PR
“Jokowinomics”
ANDRY
SATRIO NUGROHO
KOMPAS, 4 Juli 2019
Komisi Pemilihan Umum
segera menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden
terpilih 2019-2024 setelah Mahkamah Konstitusi menolak seluruh dalil permohonan
Prabowo- Sandiaga Uno terkait hasil Pilpres 2019.
Capaian
prestasi ekonomi telah diraih pada periode pertama pemerintahan Jokowi, mulai
dari turunnya tingkat kemiskinan hingga di bawah 10 persen (single digit),
berkurangnya angka pengangguran terbuka, terjaganya inflasi kebutuhan pokok,
hingga realisasi penerimaan negara yang mencapai 100 persen.
Namun,
berbagai capaian itu tertutup oleh capaian indikator ekonomi lainnya yang masih
kurang menggembirakan. Indikator tersebut, di antaranya capaian neraca
perdagangan yang mengkhawatirkan serta menurunnya investasi asing. Dua hal
pokok yang perlu segera diatasi oleh Presiden Jokowi dan kabinet barunya pada
periode selanjutnya. Bahkan, menjadi sebuah ironi ketika cita-cita pertumbuhan
ekonomi berbasis investasi sempat bergema pada awal kepemimpinannya.
Jokowi
punya visi mengubah ekonomi Indonesia dari konsumtif menjadi berbasis
produktif. Tidak ayal, pada saat itu di tiap-tiap pertemuan, Jokowi getol
memaparkan langsung peluang berinvestasi di Indonesia kepada khalayak
internasional, demi meraup modal mengembangkan infrastruktur industri dan
perdagangan.
Tantangan perdagangan
Jauh
panggang dari api, kinerja perdagangan masih jauh dari kata membaik. Puncaknya,
pada awal 2019 sebagai capaian terburuk bagi neraca perdagangan Indonesia.
Pertama kali dalam sejarah neraca perdagangan tercatat defisit 2,56 miliar
dollar AS. Defisit ini sebagian besar disumbang oleh rendahnya capaian neraca
perdagangan nonmigas yang hanya surplus 204,7 juta dollar AS, lebih rendah 10
kali lipat daripada periode sama 2018 yang 2,48 miliar dollar AS.
Faktor
eksternal dan internal ikut berperan. Faktor eksternal utama adalah perang
dagang AS-China. Perang dagang mampu mengubah peta perdagangan, baik regional
maupun bilateral. Meski Indonesia memiliki tingkat rantai pasok global (global
value chain/GVC), yang relatif rendah dibandingkan dengan sesama negara ASEAN
dan rasio total perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 32
persen—lebih rendah daripada Thailand dan Malaysia, dampak perang dagang yang
melibatkan dua perekonomian terbesar ini tetap dirasakan oleh Indonesia.
Perang
dagang menghasilkan pemenang dan pecundang. Setidaknya ada tiga negara pemenang
di Asia dan kini menjadi pusat manufaktur Asia. Negara itu adalah Vietnam,
Thailand, dan Malaysia. Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat bahwa
Vietnam dan Malaysia telah menjadi pusat manufaktur berbasis teknologi
informasi. Beberapa pabrikan ternama sudah memindahkan basis produksi mereka
dari China ke kedua negara tersebut. Misalnya, Dell (AS), Sony dan Panasonic
(Jepang) ke Malaysia, serta Samsung (Korea Selatan) dan Intel (AS) ke Vietnam.
Perang
tarif juga melibatkan produk dan komponen otomotif antara AS dan China. Kondisi
ini menguntungkan Thailand yang saat ini sudah menjadi pusat manufaktur regional
untuk sektor otomotif. Pabrikasi asal Jerman, Mercedes-Benz dan BMW, kini
membangun pusat produksi di Thailand dengan harapan dapat memasuki pasar mobil
mewah China yang dulu pernah dikuasai oleh eksportir AS. Kondisi ini juga
membuat Malaysia memanfaatkan celah ini. Meski ekspor produk otomotifnya tak
terlalu besar, lebih dari 800 pabrikan komponen produk otomotif yang siap
ekspor telah berproduksi di negara ini.
Lalu
bagaimana dengan Indonesia? China dan AS merupakan mitra dagang terbesar
pertama dan kedua bagi Indonesia. Artinya, keduanya memberikan peran penting
bagi perdagangan Indonesia. Komoditas ekspor utama Indonesia, yaitu sawit dan
turunannya, mengalami restriksi dari proteksi di pasar utamanya, seperti AS,
Eropa, dan India. Belum lagi, harga komoditas ini terus menunjukkan tren
penurunan. Beruntung, China saat ini telah menjadi pembeli utama terbesar
minyak sawit mentah (CPO) asal Indonesia.
Ketergantungan
ekspor komoditas andalan ke China tentu dapat dianalogikan sebagai pisau
bermata dua. Meski dinilai menguntungkan, imbas perang dagang membuat kinerja
perekonomian China menurun. Ini karena ekspor salah satu motor penggerak
ekonomi China, dengan tujuan ekspor terbesar negara AS. Menurunnya ekonomi
China membuat permintaan bahan baku diindikasikan menurun. Ancaman ini
memberikan risiko komoditas sawit kita tidak terserap menjadi tinggi. Tentu,
kondisi ini juga berlaku dengan ekspor komoditas andalan Indonesia ke China
lainnya, seperti batubara.
Selain
faktor eksternal, faktor internal juga berperan dalam pelambatan ekspor ini.
Ciri khas industri Indonesia adalah ketergantungannya pada impor bahan baku
yang tinggi. Sebesar 75 persen impor didominasi oleh komponen bahan baku. Upaya
untuk meningkatkan ekspor akan selalu berhadapan dengan risiko volatilitas nilai
tukar dan tergerusnya cadangan devisa. Semakin tertekan rupiah, impor akan
semakin mahal. Lingkaran ini terus-menerus membayangi kinerja perdagangan kita.
Faktor
internal lain berasal dari hal yang bersifat institusional. Beberapa kebijakan
deregulasi sudah diberikan, tetapi sekelumit permasalahan investasi juga masih
belum terselesaikan. Izin investasi yang masih belum sederhana membuat para
pengusaha mempertanyakan, adakah dampak yang ditimbulkan dari paket-paket
kebijakan yang sudah berjumlah 13 tersebut. Berbicara perizinan, masalah online
single submission (OSS) dan pelayanan terpadu satu atap (PTSP) masih menjadi
sengkarut yang perlu diselesaikan.
Adapun
12 kawasan ekonomi khusus (KEK) yang seharusnya mampu mendongkrak pertumbuhan
ekspor yang berasal dari setiap daerah, masih belum terlihat bekerja optimal.
Di satu sisi infrastruktur dasar masih belum terselesaikan. Di sisi lain,
insentif kawasan masih belum dipenuhi.
Fokus membangun pilar ekonomi
Beragam
permasalahan di atas menghasilkan setidaknya empat hal yang menjadi fokus
pekerjaan rumah bagi Presiden dan kabinet barunya. Empat hal itu adalah
mendorong ekspor nonmigas, menggairahkan kembali investasi asing, meningkatkan
industri substitusi impor, dan mengelola mesin devisa.
Mendorong
ekspor nonmigas bukan perkara mudah untuk saat ini. Melihat dari
karakteristiknya, pada saat negara-negara ASEAN, seperti Vietnam, Malaysia,
Thailand, bahkan Filipina, mengekspor produk teknologi tinggi, seperti
elektronik dan komponennya, ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas
berbasis sumber daya alam (SDA), baik perkebunan maupun tambang. Kini tantangan
berat adalah melakukan diversifikasi ekspor produk dengan nilai tambah tinggi.
Berkaca
pada produk yang diekspor, jangan lupa jika Indonesia juga memiliki keunggulan
dalam mengekspor produk otomotif. Industri otomotif juga masuk ke dalam lima
industri penyumbang PDB terbesar. Peluang ini bisa dimanfaatkan meski kini pekerjaan
rumah (PR) adalah membangun produksi dan perakitan mobil berstandar emisi Euro
4 dan 5 sesuai pasar otomotif negara maju.
Lemahnya
daya saing Indonesia di pasar otomotif diakibatkan masih rendahnya standar
emisi produk otomotifnya. Tentu ini berkaca pada pasar otomotif di dalam negeri
yang masih menggunakan jenis bahan bakar Euro 2.
Meningkatkan ekspor tentu butuh modal besar. Investasi asing menjadi cara tercepat untuk mendapatkan modal tersebut. Investasi asing sangat berperan untuk menghadirkan sektor manufaktur berbasis ekspor. Untuk menghadirkannya, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara tetangga dengan melakukan reformasi, tidak hanya pada tataran pusat, tetapi juga daerah.
Meningkatkan ekspor tentu butuh modal besar. Investasi asing menjadi cara tercepat untuk mendapatkan modal tersebut. Investasi asing sangat berperan untuk menghadirkan sektor manufaktur berbasis ekspor. Untuk menghadirkannya, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara tetangga dengan melakukan reformasi, tidak hanya pada tataran pusat, tetapi juga daerah.
Hindari
kebijakan yang dapat berganti dalam semalam hanya karena sebuah alasan politis.
Beberapa peraturan juga ditemukan masih tumpang-tindih, di satu sisi
membebaskan investasi asing melalui pengurangan daftar negatif investasi,
tetapi turunannya di tataran kementerian justru mempersulit investasi
dilaksanakan. Terpenting juga adalah masalah insentif yang tidak diobral secara
umum, seperti libur pajak saat ini tetapi ditujukan pada investor dan sektor
yang membutuhkan.
Investasi
juga diharapkan mampu menghadirkan industri yang dapat menekan laju impor bahan
baku Indonesia saat ini. Selain upaya hilirisasi, sering dilupakan bahwa
perbaikan rantai industri juga perlu dilakukan melalui proses huluisasi. Artinya,
ketergantungan sektor hulu pada impor dapat berkurang atau dalam arti lain,
yaitu mengembangkan industri substitusi impor. PR ini berat karena tak hanya
melibatkan sektor manufaktur saja, tetapi membangun keterkaitan dengan sektor
pertanian yang saat ini pertumbuhannya mengalami penurunan.
Selain
ekspor, kegiatan yang mampu menghasilkan devisa adalah pariwisata. Tentu
pemerintah pusat perlu menawarkan berbagai insentif bagi pemda agar sektor
pariwisata dapat berkembang. Insentif dapat ditujukan bagi SDM, suatu variabel
pendukung yang sangat krusial bagi pengembangan sektor pariwisata daerah.
Meski
sangat sulit menemukan destinasi seperti Bali yang mampu mempromosikan
kekayaan alam sekaligus akulturasi budaya dan agama, bukan berarti
daerah-daerah lain kehilangan kesempatan yang sama untuk mengembangkan
pariwisata. Ke depan kita berharap bahwa fokus PR ini dapat diselesaikan
Presiden beserta jajaran kabinet barunya. Mungkin usaha-usaha ini tidak akan
selesai dalam lima tahun masa kepemimpinan. Namun, fondasi ini perlu dibangun
sehingga tongkat estafet rencana pembangunan ekonomi yang produktif dapat
diteruskan bagi masa kepemimpinan selanjutnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar