Selasa, 09 Juli 2019

Taman Kota: Rekreatif atau Filosofis?

Sabtu 06 Juli 2019, 12:46 WIB

Pustaka

Taman Kota: Rekreatif atau Filosofis?

Miftahul Ulum - detikNews

Judul Buku: Taman-taman di Jawa; Pengarang: Denys Lombard; Penerbit: Komunitas Bambu, Januari 2019; Tebal: xii + 77 halaman

Denys Lombard, Sang Indonesianis kesohor yang sudah tidak diragukan lagi kualitas akademiknya. Popularitasnya pun tak usah dipertanyakan lagi baik bagi kalangan akademik Indonesia maupun internasional. Masterpiece-nya Le Carrefour Javanais atau yang lebih dikenal sebagai Nusa Jawa: Silang Budaya merupakan karya akademik terlengkap dan mendalam tentang Jawa yang sulit ditandingi. Mengingat keluasan tema dan periode yang dibahas mencakup pengaruh Barat, China, dan India bagi perkembangan budaya Jawa, dari sumber-sumber babad, maupun catatan asing, dan tentunya arsip kolonial. 


Taman-taman di Jawa, buku terbaru yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu ini seakan menjadi oase bagi penelitian tentang taman dalam sudut pandang budaya. Kiranya relevan dengan persoalan terkini tentang tata kelola kota yang seakan berlomba memperbanyak taman dan ornamen pendukungnya. Surabaya disulap menjadi kota yang "cantik" dengan permakan berbagai taman dan "penghijauan" yang diinisiasi oleh sang wali kota fenomenal Risma. Tidak kalah dengan Surabaya, kota-kota lain seperti Ibu Kota Jakarta, Bandung, dan kota-kota lain berlomba-lomba untuk membangun taman untuk memperindah kota.
Berbeda dengan taman-taman kota era kiwari, taman-taman di Jawa tempo dulu bukanlah sebuah ruang publik yang diperuntukkan bagi rakyat. Melainkan ruang private bagi raja dan koleganya untuk melepas penat dan mengisi ulang "energi" dari aktivitas keseharian. Taman memiliki makna tersendiri sebagai sebuah tradisi, sebuah seni arsitektur, dan filosofi hidup. Seperti Taman Sari yang terkenal di Yogyakarta, panggung yang berada di tengah Sumur Gumuling adalah tempat bertapa/bersemedi bagi raja untuk mendapatkan ilham dari dunia adikodrati yang dipercaya dalam batin orang Jawa.

Penelusuran melalui hal-hal "remeh" dan "ornamental" semacam ini yang menjadi ciri khas Denys Lombard dalam memandang suatu masyarakat dan kebudayaannya. Mentalitas yang menjadi palung terdalam manusia Jawa dilihat dari celah-celah sempit karya seni berupa taman. Seperti yang ia lakukan dalam karyanya Nusa Jawa, ia melihat kegiatan ospek (dan sejenisnya) di kampus maupun sekolah sebagai sebuah perlakuan diskriminatif dan rasis oleh orang kulit putih (Belanda dan Eropa) pada pribumi sehingga mental inlander dan minder masih terasa hingga hari ini. Maka dari itu, Lombard dikenal sebagai sejarawan "sejarah mentalitas" yang melawan arus utama sejarah tentang politik dan perubahan sosial melalui struktur-struktur formal.

Buku tipis --hanya 77 halaman-- ini berupa setumpuk data yang saling menghimpun membentuk satu karangan utuh dan menarik tentang taman-taman di Jawa. Taman Sunyaragi di Cirebon yang pada saat penelitiannya, Lombard menemukan keadaannya kurang terurus. Namun dalam pembacaannya yang luas, didapatkan bahwa Sunyaragi merupakan sebuah taman yang sangat menarik, dibuat dengan melubangi bukit membentuk gua-gua yang indah yang dibangun pada 1741 menurut Babad Cirebon. Untuk memudahkan pembaca, Lombard dengan adil memberikan peta (denah) taman, berikut sketsa dan foto yang dibuat oleh timnya. Dengan begitu, kita seakan tengah menyusuri taman-taman yang ditulis oleh Lombard.

Jika boleh membandingkan dengan taman yang dibangun untuk hari ini, Taman Sari dan taman-taman yang dibangun oleh Raja-Raja Jawa masih memiliki keunggulan dari beberapa aspek. Tidak hanya secara filosofis saja, secara ornamental dan estetika pun bisa dinilai lebih luhur. Ambil satu contoh, Taman Sari yang lengkap dengan berbagai penunjangnya, seperti kolam renang, bunga-bunga, tempat tidur, hingga masjid (tempat bertapa). Untuk kepentingan pembelajaran, setidaknya pemerintah kota yang memang memiliki keinginan membangun taman juga harus memperhatikan aspek estetika dan filosofis dari taman tersebut. Bukan sekadar pelengkap ruang publik yang kering akan makna.

Lombard di awal bukunya memberikan pertanyaan menyentil, adakah taman-taman di Jawa sama seperti taman-taman Persia dan India yang bukan hanya estetis namun juga filosofi? Anda akan menemukan jawabannya dalam uraian-uraian deskriptif sekaligus kritis tentang taman di Jawa yang mengandung kedua unsur filosofis dan estetis.

Buku ini selain menjadi rujukan akademis, memiliki potensi lain. Buku ini sangat bisa dipakai sebagai buku panduan pelancong yang ingin berlibur ke taman-taman bersejarah di Jawa dan sekitarnya. Bahasa yang ringan sekaligus cukup ringkas disertai dengan penjelasan yang detail tentang bagian-bagian dalam taman menjadi nilai tambah buku ini. Kapan lagi bisa mendapatkan buku akademis yang berbobot sekaligus menjadi panduan bagi pelancong yang juga ingin belajar?
Miftahul Ulum ;  Mahasiswa Ilmu Sejarah Unair, anggota komunitas diskusi Sang Arah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar