Rabu, 03 Juli 2019

Rabu 03 Juli 2019, 12:26 WIB

Jokowi dalam Catatan Administrasi Negara

Muhtar Said - detikNews


Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Juni 2019 telah secara resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai "pemenang" Pemilu 2019. Dengan ditetapkan sebagai pemenang pemilu maka tinggal "selangkah" lagi Jokowi akan dilantik kembali menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2019/2024.

Presiden merupakan jabatan yang tidak mudah karena mengurus negara. Dalam tata administrasi negara, Prajudi Prajudi Atmosudirjo (1994) memberikan pendapatnya mengenai makna jabatan presiden yakni pejabat tertinggi dalam administrasi pemerintahan yang menjalankan tugas politis negara dan menjalankan tugas teknis fungsional serta operasional dalam menjalankan kehendak masyarakat sebagai pelayanan masyarakat umum.
Pelayan bagi masyarakat umum patut disematkan dalam diri seorang presiden mengingat dalam negara hukum (rechtstaat) kekuasaan tertinggi adalah hukum dan makna yang paling dalam dari hukum itu sendiri adalah melindungi dan membahagiakan rakyatnya. Hukum diciptakan oleh negara, sedangkan negara ada untuk membahagiakan (menyejahterakan) rakyatnya. Sedangkan dalam sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia, presiden merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Artinya, presiden adalah kunci untuk membahagiakan rakyatnya.
Cara seorang presiden dalam membahagiakan rakyatnya sudah dipandu oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Seperti yang diungkapkan oleh Prajudi, seorang presiden harus memahami hakikat tugasnya adalah sebagai pelayan umum dengan tugas-tugas administrasi yang melekat pada segala tindakannya.

Untuk menjadi pelayan yang tersistematis, maka presiden harus mampu menjadi administrator yang baik bagi rakyatnya supaya tidak terjadi persoalan diskriminasi dalam pelayanan publik. Contoh kongkret sebagai pelayan yang baik tanpa mengabaikan administrasi negara adalah persoalan pengambilan keputusan yang lebih efisien (cepat, cermat, dan tepat).
Keputusan yang efisien itu ditunjukkan dengan menggunakan hak prerogratifnya dalam menunjuk pejabat administrasi di tingkat menteri dan keputusannya dalam membuat lembaga yang tepat guna dan tepat sasaran sehingga masyarakat benar-benar merasakan dampak positif dari apa yang presiden putuskan.
Menteri dan Maladministrasi
Penunjukan menteri merupakan hak prerogatif seorang presiden. Dalam ilmu tata administrasi negara, menteri merupakan pelaksana yang baik bagi segala tindakan presiden baik tindakan yang berdasarkan hukum (recht handeling)maupun tindakan yang tidak berdasarkan hukum namun memang tindakan tersebut memang sudah melekat pada kewenangannya (feitelijk handeling), misalnya menegur bawahannya. Tindakan menegur menteri adalah kewenangan mutlak presiden sehingga tidak perlu membuat dasar hukumnya terlebih dulu.

Dalam hal tindakan yang berdasarkan hukum (recht handeling), penilaian saya para menteri dalam pemerintahan Jokowi sigap dalam mewujudkan keinginan presiden. Salah satu contohnya adalah ketika presiden menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Perpres tersebut dilaksanakan oleh para menteri dengan baik, seperti pembangunan jalan bebas hambatan dan pembangunan lainnya yang mampu mengakomodasi kepentingan umum.

Namun, dalam tindakan yang dilakukan oleh presiden dengan kategori feitelijk handeling ada catatan "minor" karena para menterinya tidak bisa menjadi pelaksana yang baik. Contoh kasus, ketika Jokowi mengungkapkan kegelisahannya mengenai harga tiket pesawat mahal, sehingga mewacanakan untuk mendatangkan maskapai asing supaya persaingan harga tiket kembali ketat, tidak hanya "dimonopoli" oleh Garuda dan Lion Air.

Kegelisahan Jokowi tersebut bisa dikategorikan sebagai teguran kepada menteri yang membidangi transportasi pesawat terbang. Namun, kegelisahan Jokowi ternyata tidak mampu ditangkap oleh Menteri Perhubungan karena sampai sekarang kementerian yang bersangkutan tidak mampu membuat kebijakan yang bisa membuat tiket pesawat menjadi terjangkau.
Dalam tata aturan pemerintah seorang menteri yang tidak bisa mewujudkan keinginan presiden bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran administratif sehingga presiden mempunyai kewenangan untuk melakukan teguran, namun dalam hal ini belum ada teguran berarti kepada menteri yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan adanya "maladministrasi" yang dilakukan oleh seorang menteri namun diabaikan oleh seorang presiden sehingga dalam hal ini presiden bisa dikatakan gagal mengadministrasikan kehendaknya sebagai seorang presiden.
Di atas merupakan catatan "minor" Jokowi terhadap pengadministrasian kebijakan. Kelemahan ini tidak bisa ditimpakan kepada menteri karena yang menunjuk menteri adalah presiden itu sendiri. Sebagai seorang presiden, Jokowi harus mampu memilah seorang menteri yang menguasai doktrin kepentingan umum secara baik.

Doktrin kepentingan umum merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang menteri, sehingga mengetahui mana kepentingan privat dan mana kepentingan umum. Apabila doktrin ini tidak dikuasai oleh seorang pejabat administrasi (khususnya menteri), maka mudah sekali timbul konflik dan kesimpangsiuran disertai dengan pandangan negatif dari masyarakat.
Doktrin Kepentingan Umum
Setiap menteri yang ditunjuk oleh presiden haruslah orang yang mengerti tugas dan wewenang administrasinya dengan baik. Hal ini dilakukan supaya tidak memberikan kebingungan di masyarakat. Menteri Perhubungan misalnya, harus menguasai wilayah administratif yang akan dikerjakannya. Persoalan harga tiket pesawat merupakan wilayah kewenangannya karena masih berada dalam wilayah administratifnya. Namun persoalan harga tiket tidak pernah selesai, bahkan berkembang wacana persoalan harga tiket bukanlah kewenangan Kementerian Perhubungan.

Dalam negara hukum dikenal dengan adanya asas monopoli paksa. Negara mempunyai kewenangan menggunakan kekuasaannya untuk membuat orang menaati peraturan yang dibuatnya. Perusahaan penerbangan baik Lion, Garuda, dan anak perusahaannya bisa beroperasi karena mendapatkan izin dari negara. Sedangkan Kementerian Perhubungan merupakan simbol negara yang mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan, sehingga berhak menggunakan asas monopoli paksa. Jadi tidak ada alasan Kementerian Perhubungan tidak bisa mengatasi persoalan harga tiket pesawat yang mahal.

Khususnya perusahaan Garuda dan anak perusahaannya Citilink. Garuda sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimodali oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang uangnya diambil dari hasil kerja rakyat. Tragis ketika rakyat sudah banyak mengeluarkan keringatnya demi negara, namun tidak bisa menikmati fasilitas yang diberikan oleh negara. Sedangkan Citilink sebagai anak perusahaan Garuda memang modalnya tidak berasal dari APBN, namun diambilkan dari keuntungan yang dihasilkan oleh Garuda. Meskipun demikian asas pengelolaannya tetap berbasis kepentingan masyarakat, public serve organization.

Di atas merupakan salah satu contoh ketidakmampuan menteri dalam memahami doktrin kepentingan umum dan asas-asas negara hukum sehingga menteri yang ditunjuk oleh Jokowi tidak mampu bekerja secara maksimal sebagai kepanjangan tangan presiden dalam mengadministrasikan pelayanan publik yang dikehendaki oleh konstitusi. Untuk itu, ke depan Jokowi harus mampu memilih menteri yang paham betul mengenai doktrin kepentingan umum.

Untuk memilih menteri yang memiliki nilai-nilai tersebut bukanlah mudah mengingat untuk kursi menteri, Jokowi tersandera dengan bagi-bagi kursi dari partai koalisi. Namun, presiden tidak boleh putus asa karena tugas sebagai pengadministrasian pelayanan publik merupakan kewenangannnya. Maka, Jokowi bisa memberikan pelatihan bagi menteri yang dipilihnya supaya memahami hakikat pentingnya doktrin kepentingan umum dikuasai oleh seorang menteri.

Muhtar Said ;  advokat, dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar