselesaikan.
Ketika infrastruktur Kota Surabaya mulai tertata baik ini, bagaimana dengan peningkatan kualitas manusianya. Mari kita amati, jalan raya menjadi cerminan bagaimana mentalitas warga kotanya. Wali kota ke depan perlu menggarap aspek pendidikan ini, bertanggung jawab meningkatkan kualitas manusia warga kota. Program Presiden Jokowi dalam aspek revolusi mental, detail penggarapannya ada di skala kota juga. Isu-isu nasional dan global, termasuk nilai-nilai kebangsaan, spiritualitas, relasi sosial antarwarga ketika masalah intoleransi menyeruak di mana-mana, peningkatan kualitas pendidikan menjadi catatan utama.
Livable-city, kota yang baik membutuhkan lingkungan yang sehat, aman, dan nyaman. Penghijauan Surabaya tidak perlu disebut lagi. Taman-taman karya Risma sudah aduhai. Warga kota sangat merasakan. Ketika Surabaya akhirnya membangun Patung Suroboyo untuk yang ketiga, serasa dicekik tuduhan kota yang tidak kreatif. Kota yang seolah tanpa kehadiran seniman dan disainer. Kota Surabaya yang tidak cuma kering dari seni urban, tetapi kota ini juga tidak mempunyai ekosistem berkesenian yang baik. Fakta menunjukkan seniman, desainer, dan pelaku-pelaku industri kreatif berhamburan ke kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Bali, bahkan ke mancanegara.
Surabaya punya kesejarahan kepahlawanan yang dahsyat, ketika semangat berani mati itu tercatat dalam sejarah dunia. Di antaranya, berhasil mengusir tentara KhuBilai Khan dan gagalnya sekutu melawan arek-arek Suroboyo. Catatan-catatan itu pada kota ini minim, bahkan nyaris tidak terbaca oleh kaum milenial. Mereka lebih paham dengan Orchard Road ketimbang Jalan Kembang Jepun. Mereka lebih suka drakor (drama Korea) ketimbang ludruk Kartolo.
Banyak warga kota ini yang asing pada kampung-kampung Kota Surabaya. Padahal, kampung Surabaya ini keren. Di sini terekam sejarah bagaimana arsitektur Jawa, arsitektur kolonial, dan arsitektur Tiongkok meramu jadi satu dengan budaya areknya. Budaya yang mengekspresikan keberagaman, keterbukaan, dan semangat pantang menyerah arek Suroboyo. Kampung ini menjadi destinasi wisata yang menjual ketimbang mal yang sudah selalu ada di kota-kota dunia.
Lalu, kota ini seolah lupa bahwa Surabaya ini kota maritim yang menyejarah. Kelebihan sebagai water-front city yang hanya dimanfaatkan untuk aspek ekonomi, dengan rentang pantai yang dominan untuk pelabuhan peti kemas. Kota pantai yang tidak pernah naik kelas untuk destinasi wisata.
Tulisan ini seolah catatan buruk sebuah kota yang suram, jawabnya tentu tidak. Surabaya sudah menjadi salah satu kota terbaik tidak hanya di Indonesia, tetapi sudah sering mendapat apresiasi tingkat dunia. Surabaya butuh keberhasilan Risma ini diestafetkan kepada sosok pimpinan yang punya visi ke depan menjadi kota kelas dunia. Punya integritas tinggi meningkatkan kualitas masyarakatnya agar Surabaya berperan signifikan bagi bangsa dan negara. Membina jejaring internasional tidak hanya dalam relasi ekonomi, tetapi juga semua aspek kemajuan kota. Kreatif dan inovatif dan menjadi role model pengembangan kota di Indonesia. Menciptakan peluang-peluang di semua aspek perkotaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan warga Kota Surabaya.
Anda tertarik menjadi wali kota Surabaya?
*) Dosen Program Studi Arsitektur-Interior Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar