Rabu, 03 Juli 2019

Secercah Harapan dari KTT G-20


Penulis : Effnu Subiyanto ; Peneliti dan Dosen UKWM Surabaya, Ketua Umum Serikat Karyawan Semen Indonesia
MEDIA INDONESIAPada: Rabu, 03 Jul 2019, 01:00 WIB

AGAK di luar ekspektasi kabar baik menyangkut sikap Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok membawa harapan pada hasil KTT G-20 di Osaka, Jepang, 28-29 Juni 2019. Do­nald Trump setuju mencabut sanksi sebagian atas Huawei berbisnis di AS. Huawei tetap mendapat lisensi Android. Tiongkok juga kooperatif atas rencana perpindahan bisnis Apple ke negeri tersebut tahun ini.
KTT G-20 ke-14 sejak dilaksanakan pertama kali 2008 ini bisa dikatakan menghasilkan konsensus global yang lebih baik dalam hal titik temu geopolitik, meredanya ancaman perdagangan global, diterimanya prinsip-prinsip pentingnya perubahan iklim, dan diakomodasinya gagasan pemberdayaan ekonomi perempuan. Ide terakhir tersebut dihantarkan tuan rumah PM Shinzo Abe, karena Jepang sudah memperjuangkan sejak 2012.
Membaiknya sikap AS merupakan sinyal kondusifnya global karena dalam beberapa KTT, AS sering sekali menampakkan arogansi. Misalnya pada Juni 2017, Trump membatalkan komitmen AS mengurangi emisi 26%-28% dari 2005-2025 yang diputuskan dalam KTT Perubahan Iklim (UNFCCC) Paris 2015. Padahal, AS menyumbang lebih dari 15% total emisi rumah kaca terbesar kedua setelah Tiongkok.
Pada KTT G-20 yang dilaksanakan di Hamburg, Jerman, 8 Juli 2017, bahkan AS keluar dari perjanjian karbon, memicu uji rudal balistik Korea Utara dan memanaskan kawasan Korea dan Jepang. Bagi Indonesia cukup pahit karena jatuhnya keputusan larangan ekspor CPO ke Eropa dan masih menjadi polemik sampai saat ini. Sinyal positif ‘sadarnya’ AS lainnya ialah disapanya Presiden Korea Utara, Kim Jong-un, oleh Trump dalam lawatan denuklerisasi di Korsel. Kim Jong-un menyambut salam media sosial Trump sebagai indikasi yang baik.
Dominasi AS
Posisi ekonomi negara G-20 sangat strategis bagi dunia, memiliki rasio PDB 69,38% terhadap PDB dunia tahun ini. Kontribusi GDP AS dan Tiongkok sangat dominan masing-masing 30,66% dan 18,81% terhadap total GDP G-20. Kontribusi AS dan Tiongkok juga tetap mayoritas terhadap GDP dunia masing-masing 21,27% dan 13,05%. Tidak menghe­rankan jika dua negara itu berseteru, dunia menerima getahnya.
Proyeksi tiga lembaga pemeringkat internasional atas optimisme pertumbuhan ekonomi 2019 juga sering dikoreksi karena ketidakpastian masa depan. OECD misalnya, pangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 menjadi 3,2%, padahal sebelumnya ditaksir akan mencapai 3,3%. IMF juga koreksi prediksi Januari 2019 sebesar 3,5% menjadi 3,3%. Bank Dunia malah lebih pesimistis karena melakukan koreksi menjadi 2,9% dari proyeksi sebelumnya 3%. Argumentasinya hampir seragam, yakni kinerja investasi lebih buruk dari perkiraan sebelumnya dan meningkatnya eskalasi perang dagang AS dan Tiongkok.
Betapa pun dampak perang dagang dengan Tiongkok juga memukul AS. Setiap bulan di dalam negeri, AS harus menambah biaya US$1 miliar pada sektor teknologi, belum termasuk sektor lain. Dampak terhadap pengangguran ialah ancaman PHK atas 18 juta pekerja AS karena manufaktur yang terlibat seteru dagang tersebut melibatkan jumlah pekerja tersebut.
Bagi negara sedang berkembang, perang dagang juga menyebabkan kerugian karena faktor multiplier effect. Terdapat ratusan relokasi pabrik dan industri sepanjang Q1-2018 sampai Q1-2019 dan merugikan Tiongkok sebesar US$15,8 miliar, Malaysia (–US$185 juta), Singapura (–US$87 juta), Indonesia (–US$202 juta), dan Hong Kong (–US$248 juta). Sebelum napas ekonomi AS atau Tiongkok berdampak dalam di antara mereka, kemungkinan terbesar sudah memutus leher dan nafas negara sedang berkembang termasuk Indonesia.
Berdayakan ASEAN
Sangat sulit bagi Indonesia, menggunakan power G-20 untuk menaikkan posisi tawar ekonominya untuk penyeimbang dominasi ekonomi AS. Ketika para raksasa ekonomi berta­rung pada meja-meja perundingan, sikap bijak Indonesia tentu saja pasif dan tampaknya digunakan Presiden Joko Widodo. Pada momentum tersebut, Indonesia diperlukan tidak hanya sebagai pendengar, tetapi juga menjadi strategis saat konsolidasi pada tingkat ASEAN.
Kapitalisasi ekonomi 10 negara dalam ASEAN jika digabungkan cukup besar dan akan menjadi sangat diperhitungkan AS. Pada akhir 2017, nilai PDB ASEAN ialah US$2,77 triliun. Jika lima negara yang kini menjadi mitra dagang erat dengan ASEAN, yakni Korsel, Jepang, India, Tiongkok, dan Australia digandeng bersama, kekuatan PDB ASEAN+5 (ditambah lima negara) akan menjadi US$23,79 triliun atau 39,30% dari kapitalisasi ekonomi G-20.
Langkah pertama ialah pembentukan uang bersama yang sudah lama digagas.
Pembentukan kawasan ekonomi berdaulat ASEAN atau small open economy menjadi sangat niscaya jika bisa diwujudkan karena ASEAN menjadi wilayah baru yang mandiri secara ekonomi. Dapat menentukan harga CPO sendiri, harga batu bara sendiri, memutuskan harga tembakau yang kini ditentukan pasar Bremen, Jerman, mematok harga gas, harga minyak, sampai harga emas sendiri. Bahkan, harga kedelai kini ditentukan pasar kartel yang dibentuk USDA (United States Department of Agriculture). Kemandirian harga-harga komoditas akan diperoleh jika dibandingkan dengan sekarang, yang ironisnya setiap harga-harga dikontrol negara lain yang justru tidak memiliki kapasitas dan sumber daya untuk memproduksi.
Sisi lain ialah kekuatan demografi ASEAN yang berjumlah 642,08 juta jiwa (2018) merupakan pasar bagi negara maju seperti AS dan Eropa. Jika lima negara mitra dagang ASEAN dapat bergabung, demografinya melesat menjadi 3,69 miliar jiwa atau 50% penduduk dunia. Ketika mayoritas barang dan jasa dapat dipenuhi dari negara sekawasan ASEAN+5 atau kawasan zona penyatuan ekonomi bersama, produk AS akhirnya berangsur-angsur dapat ditinggalkan. AS akhirnya menjadi tidak dominan lagi secara ekonomi. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar